Pengamat: Partai Islam Telah Terjebak dalam Oligarki dan Kartelisasi Politik
A
A
A
JAKARTA - Peneliti Politik dari UIN Jakarta, Ali Munhanif menganggap perjalanan partai politik Islam di Indonesia sebenarnya cukup baik dan eksistensi mereka masih diperhitungkan di belantika perpolitikan Indonesia, jika berkaca dari perolehan suara yang ada saat ini.
Ali mengatakan cara partai Islam bertahan di tengah menguatnya politik elektoral adalah dengan mengubah warna mereka yang awalnya mencirikan diri sebagai partai berideologi Islam menjadi sekuler. Menurutnya, fenonema ini bisa dilihat dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
"PKB juga begitu, PKB saat ini kita lihat sebagai partai dengan perolehan suara sangat bagus, Ketua PKB nya itu-itu saja terus Muhaimin, tetapi orang-orang yang dipromosikan untuk menduduki jabatan di kabinet selalu saja berbeda," ujar Ali di Jakarta, Kamis (19/12/2019).
Menurut Ali, yang terjadi adalah bahwa ada semacam sekelompok elite yang memang mendominasi arah kebijakan partai meskipun di saat yang sama sumber daya manusia mereka bisa dipromosikan ke jalur yang bisa diterima oleh masyarakat.
"Di situ saya bisa percaya bahwa, pertanyaannya adalah sebagai partai agama partai politik Islam dibentuk oleh konflik ideologis yang kuat saat itu, tetapi juga dibentuk oleh struktur sosial dan persepsi budaya masyarakat yang menjadi tulang punggung partai," jelasnya.
Dalam kondisi yang demikian, lanjut Ali, bagaimana cara partai Islam mampu bertahan dan menancapkan eksistensi mereka? Tak berlebihan, menurutnya, partai Islam telah terjebak dalam oligarki politik atau bahkan 'memaklumi' kartelisasi politik.
Dekan FISlP UIN Jakarta ini menjelaskan sejak 2004, meski partai Islam disebut kalah bertarung, setidaknya kader-kader mereka masih bisa duduk di kabinet maupun jabatan-jabatan politik di lembaga tinggi negara.
"Sebenarnya kartelisasi di kalangan partai Islam itu tidak begitu mengemuka dibandingkan partai lainnya yang sejak awal sudah leading misalnya Golkar dan PDIP, mengapa kartelisasi dan oligarki menjadi pilihan cerdas untuk survival partai dan pimpinannya, itu karena dia menjadi gula bagi semut."
"Orang yang ingin mempertahankan kekuasaan finansialnya akan mendekat pada partai besar begitu juga sebaliknya. Di Golkar banyak para oligarki yang survive di Orde Baru mendekat ke Golkar dan terus menjadi tulang punggung untuk pembiayaan, untuk nasional dan daerah, tapi partai Islam siapa yang mau mendekat," tandas Ali.
Ali mengatakan cara partai Islam bertahan di tengah menguatnya politik elektoral adalah dengan mengubah warna mereka yang awalnya mencirikan diri sebagai partai berideologi Islam menjadi sekuler. Menurutnya, fenonema ini bisa dilihat dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
"PKB juga begitu, PKB saat ini kita lihat sebagai partai dengan perolehan suara sangat bagus, Ketua PKB nya itu-itu saja terus Muhaimin, tetapi orang-orang yang dipromosikan untuk menduduki jabatan di kabinet selalu saja berbeda," ujar Ali di Jakarta, Kamis (19/12/2019).
Menurut Ali, yang terjadi adalah bahwa ada semacam sekelompok elite yang memang mendominasi arah kebijakan partai meskipun di saat yang sama sumber daya manusia mereka bisa dipromosikan ke jalur yang bisa diterima oleh masyarakat.
"Di situ saya bisa percaya bahwa, pertanyaannya adalah sebagai partai agama partai politik Islam dibentuk oleh konflik ideologis yang kuat saat itu, tetapi juga dibentuk oleh struktur sosial dan persepsi budaya masyarakat yang menjadi tulang punggung partai," jelasnya.
Dalam kondisi yang demikian, lanjut Ali, bagaimana cara partai Islam mampu bertahan dan menancapkan eksistensi mereka? Tak berlebihan, menurutnya, partai Islam telah terjebak dalam oligarki politik atau bahkan 'memaklumi' kartelisasi politik.
Dekan FISlP UIN Jakarta ini menjelaskan sejak 2004, meski partai Islam disebut kalah bertarung, setidaknya kader-kader mereka masih bisa duduk di kabinet maupun jabatan-jabatan politik di lembaga tinggi negara.
"Sebenarnya kartelisasi di kalangan partai Islam itu tidak begitu mengemuka dibandingkan partai lainnya yang sejak awal sudah leading misalnya Golkar dan PDIP, mengapa kartelisasi dan oligarki menjadi pilihan cerdas untuk survival partai dan pimpinannya, itu karena dia menjadi gula bagi semut."
"Orang yang ingin mempertahankan kekuasaan finansialnya akan mendekat pada partai besar begitu juga sebaliknya. Di Golkar banyak para oligarki yang survive di Orde Baru mendekat ke Golkar dan terus menjadi tulang punggung untuk pembiayaan, untuk nasional dan daerah, tapi partai Islam siapa yang mau mendekat," tandas Ali.
(whb)