Waspada Propaganda Buzzer
A
A
A
JAKARTA - Buzzer kini menjadi predikat yang semakin naik daun. Bukan hanya di Indonesia, tapi di seluruh dunia. Fenomena buzzer ini menarik minat dua peneliti dari Universitas Oxford yakni Samantha Bradshaw dan Philip N. Howard untuk melakukan riset.
Berdasarkan penelitian, dalam kurun tiga tahun terakhir, berbagai lembaga pemerintah di banyak negara termasuk partai politik diketahui menggunakan jasa buzzer untuk melakukan propaganda melalui media sosial.
Propaganda tersebut dilakukan secara terorganisir, bersifat masif dengan strategi dan sumber daya yang sudah disiapkan."Manipulasi melalui media sosial yang terorganisir telah terjadi di 70 negara. Naik dari 48 negara di 2018 dan (hanya) 28 negara di 2017," demikian bunyi penelitian bertajuk "The Global Disinformation Order 2019 Global Inventory of Organised Social Media Manipulation" yang dipublikasikan Samantha dan Philip dikutip di Jakarta, kemarin.
Menurut mereka, di setiap negara, setidaknya ada satu partai politik atau lembaga pemerintah yang menggunakan media sosial untuk memengaruhi sikap publik di dalam negeri. Di 26 negara yang diteliti, propaganda digunakan sebagai alat kontrol terhadap informasi yang diterima oleh publik.
"Cara lain yang digunakan yakni mendiskreditkan lawan politik, dan menenggelamkan perbedaan pendapat. Sejumlah negara juga menggunakan propaganda itu untuk menghindari pengaruh asing," sebut Samantha.
Hasil penelitian juga menyebutkan Facebook menjadi platform yang paling dominan untuk aktivitas pasukan cyber (cyber troop) melakukan propaganda. Salah satu penyebabnya, platform media sosial besutan Mark Zuckerberg itu merupakan platform jejaring sosial terbesar di dunia. Sejak 2018, keduanya mengumpulkan bukti banyak aktivitas pasukan cyber di platform seperti Instagram dan WhatsApp, dua aplikasi media sosial yang telah diakuisisi Facebook. ‘’Kami juga telah mengumpulkan bukti pasukan cyber menjalankan kampanye di YouTube,’’papar Samantha.
Yang menarik, keduanya memasukkan Indonesia ke dalam penelitian. Hasilnya, Indonesia termasuk ke dalam negara yang menjadi tempat para buzzer melakukan aktivitasnya meskipun dalam skala kecil. Indonesia sejajar dengan Austria, Kolombia, Jerman, Spanyol, Zimbabwe dan beberapa Negara lain. Dengan biaya yang dikeluarkan untuk pada buzzer mencapai Rp1 juta hingga Rp50 juta.
Di dalam negeri, buzzer yang banyak menjalankan aktivitasnya adalah buzzer politik. Buzzer politik ini naik daun sejak pemilihan gubernur DKI Jakarta pada 2012 silam. Hingga kini, para buzzer yang umumnya menggulirkan konten propaganda bernada provokatif itu masih leluasa menjalankan aksinya.
Menurut peneliti dari Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG) Rinaldi Camil, sejatinya, buzzer sangat lazim di dunia marketing untuk mempromosikan sebuah produk. Konten yang disiarkan umumnya bernada positif untuk mempromosikan sebuah produk. Namun, peran buzzer berubah 180 derajat saat digunakan untuk kepentingan politik. Para buzzer itu tak segan menggunakan cara kotor seperti memfitnah orang bahkan membuat konten palsu (hoaks). "Buzzer untuk kepentingan politik pragmatis melakukan kampanye hitam untuk lawannya," ungkapnya saat dihubungi KORAN SINDO, kemarin.
Di banyak platform media sosial (medsos) para buzzer melalui akun palsu menciptakan sebuah tema percakapan yang tujuannya agar publik menganggapnya sebagai isu yang nyata karena dibicarakan banyak orang. Pakar teknologi informasi, Ismail Fahmi pun sependapat jika sejatinya buzzer tercipta dengan sebuah etika.
Namun, hal itu tidak berlaku untuk buzzer politik yang umumnya mulai bekerja saat momentum perhelatan politik seperti pemilihan kepala daerah, pemilihan anggota legislatif maupun pemilihan presiden dan wakil presiden.
Jika dibiarkan, para buzzer justru akan memberikan dampak buruk terhadap pemerintah. Salah satunya yakni menghambat komunikasi antara pemerintah dengan rakyatnya.
Sosiolog dari dari Universitas Nasional (Unas),Sigit Rohadi menyatakan, buzzer politik memang nyata hadir di tengah masyarakat untuk mengacaukan situasi dengan perang opini. Mereka memanfaatkan rendahnya literasi masyarakat terhadap media digital di Indonesia. Ditambah lagi, Indonesia termasuk negara yang sangat bebas memproduksi dan mengkonsumsi media. "Di negara yang bergaya hidup bebas saja seperti di Eropa ada tahapan tertentu dalam mengkonsumsi media. Masyarakat di Eropa dikenalkan terlebih dahulu dengan media konvensional sebelum media sosial," paparnya.
Narasi-narasi yang digulirkan oleh para buzzer selama ini sering menimbulkan keresahan di masyarakat. Karena itu, kata Sigit, perlu keterlibatan banyak pihak untuk melakukan sosialisasi agar terhindar dari propaganda buzzer. Termasuk keterlibatan media massa baik media cetak, televise, radio maupun portal berita. "Masyarakat harus disadarkan, perlunya mereka berhati hati jika menerima sebuah berita atau informasi sekalipun dari sosok dikenal karena bisa saja dia bagian dari buzzer," tegasnya.
Pemerintah, melalui Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo) berjanji akan menertibkan akun media sosial yang sudah menebarkan keresahan di masyarakat. Kabid Penjamin Mutu dan Pendayagunaan Hasil, Puslitbang Aptika dan IKP Kemenkominfo, Ramon Kaban mengatakan, selama ini akun yang sering menyampaikan postingan sensitif sudah sering diblokir. Namun untuk akun buzzer masih harus dilakukan kajian kembali untuk mengelompokkan akun mana saja yang melanggar.
Pakar Komunikasi politik Universitas Brawijaya Anang Sujoko menjelaskan, cara komunikasi para buzzer tidak ada yang istimewa. Hanya karena mereka memposting informasi secara rutin dan terus menerus maka masyarakat menjadi percaya. Hal ini sesuai fenomena post truth yang sering terjadi. "Ketika informasi yang belum tentu benar menyebar secara masif dan terus menerus, maka akan mampu membangun sesuatu bahkan menjadi sebuah kebenaran," jelasnya. Influencer pun kini juga banyak yang memiliki peran sebagai buzzer.
Bebasnya para buzzer melancarkan aksinya tersebut, salah satunya juga karena meredupnya semangat media mainstream untuk memberikan informasi yang akurat dan factual kepada masyarakat. "Justru sekarang saya melihat media mainstream banyak yang mengangkat isu-isu dari media sosial," tegas pakar komunikasi, Pujobroto.
Pria yang mendalami ilmu komunikasi di Pittsburg State University, Amerika Serikat (AS) ini menilai, media mainstream saat ini, justru terkesan mengikuti irama yang dimainkan oleh para buzzer di media sosial. "Lalu untuk apa masyarakat membaca berita dari media mainstream jika sumber beritanya dari media sosial," paparnya.
Menurut Pujobroto, seharusnya, media mainstream menjadi penyeimbang bagi disinformasi yang disampaikan pihak-pihak tertentu di media sosial. Caranya dengan menyajikan berita yang obyektif, dan menyajikan fakta. "Sehingga, masyarakat mendapatkan informasi yang sebenarnya dan tidak termakan propaganda berita-berita yang dikemas oleh pihak tertentu untuk kepentingan tertentu yang bisa merugikan masyarakat," jelasnya.
Media mainstream, kata dia, juga harus mengembalikan sikap independen agar kembali mendapat kepercayaan masyarakat. Sebab, banyak ditemukan media-media mainstream yang tidak menjalankan fungsinya dengan baik. "Jika hal it uterus terjadi, maka masyarakat akan kembali lagi mencari informasi melalui media sosial. Yang sudah barang tentu informasi-informasinya bersifat sarat kepentingan," tegasnya. (Anton C/Ananda Nararya/Rendra Hanggara)
Berdasarkan penelitian, dalam kurun tiga tahun terakhir, berbagai lembaga pemerintah di banyak negara termasuk partai politik diketahui menggunakan jasa buzzer untuk melakukan propaganda melalui media sosial.
Propaganda tersebut dilakukan secara terorganisir, bersifat masif dengan strategi dan sumber daya yang sudah disiapkan."Manipulasi melalui media sosial yang terorganisir telah terjadi di 70 negara. Naik dari 48 negara di 2018 dan (hanya) 28 negara di 2017," demikian bunyi penelitian bertajuk "The Global Disinformation Order 2019 Global Inventory of Organised Social Media Manipulation" yang dipublikasikan Samantha dan Philip dikutip di Jakarta, kemarin.
Menurut mereka, di setiap negara, setidaknya ada satu partai politik atau lembaga pemerintah yang menggunakan media sosial untuk memengaruhi sikap publik di dalam negeri. Di 26 negara yang diteliti, propaganda digunakan sebagai alat kontrol terhadap informasi yang diterima oleh publik.
"Cara lain yang digunakan yakni mendiskreditkan lawan politik, dan menenggelamkan perbedaan pendapat. Sejumlah negara juga menggunakan propaganda itu untuk menghindari pengaruh asing," sebut Samantha.
Hasil penelitian juga menyebutkan Facebook menjadi platform yang paling dominan untuk aktivitas pasukan cyber (cyber troop) melakukan propaganda. Salah satu penyebabnya, platform media sosial besutan Mark Zuckerberg itu merupakan platform jejaring sosial terbesar di dunia. Sejak 2018, keduanya mengumpulkan bukti banyak aktivitas pasukan cyber di platform seperti Instagram dan WhatsApp, dua aplikasi media sosial yang telah diakuisisi Facebook. ‘’Kami juga telah mengumpulkan bukti pasukan cyber menjalankan kampanye di YouTube,’’papar Samantha.
Yang menarik, keduanya memasukkan Indonesia ke dalam penelitian. Hasilnya, Indonesia termasuk ke dalam negara yang menjadi tempat para buzzer melakukan aktivitasnya meskipun dalam skala kecil. Indonesia sejajar dengan Austria, Kolombia, Jerman, Spanyol, Zimbabwe dan beberapa Negara lain. Dengan biaya yang dikeluarkan untuk pada buzzer mencapai Rp1 juta hingga Rp50 juta.
Di dalam negeri, buzzer yang banyak menjalankan aktivitasnya adalah buzzer politik. Buzzer politik ini naik daun sejak pemilihan gubernur DKI Jakarta pada 2012 silam. Hingga kini, para buzzer yang umumnya menggulirkan konten propaganda bernada provokatif itu masih leluasa menjalankan aksinya.
Menurut peneliti dari Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG) Rinaldi Camil, sejatinya, buzzer sangat lazim di dunia marketing untuk mempromosikan sebuah produk. Konten yang disiarkan umumnya bernada positif untuk mempromosikan sebuah produk. Namun, peran buzzer berubah 180 derajat saat digunakan untuk kepentingan politik. Para buzzer itu tak segan menggunakan cara kotor seperti memfitnah orang bahkan membuat konten palsu (hoaks). "Buzzer untuk kepentingan politik pragmatis melakukan kampanye hitam untuk lawannya," ungkapnya saat dihubungi KORAN SINDO, kemarin.
Di banyak platform media sosial (medsos) para buzzer melalui akun palsu menciptakan sebuah tema percakapan yang tujuannya agar publik menganggapnya sebagai isu yang nyata karena dibicarakan banyak orang. Pakar teknologi informasi, Ismail Fahmi pun sependapat jika sejatinya buzzer tercipta dengan sebuah etika.
Namun, hal itu tidak berlaku untuk buzzer politik yang umumnya mulai bekerja saat momentum perhelatan politik seperti pemilihan kepala daerah, pemilihan anggota legislatif maupun pemilihan presiden dan wakil presiden.
Jika dibiarkan, para buzzer justru akan memberikan dampak buruk terhadap pemerintah. Salah satunya yakni menghambat komunikasi antara pemerintah dengan rakyatnya.
Sosiolog dari dari Universitas Nasional (Unas),Sigit Rohadi menyatakan, buzzer politik memang nyata hadir di tengah masyarakat untuk mengacaukan situasi dengan perang opini. Mereka memanfaatkan rendahnya literasi masyarakat terhadap media digital di Indonesia. Ditambah lagi, Indonesia termasuk negara yang sangat bebas memproduksi dan mengkonsumsi media. "Di negara yang bergaya hidup bebas saja seperti di Eropa ada tahapan tertentu dalam mengkonsumsi media. Masyarakat di Eropa dikenalkan terlebih dahulu dengan media konvensional sebelum media sosial," paparnya.
Narasi-narasi yang digulirkan oleh para buzzer selama ini sering menimbulkan keresahan di masyarakat. Karena itu, kata Sigit, perlu keterlibatan banyak pihak untuk melakukan sosialisasi agar terhindar dari propaganda buzzer. Termasuk keterlibatan media massa baik media cetak, televise, radio maupun portal berita. "Masyarakat harus disadarkan, perlunya mereka berhati hati jika menerima sebuah berita atau informasi sekalipun dari sosok dikenal karena bisa saja dia bagian dari buzzer," tegasnya.
Pemerintah, melalui Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo) berjanji akan menertibkan akun media sosial yang sudah menebarkan keresahan di masyarakat. Kabid Penjamin Mutu dan Pendayagunaan Hasil, Puslitbang Aptika dan IKP Kemenkominfo, Ramon Kaban mengatakan, selama ini akun yang sering menyampaikan postingan sensitif sudah sering diblokir. Namun untuk akun buzzer masih harus dilakukan kajian kembali untuk mengelompokkan akun mana saja yang melanggar.
Pakar Komunikasi politik Universitas Brawijaya Anang Sujoko menjelaskan, cara komunikasi para buzzer tidak ada yang istimewa. Hanya karena mereka memposting informasi secara rutin dan terus menerus maka masyarakat menjadi percaya. Hal ini sesuai fenomena post truth yang sering terjadi. "Ketika informasi yang belum tentu benar menyebar secara masif dan terus menerus, maka akan mampu membangun sesuatu bahkan menjadi sebuah kebenaran," jelasnya. Influencer pun kini juga banyak yang memiliki peran sebagai buzzer.
Bebasnya para buzzer melancarkan aksinya tersebut, salah satunya juga karena meredupnya semangat media mainstream untuk memberikan informasi yang akurat dan factual kepada masyarakat. "Justru sekarang saya melihat media mainstream banyak yang mengangkat isu-isu dari media sosial," tegas pakar komunikasi, Pujobroto.
Pria yang mendalami ilmu komunikasi di Pittsburg State University, Amerika Serikat (AS) ini menilai, media mainstream saat ini, justru terkesan mengikuti irama yang dimainkan oleh para buzzer di media sosial. "Lalu untuk apa masyarakat membaca berita dari media mainstream jika sumber beritanya dari media sosial," paparnya.
Menurut Pujobroto, seharusnya, media mainstream menjadi penyeimbang bagi disinformasi yang disampaikan pihak-pihak tertentu di media sosial. Caranya dengan menyajikan berita yang obyektif, dan menyajikan fakta. "Sehingga, masyarakat mendapatkan informasi yang sebenarnya dan tidak termakan propaganda berita-berita yang dikemas oleh pihak tertentu untuk kepentingan tertentu yang bisa merugikan masyarakat," jelasnya.
Media mainstream, kata dia, juga harus mengembalikan sikap independen agar kembali mendapat kepercayaan masyarakat. Sebab, banyak ditemukan media-media mainstream yang tidak menjalankan fungsinya dengan baik. "Jika hal it uterus terjadi, maka masyarakat akan kembali lagi mencari informasi melalui media sosial. Yang sudah barang tentu informasi-informasinya bersifat sarat kepentingan," tegasnya. (Anton C/Ananda Nararya/Rendra Hanggara)
(nfl)