Pro-Kontra Pemekaran dan Prospek Perdamaian Papua

Jum'at, 01 November 2019 - 08:05 WIB
Pro-Kontra Pemekaran...
Pro-Kontra Pemekaran dan Prospek Perdamaian Papua
A A A
Adriana Elisabeth

Koordinator

Jaringan Damai Papua/JDP Jakarta (2019-2022)

Pemekaran Papua menjadi perdebatan publik sejak diusulkan oleh wakil tokoh dan masyarakat Papua yang bertemu Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana Negara, Jakarta, pada 10 September 2019. Apa yang salah dengan pemekaran Provinsi Papua? Pemekaran provinsi pertama kali terjadi ketika Irian Jaya Barat menjadi provinsi baru berdasarkan UU No 45/1999, kemudian berubah nama menjadi Provinsi Papua Barat berdasarkan Peraturan Pemerintah No 24/2007.

Pekaran daerah dilakukan karena beberapa alasan antara lain luas wilayah yang berdampak pada rentang kendali kekuasaan yang terlalu jauh dalam mengelola pembangunan daerah. Adanya keinginan dan kepentingan elite lokal untuk memisahkan diri dari provinsi induk serta dinamika sosial masyarakat. Selain itu, pemekaran daerah dilakukan karena pertimbangan kepentingan strategis nasional, misalnya dalam rangka meningkatkan sistem pertahanan negara dan merespons perubahan geostrategi global, baik secara geopolitik maupun geoekonomi.

Pemekaran (dan penggabungan) daerah diatur dalam Undang-Undang No 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah. Kalau mengacu pada aturan itu, usulan pemekaran Provinsi Papua adalah wajar selama memenuhi ketentuan yang telah ditetapkan, seperti jumlah kabupaten/kota, jumlah penduduk, batas wilayah, ketersediaan birokrasi lokal, sumber keuangan daerah, dan aturan hukum yang pasti. Namun, sejak 2014, Kementerian Dalam Negeri telah mengeluarkan kebijakan moratorium untuk membatasi pemekaran daerah di seluruh Indonesia. Kalau demikian, mengapa Presiden Jokowi menyetujui pemekaran Provinsi Papua?

Berbeda dengan daerah lain, tampaknya pemekaran Provinsi Papua memerlukan kajian yang lebih mendalam sehubungan dengan akar masalah yang belum kunjung terselesaikan, demikian pula dengan dinamika politik, ekonomi dan sosial budaya yang berlangsung di sana, termasuk perubahan demografi, masalah sosial/psikososial yang belum teratasi, dan potensi konflik sosial antarwarga, khususnya sejak demo dan kerusuhan di Jayapura dan Wamena.

Pertama, pemekaran provinsi perlu disesuaikan dengan pembagian tujuh wilayah adat (5 wilayah adat di Papua dan 2 wilayah adat di Papua Barat). Selain untuk membangun konsistensi, hal ini juga untuk mengurangi perpecahan atau konflik di kemudian hari. Kedua, karena rasa curiga yang tinggi terhadap pemerintah pusat, maka ide pemekaran provinsi Papua diasumsikan sebagai upaya sadar untuk terus memecah Papua. Meskipun usulan pemekaran provinsi Papua berasal dari elite lokal Papua sendiri (baik kalangan politisi maupun tokoh adat). Ketiga, proses pemekaran provinsi harus dikonsultasikan dengan tiga pilar utama di Papua, yaitu pemerintah daerah (provinsi induk), kabupaten/kota (bakal pemekaran), kemudian DPRD Papua/Papua Barat, dan Majelis Rakyat Papua/Papua Barat (dengan melibatkan pokja agama, adat, dan perempuan). Selain itu, kelompok migran yang ada di daerah bakal pemekaran juga perlu diajak bicara, tujuannya untuk membangun dan menjaga relasi sosial yang harmonis, terutama di sektor ekonomi lokal dan politik daerah.

Dengan kata lain, meskipun pemekaran provinsi diusulkan oleh elite lokal Papua, prosesnya tetap harus melibatkan elemen-elemen lokal dalam negosiasi internal Papua untuk bersama-sama menentukan kesepakatan sehingga dapat mengurangi kesalahpahaman, termasuk untuk mengantisipasi konflik di kemudian hari. Sementara itu, pengambilan keputusan atas persetujuan pemekaran provinsi di Papua harus berbasis pada kepentingan strategis nasional dan juga kesejahteraan bagi warga Papua (orang Papua dan non-Papua). Analisis intelijen untuk mendukung kebijakan pemekaran Provinsi Papua bukanlah hal istimewa, tapi merupakan kewajiban negara untuk mendapatkan informasi yang komprehensif sebagai dasar analisis strategis bagi keputusan politik yang akurat dan tepat sasaran.

Dengan fakta bahwa Papua adalah daerah konflik (intrastate conflict ), pemerintah pusat bersama Pemerintah Papua perlu memahami dan membangun pendekatan baru ("Modern humanitarian policy leans heavily on the nexus", the New Humanitarian, ICRC 2019) yang menyambungkan antara pembangunan, perdamaian, dan kemanusiaan. Pertama, keterhubungan (invisibility ) antara tujuan dan praktik perdamaian, pembangunan dan kemanusiaan untuk melindungi rakyat, kesehatan dan pendidikan rakyat, kesejahteraan dan kedamaian melalui tata kelola dan penegakan hukum. Kedua, saling ketergantungan antara perdamaian, pembangunan, dan kemanusiaan untuk mendukung perbaikan pelayanan dasar, membangun kesetaraan ekonomi, dan sistem politik.

Ketiga, setiap pendekatan (perdamaian, pembangunan dan kemanusiaan) berbasis pada ethical duty agar tidak membatasi proses penyelesaian, tapi juga tidak merusak proses dan tatanan bersama. Pemekaran Provinsi Papua, apakah Papua Selatan, Papua Tengah, atau yang lain memerlukan kajian yang lebih mendalam sehingga realisasinya dapat bermanfaat bagi masyarakat Papua pada khususnya dan warga Papua umumnya. Meskipun belum ditemukan formula yang ideal untuk mencapai common interest dalam kasus ini, pemekaran provinsi yang sudah tampak di depan mata diharapkan tidak menjauh dari cita-cita untuk membangun masyarakat Papua yang lebih sejahtera, membangun stabilitas, dan perdamaian yang permanen dalam rumah Indonesia yang bineka.
(zil)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7641 seconds (0.1#10.140)