LHKPN Jadi Momok bagi Sebagian Penyelenggara Negara

Rabu, 28 Agustus 2019 - 07:47 WIB
LHKPN Jadi Momok bagi...
LHKPN Jadi Momok bagi Sebagian Penyelenggara Negara
A A A
JAKARTA - Sejumlah mantan Komisioner Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) menyoroti isu terkait Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN).

Isu LHKPN akhir-akhir ini mengemuka setelah Indonesia Corruption Watch (ICW)dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyoroti kinerja Panitia Seleksi Calon Pimpinan KPK yang dianggap tetap mengakomodasi peserta dari unsur penyelenggara negara yang mengabaikan kewajiban menyerahkan LHKPN kepada KPK.

“Isu ini semakin kencang disuarakan, karena seleksi capim KPK sudah memasuki babak akhir namun beberapa penyelenggara negara yang mengikuti seleksi capim KPK, menurut KPK belum menyerahkan LHKPN atau menyerahkan LHKPN tetapi tidak secara periodik, masih tetap lolos seleksi capim KPK,” kata mantan Komisioner KPKPN Chairul Imam saat diskusi tentang LHKPN dan Seleksi Capim KPK di Jakarta, Selasa 27 Agustus 2019.

Chairul mengatakan, keengganan sebagian penyelenggara negara menyerahkan LHKPN ke KPK, karena lembaga tersebut tidak pernah melakukan pemeriksaan yakni klarifikasi dan verfikasi kebenaran isi LHKPN yang bersangkutan.

“Ini mengakibatkan sebagian besar penyelenggara negara berpandangan untuk apa menyerahkan LHKPN kalau hanya dijadikan berkas yang disimpan di gudang KPK,” ujar Chairul.

Menurut dia, tuntutan ICW dan KPK agar peserta seleksi yang abai menyerahkan LHKPN kepada KPK harus dipertimbangkan dalam penetapan peserta seleksi capim KPK untuk lolos tahap berikutnya, sebetulnya salah alamat.

“Karena persoalan penyelenggara negara yang abai menyerahkan LHKPN menjadi domain pimpinan KPK dan atasan langsung dari PN yang berangkutan, hal ini sesuai dengan Peraturan KPK Nomor 7 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Pelaporan dan Pemeriksaan LHKPN,” tutur Chairul.

Advokat senior dan mantan Komisioner KPKPN, Petrus Selestinus, mempertanyakan, alasan KPK baru menyoroti LHKPN saat ada penyelenggara negara yang menjadi peserta seleksi capim KPK tidak menyerahkan LHKPN.

“Ini aneh karena KPK sendiri tidak pernah merasa penting untuk memeriksa setiap LHKPN yang sudah diserahkan ke KPK,” ujar Petrus.

Padahal, lanjut dia, dengan memeriksa setiap LHKPN, KPK bisa mengungkap tindak pidana korupsi melalui penelusuran asal usul harta kekayaan dalam LHKPN.

Melalui penelusuran asal usul kekayaan dalam LHKPN, kata Petrus, KPK sesungguhnya mengawali sebuah proses pembuktian terbalik karena setiap pejabat wajib menerangkan asal usul seluruh kekayaan miliknya, milik istrinya dan juga anaknya dibandingkan dengan gaji. "Sebanding dengan LHKPN atau tidak," tandasnya.

Petrus menyatakan pada satu sisi penyerahan LHKPN kepada KPK menjadi salah satu kewajiban penyelenggara negara, namun pada sisi yang lain kewajiban penyerahan LHKPN itu berimplikasi melahirkan kewajiban bagi KPK untuk memeriksa dan mengumumkan LHKPN itu dalam Berita Negara, agar publik mengetahuinya.

“Sikap persisten KPK meminta LHKPN bagi setiap penyelenggara negara tidak kompatibel dengan sikap KPK terhadap LHKPN yang sudah diterimanya. Artinya selama ini KPK tidak pernah memeriksa kekayaan setiap penyelenggara negara yang sudah diserahkan dalam LHKPN itu, sehingga fungsi LHKPN untuk mengungkap kejahatan KKN melalui penelusuran LHKPN nyaris tak terdengar bunyinya,” tutur Petrus.

Oleh karena itu, sikap KPK mempersoalkan LHKPN peserta Pansel Capim KPK pada saat seleksi berlangsung ibarat menepuk air di dulang terpecik muka sendiri. Selama ini justru KPK yang mengabaikan kewajibannya untuk memeriksa kebenaran LHKPN.

Pemeriksaan LHKPN ini yang paling ditakuti oleh para penyelenggara negara karena ada kemungkinan KPK bisa mengungkap dugaan korupsi melalui penelusuran kebenaran LHKPN itu. Artinya, melalui metode penelusuran LHKPN, KPK bisa mengungkap kejahatan korupsi dan pencucian uang seorang PN.

Mantan Komisioner KPKPN lainnya, Winarno Zen menegaskan di mata sebagian penyelenggara negara, LHKPN itu sebuah momok yang menakutkan. Penyelenggara negara tidak hanya wajib membuat LHKPN tetapi juga wajib bersedia untuk diperiksa dan menjelaskan tentang asal usul harta kekayaan miliknya, milik istri dan milik anaknya serta berapa nilai jual saat memperoleh harta-harta dimaksud.

“Ini sebetulnya sebuah sistem pembuktian terbalik yang paling menakutkan bahkan mengerikan bagi penyelenggara negara. Namun anehnya selama ini KPK justru menjadikan LHKPN sebagai tumpukan-tumpukan kertas yang tidak bernilai tanpa pertanggungjawaban apa pun,” tuturnya.
(dam)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8776 seconds (0.1#10.140)