Jika GBHN Dihidupkan Kembali Harus Disesuaikan dengan Zaman
A
A
A
JAKARTA - Analis politik dari Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago, mengaku setuju dengan wacana Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dihidupkan kembali.
Pangi menceritakan, era Perdana Menteri (PM) senior Singapura, Lee Kuan Yew, justru belajar GBHN dari Presiden Soeharto, lalu diterapkan di negaranya.
"Lee Kuan Yew sangat mengapresiasi dan bangga dengan GBHN kita di era Orde Baru. Singapura itu tidak maju mundur, sudah punya panduan. Mau apa 50 tahun ke depan itu sudah dipandu oleh garis besar," kata Pangi, di Jakarta, Minggu (18/8/2019).
Diakuinya, Bapak Singapura itu sangat kagum dengan GBHN yang diterapkan Soeharto. Namun, Indonesia malah menghapus GBHN tersebut. "Lee Kuan Yew sebetulnya kagum dengan kita, dulunya. Tetapi kita, justru menghilangkan garis besar itu," ucap Pangi.
Pangi mendukung dengan wacana menghidupkan kembali GBHN, seperti yang diusulkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Kendati demikian, harus ada kajian mendalam agar sesuai dengan konteks sekarang.
"Tentu menghidupkan GBHN dengan versi sekarang, tidak bisa konteks lama, karena perlu beradaptasi dulu, konteks sekarang dengan konteks lama," ucapnya.
Menurutnya, meski sekarang pemerintah memiliki Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), tapi kadang-kadang tidak bisa memotret 20-30 tahun Indonesia ke depan. Sementara, Indonesia 50 tahun ke depan harus dijelaskan seperti apa.
"Apakah mau jadi negara impor, negara industri, apakah kita mau menjadi negara pariwisata terbaik di dunia. Nah itu, harus dipandu garis besar," jelasnya.
Dia melanjutkan, dengan adanya GBHN wajah Indonesia tidak berganti sesuka hati presiden terpilih. Maka itu, Indonesia tidak punya aturan main yang jelas, sehingga membuat negara ini maju-mundur.
Memang GBHN hanya memandu saja. Tapi, siapapun presiden harus tunduk kepada arah rel bingkai GBHN. "Jadi, biarpun presidennya berganti, rel pedoman kebangsaan kita tetap dikunci oleh GBHN," jelasnya.
"Tidak bisa, orang bicara revolusi mental, bicara infrastruktur, tiba-tiba sekarang bicara SDM. Ini karena sekarang tidak dipandu, panduannya hanya lima tahun. Jadi berganti presiden, berganti selera," sambungnya.
Pada era Orde Baru kata Pangi, arah pembangunan tidak keluar dari rel GBHN tersebut. Di era Soeharto, menyesuaikan dengan agenda GBHN. "Sekarang, presiden bertanggung jawab kepada siapa? Tidak ada. Kalau kepada rakyat, rakyat yang mana?" ucapnya.
Saat Orde Baru, presiden bertanggung jawab kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Maka ada yang namanya presiden mandataris MPR. "Sekarang bertanggung jawab kepada siapa? enggak ada," tuturnya.
"Ini juga menjadi berat ke depan. Program jadinya suka suka. Dulu itu ada lompatan-lompatan yang tidak bisa dilakukan kalau keluar dari pedoman GBHN. Jadi presiden bekerja menjalankan mandat GBHN itu," tegasnya.
Kendati demikian, Ipang menyebut, kalau GBHN jadi dihidupkan, tetap harus ada pembaharuan. Ini agar bisa sejalan dengan perkembangan zaman.
"Konteks sekarang, GBHN harus bagaimana? Harus ada pembaharuan, konteks kekiniannya. Karena tidak relevan GBHN dulu dan sekarang, perubahan waktu, perubahan zaman ini harus penyesuaian dulu. Tapi prinsipnya kita harus punya panduan 50 tahun, mau apa bangsa ini ke depan. Sekarang sudah menjadi negara pengedar narkoba terbesar," tandasnya.
Pangi menceritakan, era Perdana Menteri (PM) senior Singapura, Lee Kuan Yew, justru belajar GBHN dari Presiden Soeharto, lalu diterapkan di negaranya.
"Lee Kuan Yew sangat mengapresiasi dan bangga dengan GBHN kita di era Orde Baru. Singapura itu tidak maju mundur, sudah punya panduan. Mau apa 50 tahun ke depan itu sudah dipandu oleh garis besar," kata Pangi, di Jakarta, Minggu (18/8/2019).
Diakuinya, Bapak Singapura itu sangat kagum dengan GBHN yang diterapkan Soeharto. Namun, Indonesia malah menghapus GBHN tersebut. "Lee Kuan Yew sebetulnya kagum dengan kita, dulunya. Tetapi kita, justru menghilangkan garis besar itu," ucap Pangi.
Pangi mendukung dengan wacana menghidupkan kembali GBHN, seperti yang diusulkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Kendati demikian, harus ada kajian mendalam agar sesuai dengan konteks sekarang.
"Tentu menghidupkan GBHN dengan versi sekarang, tidak bisa konteks lama, karena perlu beradaptasi dulu, konteks sekarang dengan konteks lama," ucapnya.
Menurutnya, meski sekarang pemerintah memiliki Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), tapi kadang-kadang tidak bisa memotret 20-30 tahun Indonesia ke depan. Sementara, Indonesia 50 tahun ke depan harus dijelaskan seperti apa.
"Apakah mau jadi negara impor, negara industri, apakah kita mau menjadi negara pariwisata terbaik di dunia. Nah itu, harus dipandu garis besar," jelasnya.
Dia melanjutkan, dengan adanya GBHN wajah Indonesia tidak berganti sesuka hati presiden terpilih. Maka itu, Indonesia tidak punya aturan main yang jelas, sehingga membuat negara ini maju-mundur.
Memang GBHN hanya memandu saja. Tapi, siapapun presiden harus tunduk kepada arah rel bingkai GBHN. "Jadi, biarpun presidennya berganti, rel pedoman kebangsaan kita tetap dikunci oleh GBHN," jelasnya.
"Tidak bisa, orang bicara revolusi mental, bicara infrastruktur, tiba-tiba sekarang bicara SDM. Ini karena sekarang tidak dipandu, panduannya hanya lima tahun. Jadi berganti presiden, berganti selera," sambungnya.
Pada era Orde Baru kata Pangi, arah pembangunan tidak keluar dari rel GBHN tersebut. Di era Soeharto, menyesuaikan dengan agenda GBHN. "Sekarang, presiden bertanggung jawab kepada siapa? Tidak ada. Kalau kepada rakyat, rakyat yang mana?" ucapnya.
Saat Orde Baru, presiden bertanggung jawab kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Maka ada yang namanya presiden mandataris MPR. "Sekarang bertanggung jawab kepada siapa? enggak ada," tuturnya.
"Ini juga menjadi berat ke depan. Program jadinya suka suka. Dulu itu ada lompatan-lompatan yang tidak bisa dilakukan kalau keluar dari pedoman GBHN. Jadi presiden bekerja menjalankan mandat GBHN itu," tegasnya.
Kendati demikian, Ipang menyebut, kalau GBHN jadi dihidupkan, tetap harus ada pembaharuan. Ini agar bisa sejalan dengan perkembangan zaman.
"Konteks sekarang, GBHN harus bagaimana? Harus ada pembaharuan, konteks kekiniannya. Karena tidak relevan GBHN dulu dan sekarang, perubahan waktu, perubahan zaman ini harus penyesuaian dulu. Tapi prinsipnya kita harus punya panduan 50 tahun, mau apa bangsa ini ke depan. Sekarang sudah menjadi negara pengedar narkoba terbesar," tandasnya.
(maf)