DPR: Perppu Tak Harus Batalkan Semua Pasal dalam Revisi UU KPK
A
A
A
JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) mempertimbangkan untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) mengenai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sikap tersebut diambil Jokowi menyikapi protes berbagai kalangan mengenai penolakan terhadap revisi UU KPK dari berbagai kalangan.Anggota Komisi III DPR Arsul Sani mengakui menerbitkan Perppu menjadi kewenangan konstitusional Presiden berdasarkan Pasal 22 UUD 1945.
Dia merujuk Pasal 22 ayat 1, yakni Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang. Pada ayat 2, Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut.
Karena itu, dikatakannya jika nanti Perppu terbit, DPR juga memiliki hak konstitusional untuk menyetujui atau tidak menyetujui. Hal lain, kata Asrul, terbitnya Perppu bukan berarti membatalkan semua ketentuan pasal-pasal yang ada dalam UU KPK hasil revisi.
Menurut dia, bisa saja Perppu memuat atau membatalkan pasal-pasal yang dipercaya merupakan pasal yang melemahkan KPK. Kemudian juga Perppu juga bisa mengklarifikasi pasal lain agar lebih jelas.
”Apa misalnya, kalau pendapat pribadi saya soal kewenangan Dewan Pengawas terkait dengan izin untuk penyadapan. Kan bisa saja misalnya, hemat saya itu diubah menjadi pemberitahuan dan setelah penyadapan itu dilakukan harus dipertanggungjawabkan kepada Dewan Pengawas,” tutur Asrul ditemui usai Sidang Paripurna MPR Masa Akhir Tugas 2014-2019 di Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (27/9/2019).
Berikutnya, dalam ketentuan yang ada di UU KPK lama bahwa pimpinan KPK adalah penyidik dan penuntut. Menurut Asrul, bisa saja pasal tersebut dihidupkan kembali. ”Kalau itu mau dikembalikan monggo, juga tak ada masalah walaupun menurut hemat saya, enggak ada pasal itu juga tidak menjadikan KPK lemah. Mengapa demikian? Karena yang namanya pimpinan KPK itu adalah penentu kebijakan lembaga terkait kerja-kerja tindak pidana korupsi. Juga pengendali kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi,” paparnya.
Menurut Asrul, sesuai dengan revisi UU Korupsi, penyidik harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Padahal, bisa saja orang yang terpilih sebagai komisioner KPK tidak memenuhi persyaratan sebagai penyidik.
”Dalam UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, enggak ada itu pasal yang mengatakan bahwa Kapolri adalah penyidik. Coba baca juga UU Kejaksaan, enggak ada juga pasal yang tegas mengatakan bahwa jaksa agung adalah penuntut,” katanya.
Namun, Jaksa Agung bisa memerintahkan penuntut karena Jaksa Agung adalah representasi lembaga Kejaksaan Agung yang bisa menugaskan jaksa sebagai penuntut umum. “Ini kan dalam revisi UU KPK ini gak ada pasal itu, kemudian langsung diterjemahkan sebagai pelemahan KPK, tapi sebenarnya tidak juga kalau kita mau menyikapi dengan kepala dingin, bukan dengan emosi atau keinginan untuk memaksakan pendapat,” paparnya.
Jika Presiden menerbitkan Peprpu maka harus disampaikan ke DPR untuk dibahas dalam satu masa sidang. Dengan sudah hambir berakhirnya masa tugas DPR, Senin, 30 September 2019 mendatang maka hampir tidak mungkin DPR periode ini akan membahas Perppu jika Presiden Jokowi menerbitkan aturan hukum tersebut.
Politikus PDIP Aria Bima mengatakan, saat ini proses politik berjalan sehingga perlu ada harmonisasi antara DPR dan pemerintah dalam proses pembuatan revisi UU KPK. ”Ternyata dalam proses diundangkan ada berbagai masukan-masukan dari publik yang selama ini kita lihat sendiri baik dari kalangan budayawan, rohaniawan, kalangan intelektual, juga kalangan mahasiswa,” katanya.
Menurut dia, pertemuan itu direspons Presiden Jokowi. Ke depan, perlu ada harmonisasi pertemuan antara lembaga tinggi negara dan ketua-ketua fraksi di DPR. Biasa kalau terjadi satu hal yang perlu dirumuskan dalam forum pertemuan internal rapat konsul antara pimpinan DPR dan Presiden itu perlu dilakukan.
”Semuanya tentu akan bisa cair untuk diambil sesuatu yang bijak bagaimana proses politik pembuatan sudah berjalan dan beberapa hal yang terkait dengan masukan-masukan publik juga perlu didengar maka indahnya, baiknya, sejuknya, selanjutnya perlu ada pertemuan antara Presiden dengan pimpinan DPR dan pimpinan fraksi,” katanya.
Dia merujuk Pasal 22 ayat 1, yakni Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang. Pada ayat 2, Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut.
Karena itu, dikatakannya jika nanti Perppu terbit, DPR juga memiliki hak konstitusional untuk menyetujui atau tidak menyetujui. Hal lain, kata Asrul, terbitnya Perppu bukan berarti membatalkan semua ketentuan pasal-pasal yang ada dalam UU KPK hasil revisi.
Menurut dia, bisa saja Perppu memuat atau membatalkan pasal-pasal yang dipercaya merupakan pasal yang melemahkan KPK. Kemudian juga Perppu juga bisa mengklarifikasi pasal lain agar lebih jelas.
”Apa misalnya, kalau pendapat pribadi saya soal kewenangan Dewan Pengawas terkait dengan izin untuk penyadapan. Kan bisa saja misalnya, hemat saya itu diubah menjadi pemberitahuan dan setelah penyadapan itu dilakukan harus dipertanggungjawabkan kepada Dewan Pengawas,” tutur Asrul ditemui usai Sidang Paripurna MPR Masa Akhir Tugas 2014-2019 di Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (27/9/2019).
Berikutnya, dalam ketentuan yang ada di UU KPK lama bahwa pimpinan KPK adalah penyidik dan penuntut. Menurut Asrul, bisa saja pasal tersebut dihidupkan kembali. ”Kalau itu mau dikembalikan monggo, juga tak ada masalah walaupun menurut hemat saya, enggak ada pasal itu juga tidak menjadikan KPK lemah. Mengapa demikian? Karena yang namanya pimpinan KPK itu adalah penentu kebijakan lembaga terkait kerja-kerja tindak pidana korupsi. Juga pengendali kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi,” paparnya.
Menurut Asrul, sesuai dengan revisi UU Korupsi, penyidik harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Padahal, bisa saja orang yang terpilih sebagai komisioner KPK tidak memenuhi persyaratan sebagai penyidik.
”Dalam UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, enggak ada itu pasal yang mengatakan bahwa Kapolri adalah penyidik. Coba baca juga UU Kejaksaan, enggak ada juga pasal yang tegas mengatakan bahwa jaksa agung adalah penuntut,” katanya.
Namun, Jaksa Agung bisa memerintahkan penuntut karena Jaksa Agung adalah representasi lembaga Kejaksaan Agung yang bisa menugaskan jaksa sebagai penuntut umum. “Ini kan dalam revisi UU KPK ini gak ada pasal itu, kemudian langsung diterjemahkan sebagai pelemahan KPK, tapi sebenarnya tidak juga kalau kita mau menyikapi dengan kepala dingin, bukan dengan emosi atau keinginan untuk memaksakan pendapat,” paparnya.
Jika Presiden menerbitkan Peprpu maka harus disampaikan ke DPR untuk dibahas dalam satu masa sidang. Dengan sudah hambir berakhirnya masa tugas DPR, Senin, 30 September 2019 mendatang maka hampir tidak mungkin DPR periode ini akan membahas Perppu jika Presiden Jokowi menerbitkan aturan hukum tersebut.
Politikus PDIP Aria Bima mengatakan, saat ini proses politik berjalan sehingga perlu ada harmonisasi antara DPR dan pemerintah dalam proses pembuatan revisi UU KPK. ”Ternyata dalam proses diundangkan ada berbagai masukan-masukan dari publik yang selama ini kita lihat sendiri baik dari kalangan budayawan, rohaniawan, kalangan intelektual, juga kalangan mahasiswa,” katanya.
Menurut dia, pertemuan itu direspons Presiden Jokowi. Ke depan, perlu ada harmonisasi pertemuan antara lembaga tinggi negara dan ketua-ketua fraksi di DPR. Biasa kalau terjadi satu hal yang perlu dirumuskan dalam forum pertemuan internal rapat konsul antara pimpinan DPR dan Presiden itu perlu dilakukan.
”Semuanya tentu akan bisa cair untuk diambil sesuatu yang bijak bagaimana proses politik pembuatan sudah berjalan dan beberapa hal yang terkait dengan masukan-masukan publik juga perlu didengar maka indahnya, baiknya, sejuknya, selanjutnya perlu ada pertemuan antara Presiden dengan pimpinan DPR dan pimpinan fraksi,” katanya.
(dam)