Pemerintah Daerah Berkewajiban Membangun Ketahanan Nasional
A
A
A
JAKARTA - Kepala daerah memiliki kewajiban dalam menjaga stabilitas wilayahnya, baik stabilitas keamanan maupun stabilitas kesejahteraan masyarakatnya. Hal itu diungkapkan Ketua DPP Partai Nasdem Bidang Pertahanan dan Keamanan, Supiadin Aries Saputra dalam Dialog Selasa bertema 'Hubungan Pembangunan Nasional dan Ketahanan Nasional' di Kantor DPP Partai Nasdem, Jakarta, Selasa (29/10/2019) malam.
"Selama ini kepala daerah mengandalkan polisi. Padahal, kepala daerah bertanggung jawab terhadap keamanan dan kesejahteraan," kata Supiadin.
Supiadin melihat dalam kasus kerusuhan Ambon beberapa tahun lalu, gubernurnya menyatakan darurat sipil ketika pemerintah daerah tidak sanggup menanganinya, karena itu aparat kepolisian langsung membantu.
"Namun sekarang persoalan keamanan diserahkan langsung kepada kepolisian, sementara kepala daerah malah 'cuci tangan'," ujar anggota DPR periode 2014-2019 yang juga purnawariwan TNI berbintang dua ini.
Mantan Asops Panglima TNI ini mengingatkan agar pemerintah daerah tetap harus ikut membangun dan membina ketahanan nasional di daerahnya. Begitu pun terkait pembahasan peraturan daerah (perda).
Dia pun mengimbau kepada para kader Nasdem yang menjadi anggota DPRD untuk mengkaji lebih dalam terkait pembahasan peraturan daerah."Setiap pembahasan perda, kader Nasdem harus mengkaji lebih dalam terkait dampaknya terhadap ideologi, sosial dan pertahanan dan keamanan," tuturnya.
Dialog Selasa yang digelar dalam rangka Kongres II Partai Nasdem pada 8-11 November 2019 itu juga menghadirkan pengamat pertahanan dan kemananan Connie Rahakundini Bakrie. Connie menyoroti masalah intoleransi yang masih menjadi salah satu penghambat upaya pembangunan nasional dan ketahanan nasional.
Salah satu faktor menguatnya intoleransi adalah adanya pemahaman yang salah terkait religiusitas yang terus masuk mencampuri pemerintahan negara."Masih ada kelemahan pembangunan nasional menuju tercapainya national interest Indonesia. Yang paling mengemuka saat ini yaitu pembangunan manusia yang terhambat karena masalah intoleransi," kata Connie.
Doktor bidang politik jebolan Universitas Indonesia ini menambahkan, konsep religiusitas membawa kepentingan nasional Indonesia justru kembali ke masa lalu dan bukan ke masa depan. Salah satu ciri-cirinya adalah adanya penolakan yang demikian besar terhadap pemimpin nonmuslim.
Connie menuturkan, saat ini Indonesia tidak akan mengalami perang seperti invasi pasukan langsung yang masuk ke dalam wilayah NKRI. Namun, perang yang akan dihadapi Indonesia adalah perang di media sosial.
"Perang kita ada di tangan kita, di media sosial. Ruang virtual internet sudah menjadi media perang. Di dunia ada 4 miliar orang pengguna internet. Orang dipaksa untuk berpikir, melihat dan mendengar. Ada perang informasi, ditransmisikan oleh semua media komunikasi. Kita berada di tengah situasi seperti saat ini," ujar Presiden Indonesia Institute for Maritime Studies itu.
Dia mengingatkan, sampai dengan saat ini masih ada sekitar 800.000 situs di Indonesia yang terus menebar berita bohong. Kondisi ini jika dibiarkan akan sangat berbahaya bagi kepentingan bangsa dan negara. "Hoaks merajalela dengan ratusan ribu situs itu. Ini adalah kondisi yang cukup berbahaya jika dibiarkan," tandasnya.
Connie mengungkapkan, menguatnya intoleransi di Indonesia telah memunculkan sekitar 29,7 persen profesional muda yang tidak mendukung pemimpin non-muslim, serta terdapat sekitar 15.000 anggota TNI terbina oleh kaum radikal.
"Selama ini kepala daerah mengandalkan polisi. Padahal, kepala daerah bertanggung jawab terhadap keamanan dan kesejahteraan," kata Supiadin.
Supiadin melihat dalam kasus kerusuhan Ambon beberapa tahun lalu, gubernurnya menyatakan darurat sipil ketika pemerintah daerah tidak sanggup menanganinya, karena itu aparat kepolisian langsung membantu.
"Namun sekarang persoalan keamanan diserahkan langsung kepada kepolisian, sementara kepala daerah malah 'cuci tangan'," ujar anggota DPR periode 2014-2019 yang juga purnawariwan TNI berbintang dua ini.
Mantan Asops Panglima TNI ini mengingatkan agar pemerintah daerah tetap harus ikut membangun dan membina ketahanan nasional di daerahnya. Begitu pun terkait pembahasan peraturan daerah (perda).
Dia pun mengimbau kepada para kader Nasdem yang menjadi anggota DPRD untuk mengkaji lebih dalam terkait pembahasan peraturan daerah."Setiap pembahasan perda, kader Nasdem harus mengkaji lebih dalam terkait dampaknya terhadap ideologi, sosial dan pertahanan dan keamanan," tuturnya.
Dialog Selasa yang digelar dalam rangka Kongres II Partai Nasdem pada 8-11 November 2019 itu juga menghadirkan pengamat pertahanan dan kemananan Connie Rahakundini Bakrie. Connie menyoroti masalah intoleransi yang masih menjadi salah satu penghambat upaya pembangunan nasional dan ketahanan nasional.
Salah satu faktor menguatnya intoleransi adalah adanya pemahaman yang salah terkait religiusitas yang terus masuk mencampuri pemerintahan negara."Masih ada kelemahan pembangunan nasional menuju tercapainya national interest Indonesia. Yang paling mengemuka saat ini yaitu pembangunan manusia yang terhambat karena masalah intoleransi," kata Connie.
Doktor bidang politik jebolan Universitas Indonesia ini menambahkan, konsep religiusitas membawa kepentingan nasional Indonesia justru kembali ke masa lalu dan bukan ke masa depan. Salah satu ciri-cirinya adalah adanya penolakan yang demikian besar terhadap pemimpin nonmuslim.
Connie menuturkan, saat ini Indonesia tidak akan mengalami perang seperti invasi pasukan langsung yang masuk ke dalam wilayah NKRI. Namun, perang yang akan dihadapi Indonesia adalah perang di media sosial.
"Perang kita ada di tangan kita, di media sosial. Ruang virtual internet sudah menjadi media perang. Di dunia ada 4 miliar orang pengguna internet. Orang dipaksa untuk berpikir, melihat dan mendengar. Ada perang informasi, ditransmisikan oleh semua media komunikasi. Kita berada di tengah situasi seperti saat ini," ujar Presiden Indonesia Institute for Maritime Studies itu.
Dia mengingatkan, sampai dengan saat ini masih ada sekitar 800.000 situs di Indonesia yang terus menebar berita bohong. Kondisi ini jika dibiarkan akan sangat berbahaya bagi kepentingan bangsa dan negara. "Hoaks merajalela dengan ratusan ribu situs itu. Ini adalah kondisi yang cukup berbahaya jika dibiarkan," tandasnya.
Connie mengungkapkan, menguatnya intoleransi di Indonesia telah memunculkan sekitar 29,7 persen profesional muda yang tidak mendukung pemimpin non-muslim, serta terdapat sekitar 15.000 anggota TNI terbina oleh kaum radikal.
(whb)