Pulangkan Habib Rizieq, Pemerintah Harus Jalankan Diplomasi
A
A
A
JAKARTA - Anggota DPR Fraksi Partai Gerindra, Fadli Zon mengungkapkan, perlu ada upaya pemerintah untuk memulangkan Habib Rizieq Shihab (HRS) ke Indonesia yang seharusnya bersifat imperatif, sebagai bukti kehadiran negara dalam melindungi warganya di luar negeri.
Hal tersebut kata Fadli Zon, merupakan wujud diplomasi perlindungan terhadap Warga Negara Indonesia (WNI), yang diatur baik oleh hukum internasional maupun nasional.
"Hanya saja, dalam kasus HRS, pemerintah kerap berlindung di balik alasan sikap anti-intervensi terhadap kebijakan negara lain. Saya kira ini pandangan yang patut diluruskan," kata Fadli Zon, di akun Twitternya, Selasa (26/11/2019).
Mantan Wakil Ketua DPR ini mengatakan, diplomasi perlindungan berbeda dengan intervensi. Diplomasi perlindungan dilakukan melalui upaya negosiasi, sifatnya persuasif, bisa dilakukan secara terbuka ataupun tertutup.
Upaya tersebut kata dia, tidak bisa disamakan dengan tindakan diplomasi offensive, apalagi dipandang sebagai tindakan yang mengintervensi urusan negara lain.
"Selain itu, kita juga bisa lihat bahwa upaya negosiasi memulangkan warga negara yang ditahan negara lain, sudah lazim terjadi dalam praktik diplomasi internasional," ucapnya.
"Tahun 2009, misalnya, pemerintah AS mengutus mantan Presiden Bill Clinton untuk bernegosiasi dalam pembebasan dua wartawan AS, Euna Lee dan Laura ling, yang ditahan oleh pemerintah Korea Utara," sambungnya.
Hal yang sama sambung Fadli, juga terjadi pada tahun 2010 saat itu Pemerintah Amerika Serikat mengutus mantan Presiden Jimmy Carter untuk bernegosiasi dengan Korea Utara demi membebaskan Aijalon Mahli Gomes, seorang warga AS yang ditahan karena memasuki wilayah Korut secara ilegal.
"Atau pada tahun 2014, ketika Pemeritah AS mengirim utusan khususnya, Robert King, untuk bernegosiasi dalam pembebasan Kenneth Bae dan Matthew Todd Miller, dua warga AS yg sempat ditahan oleh Korea Utara karena tuduhan spionase," katanya,
Jadi menurutnya, negosiasi pemulangan seorang warga negara yang ditahan di negara lain adalah praktik yang lazim. Sehingga, jika dalam kasus HRS pemerintah masih bersikap pasif, dan berlindung di balik alasan antiintervensi.
"Saya kira cara berpikir tersebut perlu dikoreksi. Sebab jika tidak, bagaimana pemerintahan @jokowi bisa mempertanggungjawabkan model diplomasi perlindungan yang menjadi prioritas politik luar negerinya saat ini?" ungkapnya.
"Saya kira, sikap yang ditunjukkan pemerintah terhadap polemik kepulangan HRS, justru mempertontonkan lemahnya kualitas negosiasi dan diplomasi pemerintah dalam memperjuangkan hak warganya," tambahnya.
Fadli Zon mendorong, agar sikap pemerintah segera dikoreksi dan harus proaktif serta lebih progresif. Katanya, negara harus hadir melindungi HRS dan memfasilitasi untuk bisa kembali ke tanah air dengan sehat dan selamat.
"Jangan sampai hak HRS sebagai WNI untuk memperoleh perlindungan negara, diabaikan hanya karena perbedaan sikap dan pilihan politik dengan pemerintahan saat ini," tuntasnya.
Hal tersebut kata Fadli Zon, merupakan wujud diplomasi perlindungan terhadap Warga Negara Indonesia (WNI), yang diatur baik oleh hukum internasional maupun nasional.
"Hanya saja, dalam kasus HRS, pemerintah kerap berlindung di balik alasan sikap anti-intervensi terhadap kebijakan negara lain. Saya kira ini pandangan yang patut diluruskan," kata Fadli Zon, di akun Twitternya, Selasa (26/11/2019).
Mantan Wakil Ketua DPR ini mengatakan, diplomasi perlindungan berbeda dengan intervensi. Diplomasi perlindungan dilakukan melalui upaya negosiasi, sifatnya persuasif, bisa dilakukan secara terbuka ataupun tertutup.
Upaya tersebut kata dia, tidak bisa disamakan dengan tindakan diplomasi offensive, apalagi dipandang sebagai tindakan yang mengintervensi urusan negara lain.
"Selain itu, kita juga bisa lihat bahwa upaya negosiasi memulangkan warga negara yang ditahan negara lain, sudah lazim terjadi dalam praktik diplomasi internasional," ucapnya.
"Tahun 2009, misalnya, pemerintah AS mengutus mantan Presiden Bill Clinton untuk bernegosiasi dalam pembebasan dua wartawan AS, Euna Lee dan Laura ling, yang ditahan oleh pemerintah Korea Utara," sambungnya.
Hal yang sama sambung Fadli, juga terjadi pada tahun 2010 saat itu Pemerintah Amerika Serikat mengutus mantan Presiden Jimmy Carter untuk bernegosiasi dengan Korea Utara demi membebaskan Aijalon Mahli Gomes, seorang warga AS yang ditahan karena memasuki wilayah Korut secara ilegal.
"Atau pada tahun 2014, ketika Pemeritah AS mengirim utusan khususnya, Robert King, untuk bernegosiasi dalam pembebasan Kenneth Bae dan Matthew Todd Miller, dua warga AS yg sempat ditahan oleh Korea Utara karena tuduhan spionase," katanya,
Jadi menurutnya, negosiasi pemulangan seorang warga negara yang ditahan di negara lain adalah praktik yang lazim. Sehingga, jika dalam kasus HRS pemerintah masih bersikap pasif, dan berlindung di balik alasan antiintervensi.
"Saya kira cara berpikir tersebut perlu dikoreksi. Sebab jika tidak, bagaimana pemerintahan @jokowi bisa mempertanggungjawabkan model diplomasi perlindungan yang menjadi prioritas politik luar negerinya saat ini?" ungkapnya.
"Saya kira, sikap yang ditunjukkan pemerintah terhadap polemik kepulangan HRS, justru mempertontonkan lemahnya kualitas negosiasi dan diplomasi pemerintah dalam memperjuangkan hak warganya," tambahnya.
Fadli Zon mendorong, agar sikap pemerintah segera dikoreksi dan harus proaktif serta lebih progresif. Katanya, negara harus hadir melindungi HRS dan memfasilitasi untuk bisa kembali ke tanah air dengan sehat dan selamat.
"Jangan sampai hak HRS sebagai WNI untuk memperoleh perlindungan negara, diabaikan hanya karena perbedaan sikap dan pilihan politik dengan pemerintahan saat ini," tuntasnya.
(maf)