KPK Bantu Polda Sultra Usut Dugaan Korupsi Dana Desa Siluman
A
A
A
JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah menerima Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) dari Polda Sultra terkait kasus dugaan korupsi ‘desa siluman' atau desa fiktif di daerah Konawe. Saat ini, Polda Sultra dan KPK sedang mencari tersangka kasus tersebut sejalan dengan peningkatan status perkara ke penyidikan.
"Sesuai dengan KUHAP, penyidikan yang dilakukan Polri adalah untuk mencari serta mengumpulkan bukti, yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya," ujar Juru Bicara KPK, Febri Diansyah saat dikonfirmasi, Kamis (7/11/2019).
Polda Sultra dan KPK sudah melakukan gelar perkara bersama di tahap penyelidikan pada 24 Juni 2019. Dalam gelar perkara tersebut, KPK dan Polda Sultra berkesimpulan menghadirkan ahli hukum pidana guna mendalami kasus ini.
Sehari setelahnya pada 25 Juni 2019, Pimpinan KPK bertemu dengan Kapolda Sultra untuk menindaklanjuti kasus tersebut. KPK diminta agar mensupervisi dan memberikan bantuan berupa pemfasilitasi ahli dalam perkara ini.
"Salah satu bentuk dukungan KPK adalah memfasilitasi keterangan ahli pidana dan kemudian dilanjutkan gelar perkara bersama 16 September 2019," jelasnya.
Menurut Febri, dukungan yang diberikan KPK pada penanganan perkara di Polri ataupun kejaksaan merupakan bagian dari pelaksanaan fungsi trigger mechanism yang diamanatkan UU.
"Kami berupaya semaksimal mungkin untuk tetap melakukan upaya-upaya pemberantasan korupsi agar anggaran yang seharusnya dinikmati rakyat tidak dicuri oleh orang-orang tertentu," jelasnya.
KPK menduga ada 34 desa yang bermasalah dalam pengusutan kasus ini. Sebanyak tiga desa dinilai fiktif atau palsu, sedangkan 31 desa lainnya ada, akan tetapi Surat Keputusan (SK) pembentukannya dibuat dengan tanggal mundur.
KPK mengendus adanya dugaan tindak pidana korupsi dengan membentuk atau mendefinitifkan desa-desa yang tidak sesuai prosedur dengan menggunakan dokumen yang tidak sah sehingga mengakibatkan kerugian keuangan negara.
Disinyalir, desa-desa tersebut dibuat fiktif untuk mendapatkan Dana Desa (DD) dan Alokasi Dana Desa (ADD) yang dikelola beberapa desa di Kabupaten Konawe tahun anggaran 2016 sampai dengan 2018.
"Sesuai dengan KUHAP, penyidikan yang dilakukan Polri adalah untuk mencari serta mengumpulkan bukti, yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya," ujar Juru Bicara KPK, Febri Diansyah saat dikonfirmasi, Kamis (7/11/2019).
Polda Sultra dan KPK sudah melakukan gelar perkara bersama di tahap penyelidikan pada 24 Juni 2019. Dalam gelar perkara tersebut, KPK dan Polda Sultra berkesimpulan menghadirkan ahli hukum pidana guna mendalami kasus ini.
Sehari setelahnya pada 25 Juni 2019, Pimpinan KPK bertemu dengan Kapolda Sultra untuk menindaklanjuti kasus tersebut. KPK diminta agar mensupervisi dan memberikan bantuan berupa pemfasilitasi ahli dalam perkara ini.
"Salah satu bentuk dukungan KPK adalah memfasilitasi keterangan ahli pidana dan kemudian dilanjutkan gelar perkara bersama 16 September 2019," jelasnya.
Menurut Febri, dukungan yang diberikan KPK pada penanganan perkara di Polri ataupun kejaksaan merupakan bagian dari pelaksanaan fungsi trigger mechanism yang diamanatkan UU.
"Kami berupaya semaksimal mungkin untuk tetap melakukan upaya-upaya pemberantasan korupsi agar anggaran yang seharusnya dinikmati rakyat tidak dicuri oleh orang-orang tertentu," jelasnya.
KPK menduga ada 34 desa yang bermasalah dalam pengusutan kasus ini. Sebanyak tiga desa dinilai fiktif atau palsu, sedangkan 31 desa lainnya ada, akan tetapi Surat Keputusan (SK) pembentukannya dibuat dengan tanggal mundur.
KPK mengendus adanya dugaan tindak pidana korupsi dengan membentuk atau mendefinitifkan desa-desa yang tidak sesuai prosedur dengan menggunakan dokumen yang tidak sah sehingga mengakibatkan kerugian keuangan negara.
Disinyalir, desa-desa tersebut dibuat fiktif untuk mendapatkan Dana Desa (DD) dan Alokasi Dana Desa (ADD) yang dikelola beberapa desa di Kabupaten Konawe tahun anggaran 2016 sampai dengan 2018.
(kri)