Putusan PK Baiq Nurul Dinilai Bertentangan dengan Peraturan MA
A
A
A
JAKARTA - Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) Fakultas Hukum Universitas Indonesia menilai putusan penolakan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung (MA) kasus Baiq Nuril dianggap bertentangan dengan Perma No 3 Tahun 2017 Tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum.
"Di putusan tingkat negeri, hakim memperlihatkan putusan yang komperehensif. Tapi sangat kita sayangkan ketika di MA. Bahwa MA sendiri sebenarnya telah mengeluarkan Peraturan MA 2017 bagaimana pedoman mengadili perempuan yang berhadapan dengan hukum. Nah, salah satu poinnya adalah kepentingan korban ataupun pelaku harus diutamakan. Ketika perempuan berhadapan salam suatu kasus harus dilihat juga bagaimana di sosial masyarakat bahwa perempuan seringkali terjadi diskriminasi atau tekanan," ungkap Ketua Harian MaPPI FH UI Dio Ashar Wicaksana di Jakarta, 8 Juli 2019.
Dio melihat dalam kasus ini, seharusnya hakim MA melihat prosesnya apakah Baiq Nuril ketika merekam akan mempertimbangkan dia akan ada tekanan atau tidak.
"Kemudian, saat dia memberikan rekaman kepada orang lain itu diharapkan dia dibantu untuk proses hukumnya. Namun yang terjadi sebaliknya justru dijerat dengan pidana," pungkasnya.
Hal ini, kata Dio seharusnya menjadi pertimbangan hakim MA. "Bahkan dalam putusan di kasasinya hal yang memperberat Baiq Nuril adalah pelaku pelecehan tersebut justru dianggap dipermalukan. Dan itu dianggap dengan memberatkan, ini yang bertentangan dengan Perma hukum yang dikeluarkan pada 2017," katanya.
Sementara, Dio juga menyayangkan Pasal 27 ayat 1 UU ITE juncto Pasal 45 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) khususnya terkait penyebaran informasi elektronik yang muatannya dinilai melanggar norma kesusilaan yang mempunyai perbedaan penafsiran justru menjerat Baiq Nuril.
"Kalau bicara mengenai pasal UU ITE ini memang dalam prakteknya penafsirannya seringkali kita artikan sebagai pasal karet. Pasal karet ini yang cenderung sangat subjektif. Nah, tapi ketika melihat kasus ini, ketika saya baca putusan di pengadilan tingkat negeri atau tingkat pertama. Ketika Baiq Nuril memberikan suatu rekaman tadi karena ada desakan dari orang lain. Orang lain itu bilang untuk melapor pelaku pelecehan tadi," kata Dio.
"Tapi dalam posisi tersebut Baiq Nuril meminta jangan disebarkan. Ini membuktikan bahwa tidak ada kesengajaan ketika melihat kronologis secara keseluruhan. Nah, dan hakim tingkat pertama mengamini proses pembuktian di proses pengadilan tersebut. Makanya di pengadilan tingkat pertama hakim membebaskan dari semua tuntutan kejaksaan," tambah Dio.
Namun, Dio menyayangkan ketika di MA hal tersebut tidak dipertimbangkan. "Yang menjadi pertimbangan justru Baiq Nuril memberikan bukti rekaman yang menjeratnya. Dan secara sadar bahwa bukti tersebut bisa disebarkan. Akhirnya dianggap bahwa Baiq Nuril sebagai pelaku yang menyebarkan. Ini yang menjadi perbedaan perspektif pertimbangan hakim tingkat pertama dan Mahkamah Agung. Namun di tingkat kasasi tidak seluruh pembuktian dipertimbangkan. Akhirnya ini yang menjadi pertanyaan kenapa hasil PK ditolak yang akhirnya dihukum oleh pidana penjara," terangnya.
"Di putusan tingkat negeri, hakim memperlihatkan putusan yang komperehensif. Tapi sangat kita sayangkan ketika di MA. Bahwa MA sendiri sebenarnya telah mengeluarkan Peraturan MA 2017 bagaimana pedoman mengadili perempuan yang berhadapan dengan hukum. Nah, salah satu poinnya adalah kepentingan korban ataupun pelaku harus diutamakan. Ketika perempuan berhadapan salam suatu kasus harus dilihat juga bagaimana di sosial masyarakat bahwa perempuan seringkali terjadi diskriminasi atau tekanan," ungkap Ketua Harian MaPPI FH UI Dio Ashar Wicaksana di Jakarta, 8 Juli 2019.
Dio melihat dalam kasus ini, seharusnya hakim MA melihat prosesnya apakah Baiq Nuril ketika merekam akan mempertimbangkan dia akan ada tekanan atau tidak.
"Kemudian, saat dia memberikan rekaman kepada orang lain itu diharapkan dia dibantu untuk proses hukumnya. Namun yang terjadi sebaliknya justru dijerat dengan pidana," pungkasnya.
Hal ini, kata Dio seharusnya menjadi pertimbangan hakim MA. "Bahkan dalam putusan di kasasinya hal yang memperberat Baiq Nuril adalah pelaku pelecehan tersebut justru dianggap dipermalukan. Dan itu dianggap dengan memberatkan, ini yang bertentangan dengan Perma hukum yang dikeluarkan pada 2017," katanya.
Sementara, Dio juga menyayangkan Pasal 27 ayat 1 UU ITE juncto Pasal 45 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) khususnya terkait penyebaran informasi elektronik yang muatannya dinilai melanggar norma kesusilaan yang mempunyai perbedaan penafsiran justru menjerat Baiq Nuril.
"Kalau bicara mengenai pasal UU ITE ini memang dalam prakteknya penafsirannya seringkali kita artikan sebagai pasal karet. Pasal karet ini yang cenderung sangat subjektif. Nah, tapi ketika melihat kasus ini, ketika saya baca putusan di pengadilan tingkat negeri atau tingkat pertama. Ketika Baiq Nuril memberikan suatu rekaman tadi karena ada desakan dari orang lain. Orang lain itu bilang untuk melapor pelaku pelecehan tadi," kata Dio.
"Tapi dalam posisi tersebut Baiq Nuril meminta jangan disebarkan. Ini membuktikan bahwa tidak ada kesengajaan ketika melihat kronologis secara keseluruhan. Nah, dan hakim tingkat pertama mengamini proses pembuktian di proses pengadilan tersebut. Makanya di pengadilan tingkat pertama hakim membebaskan dari semua tuntutan kejaksaan," tambah Dio.
Namun, Dio menyayangkan ketika di MA hal tersebut tidak dipertimbangkan. "Yang menjadi pertimbangan justru Baiq Nuril memberikan bukti rekaman yang menjeratnya. Dan secara sadar bahwa bukti tersebut bisa disebarkan. Akhirnya dianggap bahwa Baiq Nuril sebagai pelaku yang menyebarkan. Ini yang menjadi perbedaan perspektif pertimbangan hakim tingkat pertama dan Mahkamah Agung. Namun di tingkat kasasi tidak seluruh pembuktian dipertimbangkan. Akhirnya ini yang menjadi pertanyaan kenapa hasil PK ditolak yang akhirnya dihukum oleh pidana penjara," terangnya.
(mhd)