Pesantren Bakal Dapat Dana Abadi dari Alokasi Dana Pendidikan
A
A
A
JAKARTA - Rapat Kerja (Raker) pengesahan tingkat I Rancangan Undang-Undang (RUU) Pesantren sempat berlangsung alot. Hal itu lantaran perbedaan pendapat antara pemerintah dengan DPR terkait dua pasal dalam draf RUU itu. Kedua pasal yang sempat diperdebatkan itu adalah Pasal 42 dan Pasal 49 serta perubahan nama dari RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan menjadi RUU Pesantren. Pemerintah yang diwakili Menteri Agama (Menag) Lukman Hakim Saifuddin meminta kata “dapat” dalam pasal 42 dihilangkan.
Pasal tersebut berbunyi “Pemerintah pusat dan pemerintah daerah dapat memberikan dukungan pelaksanaan fungsi dakwah pesantren dalam bentuk kerja sama program, fasilitasi kebijakan dan pendanaan.” Sedangkan Pasal 49 RUU Pesantren yang berbunyi “Pemerintah menyediakan dan mengelola dana abadi pesantren.” Pemerintah tidak sepakat dengan pasal tersebut dengan alasan dana abadi itu sifatnya abadi atau disimpan dan hanya boleh digunakan manfaatnya saja.
“Pemerintah menyetujui bahwa seluruh pembahasan panja ini bisa dibawa ke tingkat dua di paripurna. Khusus satu hal yang masih di-pending yang masih belum mendapat kesepakatan bersama terkait pasal 49. Kami dari pemerintah ingin menjelaskan terkait keberadaan dana abadi pesantren karena ini domain Kemenkeu dan kami sudah berkali-kali mencoba mengonfirmasi,” tandas Menag Lukman Hakim Syaifuddin dalam rapat bersama Komisi VIII di Kompleks Parlemen Senayan, Senayan, Jakarta, kemarin.
Menag pun memaparkan alasan penolakannya. Salah satunya, dana abadi yang baru di luar alokasi dana pendidikan akan membebani negara dan masyarakat. Ditambah, manfaat yang diperoleh tidak bisa maksimal karena dana abadi itu hanya bisa diperoleh manfaatnya saja.
“Nanti pengelolaannya menimbulkan beban lagi, karena akan butuh institusi baru. Kemudian, pesantren akan kurang mendapatkan manfaat yang optimum, karena kalau ada dana abadi umat yang bisa dimanfaatkan hanya nilai manfaat karena namanya abadi,” ungkapnya. Sejumlah fraksi pun kemudian menyimpulkan jika penolakan Kemenag karena khawatir dana abadi ini akan menggerus alokasi anggarannya.
Hal itu kemudian dibantah langsung oleh Menag. “Kami tidak khawatir dana abadi akan menggerus dana Kemenag. Tapi, kami ingin agar uang negara bisa dirasakan oleh masyarakat,” kata Menag. Itulah kenapa pemerintah tidak lagi membentuk dana-dana abadi itu. Karena itu useless dan tidak bisa dimanfaatkan secara optimal. “Yang bisa hanya sebagian kecil dari nilai manfaatnya. Karenanya dana abadi ini kebijakan bapak presiden kami baru saja konfirmasi dengan Menkeu,” paparnya.
Menag pun kemudian menyarankan redaksi dalam pasal tersebut diubah jika DPR tetap ingin mempertahankan pasal soal dana abadi. “Jika tetap ingin mempertahankan pasal 49, rumusan ayat satunya sebaiknya kita ubah ‘pemerintah menyediakan dan mengelola dana abadi pesantren yang bersumber dari dana abadi pendidikan.’ Jangan bikin baru lagi,” tandas Menag.
Wakil Ketua Komisi VIII DPR dari Fraksi PKB Marwan Dasopang menilai, lebih baik pasal tersebut dihilangkan saja daripada harus dialokasikan dari dana pendidikan. “Kalau masih bagian dari dana abadi pendidikan, maka enggak perlu pasal ini, pasal 49 buang. Di saat kita butuh, saat kita sudah kaya dan punya banyak uang, terkunci 20%. Kalau spesialis untuk pesantren maka boleh saja. Mending tidak usah ada,” tandasnya.
Ketua Komisi VIII DPR Ali Taher Parasong mengatakan, sebelumnya memang masih mengganjal terkait ketentuan dana abadi. Di mana Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sudah memberikan catatan. Namun, ujarnya, sudah ada solusi soal itu.
“Pihak pemerintah mengatakan bahwa dana itu sudah ada pada sistem pendidikan nasional (sisdiknas) yang dialokasikan sebesar 20%. Tetapi kan pesantren ini memerlukan, apa namanya dana khusus, untuk dana abadi. Kita sudah terakomondasi tadi sudah,” tandasnya. Berapa jumlah yang disediakan pemerintah, menurut dia, tidak masalah. Yang terpenting ada dana yang dialokasikan untuk dana abadi itu. Soal jumlah, lanjutnya, bisa disesuaikan dengan kemampuan keuangan negara.
Akhirnya disepakati bahwa redaksi pasal tersebut diubah menjadi “pemerintah menyediakan dan mengelola dana abadi pesantren yang bersumber dan merupakan dari dana abadi pendidikan.” “Sepakat Pasal 42 kata ‘dapat’ dicabut kemudian muncul kalimat pada 49 ayat 1 seperti yang sekarang,” ujar Ali sembari mengetuk palu tanda pengesahan.
Selanjutnya, RUU Pesantren ini disetujui untuk dibawa ke tingkat II pada Rapat Paripurna DPR untuk disahkan menjadi undang-undang.
Wakil Ketua Komisi VIII DPR Ace Hasan Syadzily mengungkapkan, ada beberapa poin penting dalam RUU Pesantren ini. Di antaranya, undang-undang ini akan berdampak pada pengakuan negara terhadap keberadaan pesantren.
RUU Pesantren, lanjutnya, menegaskan keberadaan pesantren sebagai lembaga mandiri dengan ciri khas institusi yang menanamkan nilai-nilai keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan. Hal ini memperkuat keutuhan NKRI. Apalagi, pesantren tidak hanya berperan sebagai lembaga pendidikan, melainkan juga sebagai lembaga dakwah dan pemberdayaan masyarakat.
“Jika nantinya RUU Pesantren disahkan, tidak ada lagi ijazah lulusan pesantren yang tidak diakui setara dengan lulusan lembaga formal lainnya. Tentu pembelajaran di pesanten itu muadalah, artinya diakui setara dengan lembaga formal lain ijazahnya, sehingga lulusan pesantren bisa ke perguruan tinggi yang ada,” tandasnya. Selain itu, menurut Ace, dengan adanya RUU ini, maka pesantren tidak hanya akan mendapatkan dana APBN dari Kementerian Agama, tetapi juga bakal mendapatkan APBD
Pasal tersebut berbunyi “Pemerintah pusat dan pemerintah daerah dapat memberikan dukungan pelaksanaan fungsi dakwah pesantren dalam bentuk kerja sama program, fasilitasi kebijakan dan pendanaan.” Sedangkan Pasal 49 RUU Pesantren yang berbunyi “Pemerintah menyediakan dan mengelola dana abadi pesantren.” Pemerintah tidak sepakat dengan pasal tersebut dengan alasan dana abadi itu sifatnya abadi atau disimpan dan hanya boleh digunakan manfaatnya saja.
“Pemerintah menyetujui bahwa seluruh pembahasan panja ini bisa dibawa ke tingkat dua di paripurna. Khusus satu hal yang masih di-pending yang masih belum mendapat kesepakatan bersama terkait pasal 49. Kami dari pemerintah ingin menjelaskan terkait keberadaan dana abadi pesantren karena ini domain Kemenkeu dan kami sudah berkali-kali mencoba mengonfirmasi,” tandas Menag Lukman Hakim Syaifuddin dalam rapat bersama Komisi VIII di Kompleks Parlemen Senayan, Senayan, Jakarta, kemarin.
Menag pun memaparkan alasan penolakannya. Salah satunya, dana abadi yang baru di luar alokasi dana pendidikan akan membebani negara dan masyarakat. Ditambah, manfaat yang diperoleh tidak bisa maksimal karena dana abadi itu hanya bisa diperoleh manfaatnya saja.
“Nanti pengelolaannya menimbulkan beban lagi, karena akan butuh institusi baru. Kemudian, pesantren akan kurang mendapatkan manfaat yang optimum, karena kalau ada dana abadi umat yang bisa dimanfaatkan hanya nilai manfaat karena namanya abadi,” ungkapnya. Sejumlah fraksi pun kemudian menyimpulkan jika penolakan Kemenag karena khawatir dana abadi ini akan menggerus alokasi anggarannya.
Hal itu kemudian dibantah langsung oleh Menag. “Kami tidak khawatir dana abadi akan menggerus dana Kemenag. Tapi, kami ingin agar uang negara bisa dirasakan oleh masyarakat,” kata Menag. Itulah kenapa pemerintah tidak lagi membentuk dana-dana abadi itu. Karena itu useless dan tidak bisa dimanfaatkan secara optimal. “Yang bisa hanya sebagian kecil dari nilai manfaatnya. Karenanya dana abadi ini kebijakan bapak presiden kami baru saja konfirmasi dengan Menkeu,” paparnya.
Menag pun kemudian menyarankan redaksi dalam pasal tersebut diubah jika DPR tetap ingin mempertahankan pasal soal dana abadi. “Jika tetap ingin mempertahankan pasal 49, rumusan ayat satunya sebaiknya kita ubah ‘pemerintah menyediakan dan mengelola dana abadi pesantren yang bersumber dari dana abadi pendidikan.’ Jangan bikin baru lagi,” tandas Menag.
Wakil Ketua Komisi VIII DPR dari Fraksi PKB Marwan Dasopang menilai, lebih baik pasal tersebut dihilangkan saja daripada harus dialokasikan dari dana pendidikan. “Kalau masih bagian dari dana abadi pendidikan, maka enggak perlu pasal ini, pasal 49 buang. Di saat kita butuh, saat kita sudah kaya dan punya banyak uang, terkunci 20%. Kalau spesialis untuk pesantren maka boleh saja. Mending tidak usah ada,” tandasnya.
Ketua Komisi VIII DPR Ali Taher Parasong mengatakan, sebelumnya memang masih mengganjal terkait ketentuan dana abadi. Di mana Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sudah memberikan catatan. Namun, ujarnya, sudah ada solusi soal itu.
“Pihak pemerintah mengatakan bahwa dana itu sudah ada pada sistem pendidikan nasional (sisdiknas) yang dialokasikan sebesar 20%. Tetapi kan pesantren ini memerlukan, apa namanya dana khusus, untuk dana abadi. Kita sudah terakomondasi tadi sudah,” tandasnya. Berapa jumlah yang disediakan pemerintah, menurut dia, tidak masalah. Yang terpenting ada dana yang dialokasikan untuk dana abadi itu. Soal jumlah, lanjutnya, bisa disesuaikan dengan kemampuan keuangan negara.
Akhirnya disepakati bahwa redaksi pasal tersebut diubah menjadi “pemerintah menyediakan dan mengelola dana abadi pesantren yang bersumber dan merupakan dari dana abadi pendidikan.” “Sepakat Pasal 42 kata ‘dapat’ dicabut kemudian muncul kalimat pada 49 ayat 1 seperti yang sekarang,” ujar Ali sembari mengetuk palu tanda pengesahan.
Selanjutnya, RUU Pesantren ini disetujui untuk dibawa ke tingkat II pada Rapat Paripurna DPR untuk disahkan menjadi undang-undang.
Wakil Ketua Komisi VIII DPR Ace Hasan Syadzily mengungkapkan, ada beberapa poin penting dalam RUU Pesantren ini. Di antaranya, undang-undang ini akan berdampak pada pengakuan negara terhadap keberadaan pesantren.
RUU Pesantren, lanjutnya, menegaskan keberadaan pesantren sebagai lembaga mandiri dengan ciri khas institusi yang menanamkan nilai-nilai keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan. Hal ini memperkuat keutuhan NKRI. Apalagi, pesantren tidak hanya berperan sebagai lembaga pendidikan, melainkan juga sebagai lembaga dakwah dan pemberdayaan masyarakat.
“Jika nantinya RUU Pesantren disahkan, tidak ada lagi ijazah lulusan pesantren yang tidak diakui setara dengan lulusan lembaga formal lainnya. Tentu pembelajaran di pesanten itu muadalah, artinya diakui setara dengan lembaga formal lain ijazahnya, sehingga lulusan pesantren bisa ke perguruan tinggi yang ada,” tandasnya. Selain itu, menurut Ace, dengan adanya RUU ini, maka pesantren tidak hanya akan mendapatkan dana APBN dari Kementerian Agama, tetapi juga bakal mendapatkan APBD
(don)