Jumlah RUU Terlalu Gemuk, Hasil Legislasi Diyakini Tak Berkualitas
A
A
A
JAKARTA - Badan Legislasi (Baleg) DPR dan Kementerian Hukum dan HAM telah menyepakati 247 RUU masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Dari jumlah itu, 50 di antaranya merupakan RUU Prioritas 2020.
Pakar Hukum Tata Negara Margarito Kamis menilai, banyaknya RUU yang akan dibahas tersebut sangat tidak realistis dan pasti akan menghasilkan UU yang asal jadi namun tidak berkualitas.
"Hampir bisa dipastikan begitu. Saya tidak cukup yakin. Ngapain sih bikin banyak undang-undang? Negara hukum itu bukan negara undang-undang," kata Margarito, Kamis (5/12/2019).
Di sisi lain, Margarito juga meragukan derajat akseptabilitas dan ketepatan RUU yang masuk dalam Prolegnas tersebut dengan berbagai masalah yang dihadapi bangsa ini. Dia mencontohkan pada periode sebelumnya ada RUU Pertanahan yang dinilai sangat buruk hingga menuai protes keras dari kelompok mahasiswa.
"RUU Pertanahan kemarin yang sempat ditolak anak-anak mahasiswa itu luar biasa buruk. Seperti itukah yang mau dibikin nanti? Undang-undang yang membatasi warga negara di satu sisi, dan di sisi lain mengalokasikan hak dan kewenangan yang luar biasa kepada kelompok-kelompok besar dan pemerintah," urainya.
Margarito mengatakan, banyaknya RUU yang diajukan tersebut jelas-jelas tidak sejalan dengan semangat yang digelorakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menginginkan adanya perampingan regulasi.
"Ini kan lucu. Presiden kemarin kita ingat tak ada visi menteri yang ada visi presiden. Katanya tidak mau banyak undang-undang. Katakan DPR mengharu-biru bikin undang-undang kalau Presiden enggak mau, mau apa? Ini inskonsistensi yang telanjang dari Presiden," paparnya.
Jumah 50 RUU prioritas, menurut Margarito, sangat besar. Dan karena itu, bisa dipastikan nantinya isi UU yang dihasilkan hanya asal jadi karena pembahasannya pasti akan terburu-buru tanpa dilakukan kajian mendalam dan tidak akan menghasilkan produk legislasi yang memberikan dampak positif dari sisi politik, sosial, dan ekonomi.
"Ini DPR genit. Bukan kuantitas yang harus diburu, tapi kualitas. Terutama untuk aturan pada penguatan ekonomi yang berdampak bagi rakyat kecil, bukan untuk instrument penguasa," katanya.
"Saya tidak percaya RUU yang diajukan itu konsepnya kompatibel dengan keadaan ekonomi, sosial dan politik. Ini sekadar menunjukkan ke masyarakat, ‘ini lho kita punya RUU, perkara tepat dan tidak itu tidak menjadi penting," urainya.
Peneliti Pusat Kajian Kebijakan Publik dan Hukum (Puskapkum)/Dosen Hukum Tata Negara FH Universitas Bhayangkara Jakarta Raya, Ferdian Andi, mengatakan, gagasan reformasi legislasi yang selama ini disampaikan Presiden Jokowi tak tampak dalam Prolegnas Prioritas tahun 2020.
Kata Margarito, sebanyak 50 RUU yang masuk dalam prolegnas prioritas tahun 2020 masih mencerminkan semangat "over regulasi" yang ditampilkan oleh DPR dan Pemerintah. Padahal, dalam beberapa kesempatan Presiden menyerukan agar dilakukan reformasi di bidang legislasi.
"Justru RUU yang semestinya mendesak untuk diterbitkan namun tidak muncul dalam daftar prolegnas 2020. Seperti RUU Jabatan Hakim yang di Prolegnas 2019 di DPR periode lalu masuk di prolgenas prioritas namun saat ini tidak masuk dalam daftar prolegnas prioritas tahun 2020. Padahal, persoalan karut marut jabatan hakim di Indonesia menjadi masalah krusial yang harus segera dituntaskan," katanya.
Pakar Hukum Tata Negara Margarito Kamis menilai, banyaknya RUU yang akan dibahas tersebut sangat tidak realistis dan pasti akan menghasilkan UU yang asal jadi namun tidak berkualitas.
"Hampir bisa dipastikan begitu. Saya tidak cukup yakin. Ngapain sih bikin banyak undang-undang? Negara hukum itu bukan negara undang-undang," kata Margarito, Kamis (5/12/2019).
Di sisi lain, Margarito juga meragukan derajat akseptabilitas dan ketepatan RUU yang masuk dalam Prolegnas tersebut dengan berbagai masalah yang dihadapi bangsa ini. Dia mencontohkan pada periode sebelumnya ada RUU Pertanahan yang dinilai sangat buruk hingga menuai protes keras dari kelompok mahasiswa.
"RUU Pertanahan kemarin yang sempat ditolak anak-anak mahasiswa itu luar biasa buruk. Seperti itukah yang mau dibikin nanti? Undang-undang yang membatasi warga negara di satu sisi, dan di sisi lain mengalokasikan hak dan kewenangan yang luar biasa kepada kelompok-kelompok besar dan pemerintah," urainya.
Margarito mengatakan, banyaknya RUU yang diajukan tersebut jelas-jelas tidak sejalan dengan semangat yang digelorakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menginginkan adanya perampingan regulasi.
"Ini kan lucu. Presiden kemarin kita ingat tak ada visi menteri yang ada visi presiden. Katanya tidak mau banyak undang-undang. Katakan DPR mengharu-biru bikin undang-undang kalau Presiden enggak mau, mau apa? Ini inskonsistensi yang telanjang dari Presiden," paparnya.
Jumah 50 RUU prioritas, menurut Margarito, sangat besar. Dan karena itu, bisa dipastikan nantinya isi UU yang dihasilkan hanya asal jadi karena pembahasannya pasti akan terburu-buru tanpa dilakukan kajian mendalam dan tidak akan menghasilkan produk legislasi yang memberikan dampak positif dari sisi politik, sosial, dan ekonomi.
"Ini DPR genit. Bukan kuantitas yang harus diburu, tapi kualitas. Terutama untuk aturan pada penguatan ekonomi yang berdampak bagi rakyat kecil, bukan untuk instrument penguasa," katanya.
"Saya tidak percaya RUU yang diajukan itu konsepnya kompatibel dengan keadaan ekonomi, sosial dan politik. Ini sekadar menunjukkan ke masyarakat, ‘ini lho kita punya RUU, perkara tepat dan tidak itu tidak menjadi penting," urainya.
Peneliti Pusat Kajian Kebijakan Publik dan Hukum (Puskapkum)/Dosen Hukum Tata Negara FH Universitas Bhayangkara Jakarta Raya, Ferdian Andi, mengatakan, gagasan reformasi legislasi yang selama ini disampaikan Presiden Jokowi tak tampak dalam Prolegnas Prioritas tahun 2020.
Kata Margarito, sebanyak 50 RUU yang masuk dalam prolegnas prioritas tahun 2020 masih mencerminkan semangat "over regulasi" yang ditampilkan oleh DPR dan Pemerintah. Padahal, dalam beberapa kesempatan Presiden menyerukan agar dilakukan reformasi di bidang legislasi.
"Justru RUU yang semestinya mendesak untuk diterbitkan namun tidak muncul dalam daftar prolegnas 2020. Seperti RUU Jabatan Hakim yang di Prolegnas 2019 di DPR periode lalu masuk di prolgenas prioritas namun saat ini tidak masuk dalam daftar prolegnas prioritas tahun 2020. Padahal, persoalan karut marut jabatan hakim di Indonesia menjadi masalah krusial yang harus segera dituntaskan," katanya.
(maf)