Industri Farmasi Impor 95% Bahan Baku
A
A
A
Bisa dibayangkan bagaimana repotnya industri farmasi dalam negeri bila tiba-tiba pasokan bahan baku obat bermasalah. Saat ini 95% bahan baku obat bergantung pada impor. Melihat kenyataan tersebut, Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam rapat terbatas yang mempersoalkan kesehatan, kemarin, meminta agar itu segera diatasi. Salah satu solusi yang diajukan Presiden adalah memperbesar insentif terkait riset dan pengembangan bahan baku obat. Selain itu, regulasi yang menghambat investasi maupun pengembangan industri farmasi serta alat-alat kesehatan dipangkas. Proses perizinan untuk industri farmasi dibuat lebih sederhana sehingga merangsang pertumbuhan industri farmasi yang pada akhirnya dapat menekan harga obat di Indonesia.
Memang, sangat ironis industri farmasi dalam negeri begitu besar membutuhkan bahan baku obat dari luar negeri hingga 95%. Hal itu tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Karena itu, wajar kalau Jokowi bertekad segera mengambil langkah tegas untuk menekan impor bahan baku obat. "Tolong hal ini digarisbawahi," ujarnya.
Data Kementerian Perindustrian menunjukkan bahwa industri farmasi, produk obat kimia, dan obat tradisional tumbuh 4,46% tahun lalu. Adapun kontribusinya tercatat sekitar 2,78% terhadap produk domestik bruto industri pengolahan nonmigas. Untuk neraca ekspor-impor industri farmasi belum bisa dibanggakan karena masih mencatat defisit. Memang, nilai ekspor komoditas ini membukukan kenaikan dari sebesar USD1,01 miliar pada 2017 menjadi USD1,13 miliar pada 2018.
Salah satu akar masalah mengapa industri farmasi harus mengimpor hingga 95% bahan pokok obat karena rantai pasok bahan baku terintegrasi belum terbentuk, sehingga impor bahan baku obat adalah solusi tercepat yang bisa dilakukan bagi industri farmasi. Sebagaimana dibeberkan Direktur Utama PT Ferron Par Pharmaceuticals Krestijanto Pandji bahwa bahan baku obat industri farmasi diproses melalui rantai pasok yang berjenjang. Alurnya, bahan baku diproses dari produk kimia secara bertahap yang pada akhirnya bisa diolah menjadi obat oleh produsen farmasi. Jadi, persoalannya jelas yakni rantai pasok yang terintegrasi belum dimiliki pelaku industri farmasi di dalam negeri. Bila ingin mengembangkan rantai pasok yang terintegrasi harus tuntas, sebab jika pengembangan hanya sebagian maka skala ekonomi untuk produksi bahan baku obat tidak akan tercapai.
Berharap dari terbentuknya rantai pasok terintegrasi bahan baku obat untuk menekan angka impor, rasanya sulit direalisasikan dalam waktu dekat mengingat masalahnya begitu kompleks. Karena itu, langkah strategis melalui regulasi yang sudah diterbitkan pemerintah harus segera diimplementasikan. Sebelumnya, kebijakan untuk menekan impor bahan baku obat sudah tertuang dalam Instruksi Presiden No 16 Tahun 2016 dan Peraturan Menteri Kesehatan No 17 Tahun 2017 tentang Rencana Aksi Pengembangan Industri Farmasi dan Alat Kesehatan. Pemerintah menargetkan impor bahan baku obat bisa ditekan sekitar 15% dari sekitar 95% hingga 80% pada 2021.
Industri farmasi termasuk salah satu industri yang sudah lama berkiprah di Indonesia, dan mampu memenuhi 75% kebutuhan obat di dalam negeri. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, terdapat 206 perusahaan yang bergerak di industri farmasi. Rinciannya meliputi 178 perusahaan swasta nasional, dan 24 perusahaan multinasional, serta 4 perusahaan pelat merah milik negara. Sementara itu, investasi di bidang kesehatan atau industri farmasi meningkat meski tidak signifikan. Tengok saja nilai investasi pada 2017 tercatat Rp53,76 triliun dan naik menjadi Rp53,95 triliun pada 2018. Dan, nilai investasi tembus Rp60,9 triliun dari Januari hingga Oktober 2019.
Kita berharap solusi yang tepat dalam menekan angka impor bahan baku obat dapat ditemukan segera. Kebergantungan bahan baku obat dari luar negeri bagi industri farmasi di dalam negeri yang kabarnya terbesar di kawasan Asia Tenggara, sungguh sangat memprihatinkan. Bicara bahan baku obat, sebenarnya cukup tersedia di dalam negeri tetapi belum memiliki teknologi yang canggih untuk memprosesnya. Bila impor bahan baku obat bisa diproduksi dalam negeri bukan hanya menyelamatkan industri farmasi di dalam negeri, melainkan juga dapat menyehatkan neraca perdagangan Indonesia dari defisit, yang disebabkan nilai impor masih lebih tinggi ketimbang nilai ekspor.
Memang, sangat ironis industri farmasi dalam negeri begitu besar membutuhkan bahan baku obat dari luar negeri hingga 95%. Hal itu tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Karena itu, wajar kalau Jokowi bertekad segera mengambil langkah tegas untuk menekan impor bahan baku obat. "Tolong hal ini digarisbawahi," ujarnya.
Data Kementerian Perindustrian menunjukkan bahwa industri farmasi, produk obat kimia, dan obat tradisional tumbuh 4,46% tahun lalu. Adapun kontribusinya tercatat sekitar 2,78% terhadap produk domestik bruto industri pengolahan nonmigas. Untuk neraca ekspor-impor industri farmasi belum bisa dibanggakan karena masih mencatat defisit. Memang, nilai ekspor komoditas ini membukukan kenaikan dari sebesar USD1,01 miliar pada 2017 menjadi USD1,13 miliar pada 2018.
Salah satu akar masalah mengapa industri farmasi harus mengimpor hingga 95% bahan pokok obat karena rantai pasok bahan baku terintegrasi belum terbentuk, sehingga impor bahan baku obat adalah solusi tercepat yang bisa dilakukan bagi industri farmasi. Sebagaimana dibeberkan Direktur Utama PT Ferron Par Pharmaceuticals Krestijanto Pandji bahwa bahan baku obat industri farmasi diproses melalui rantai pasok yang berjenjang. Alurnya, bahan baku diproses dari produk kimia secara bertahap yang pada akhirnya bisa diolah menjadi obat oleh produsen farmasi. Jadi, persoalannya jelas yakni rantai pasok yang terintegrasi belum dimiliki pelaku industri farmasi di dalam negeri. Bila ingin mengembangkan rantai pasok yang terintegrasi harus tuntas, sebab jika pengembangan hanya sebagian maka skala ekonomi untuk produksi bahan baku obat tidak akan tercapai.
Berharap dari terbentuknya rantai pasok terintegrasi bahan baku obat untuk menekan angka impor, rasanya sulit direalisasikan dalam waktu dekat mengingat masalahnya begitu kompleks. Karena itu, langkah strategis melalui regulasi yang sudah diterbitkan pemerintah harus segera diimplementasikan. Sebelumnya, kebijakan untuk menekan impor bahan baku obat sudah tertuang dalam Instruksi Presiden No 16 Tahun 2016 dan Peraturan Menteri Kesehatan No 17 Tahun 2017 tentang Rencana Aksi Pengembangan Industri Farmasi dan Alat Kesehatan. Pemerintah menargetkan impor bahan baku obat bisa ditekan sekitar 15% dari sekitar 95% hingga 80% pada 2021.
Industri farmasi termasuk salah satu industri yang sudah lama berkiprah di Indonesia, dan mampu memenuhi 75% kebutuhan obat di dalam negeri. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, terdapat 206 perusahaan yang bergerak di industri farmasi. Rinciannya meliputi 178 perusahaan swasta nasional, dan 24 perusahaan multinasional, serta 4 perusahaan pelat merah milik negara. Sementara itu, investasi di bidang kesehatan atau industri farmasi meningkat meski tidak signifikan. Tengok saja nilai investasi pada 2017 tercatat Rp53,76 triliun dan naik menjadi Rp53,95 triliun pada 2018. Dan, nilai investasi tembus Rp60,9 triliun dari Januari hingga Oktober 2019.
Kita berharap solusi yang tepat dalam menekan angka impor bahan baku obat dapat ditemukan segera. Kebergantungan bahan baku obat dari luar negeri bagi industri farmasi di dalam negeri yang kabarnya terbesar di kawasan Asia Tenggara, sungguh sangat memprihatinkan. Bicara bahan baku obat, sebenarnya cukup tersedia di dalam negeri tetapi belum memiliki teknologi yang canggih untuk memprosesnya. Bila impor bahan baku obat bisa diproduksi dalam negeri bukan hanya menyelamatkan industri farmasi di dalam negeri, melainkan juga dapat menyehatkan neraca perdagangan Indonesia dari defisit, yang disebabkan nilai impor masih lebih tinggi ketimbang nilai ekspor.
(zil)