Ombudsman Nilai Kisruh PPDB Akibat Kurang Koordinasi dan Sosialisasi
A
A
A
JAKARTA - Ombudsman menilai kisruhnya proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) karena kurangnya koordinasi dan sosialisasi dari pemerintah. Sehingga orang tua pun tidak siap dan banyak yang menolak PPDB sistem zonasi ini.
Ketua Ombudsman Amzulian mengatakan, sepakat bahwa tujuan pemerintah menerapkan PPDB adalah program yang baik untuk mereduksi diskriminasi perbedaan sekolah karena adanya sekolah favorit. Namun disisi lain, katanya, tujuan baik itu tidak akan berdampak baik jika pemerintah tidak siap di lapangan.
''Pemerintah ingin hilangkan sekolah favorit karena ada diskriminasi seperti itu dengan sistem zonasi. Tetapi juga tujuan baik itu tidak akan baik seketika kalau pemerintah juga tidak siap dengan berbagai perbaikan untuk hadapi perubahan yang bagi sebagian masyarakat sangat drastis,'' katanya, Kamis, (27/6/2019).
Anggota Ombudsman Ninik Rahayu menjelaskan, dari hasil pemantauan 34 perwakilan Ombudsman menyebutkkan, masyarakat mengaku tidak puas dengan sistem zonasi. Selain itu juga terjadi kesalahpahaman masyarakat tentang tata cara pendaftaran PPDB yang kedua, masalah ini menjadi dua pola besar karut marutnya PPDB tahun ini.
Ninik mengatakan, sebagai dasar pelaksanaan teknis di lapangan sebetulnya Permendikbud No 51/2018 tentang PPDB telah diterbitkan enam bulan sebelum PPDB berlangsung. Pihaknya mengapresiasi Kemendikbud sebab PPDB tahun sebelumnya Permen dikeluarkan 1-2 bulan sebelum PPDB berjalan.
Ninik meneruskan, hanya saja ada jeda waktu enam bulan ini tidak dimaksimalkan Kemendikbud untuk berkoordinasi dengan Kemendagri. Padahal koordinasi dengan Kemendagri sangat penting agar pemerintah daerah tidak memberi persepsi berbeda atas Permendikbud itu. Selain koordinasi, Ninik mengatakan, walau sudah ada waktu enam bulan sebelum PPDB ternyata sosialisasi juga belum optimal.
Disisi lain Ombudsman mengkritisi Kemendikbud yang mengeluarkan Permendikbud No 20/2019 yang menurunkan kuota zonasi dari 90% menjadi 80%. Ninik menuturkan, responsifnya Kemendikbud menanggapi penolakan zonasi jalur prestasi sehingga kuota zonasi menurun malah menunjukkan ketidakajegan Kemendikbud dalam menegakkan aturan.
''Mestinya jika terpaksa dilakukan (turunnya kuota zonasi) dimulai dengan evaluasi persoalannya dimana. Bukan menurunkan angka 90% ke 80%. Tetapi melalui evaluasi secara komprehensif sehingga bisa diketahui betul persoalannya dimana,'' ungkapnya.
Ketua Ombudsman Amzulian mengatakan, sepakat bahwa tujuan pemerintah menerapkan PPDB adalah program yang baik untuk mereduksi diskriminasi perbedaan sekolah karena adanya sekolah favorit. Namun disisi lain, katanya, tujuan baik itu tidak akan berdampak baik jika pemerintah tidak siap di lapangan.
''Pemerintah ingin hilangkan sekolah favorit karena ada diskriminasi seperti itu dengan sistem zonasi. Tetapi juga tujuan baik itu tidak akan baik seketika kalau pemerintah juga tidak siap dengan berbagai perbaikan untuk hadapi perubahan yang bagi sebagian masyarakat sangat drastis,'' katanya, Kamis, (27/6/2019).
Anggota Ombudsman Ninik Rahayu menjelaskan, dari hasil pemantauan 34 perwakilan Ombudsman menyebutkkan, masyarakat mengaku tidak puas dengan sistem zonasi. Selain itu juga terjadi kesalahpahaman masyarakat tentang tata cara pendaftaran PPDB yang kedua, masalah ini menjadi dua pola besar karut marutnya PPDB tahun ini.
Ninik mengatakan, sebagai dasar pelaksanaan teknis di lapangan sebetulnya Permendikbud No 51/2018 tentang PPDB telah diterbitkan enam bulan sebelum PPDB berlangsung. Pihaknya mengapresiasi Kemendikbud sebab PPDB tahun sebelumnya Permen dikeluarkan 1-2 bulan sebelum PPDB berjalan.
Ninik meneruskan, hanya saja ada jeda waktu enam bulan ini tidak dimaksimalkan Kemendikbud untuk berkoordinasi dengan Kemendagri. Padahal koordinasi dengan Kemendagri sangat penting agar pemerintah daerah tidak memberi persepsi berbeda atas Permendikbud itu. Selain koordinasi, Ninik mengatakan, walau sudah ada waktu enam bulan sebelum PPDB ternyata sosialisasi juga belum optimal.
Disisi lain Ombudsman mengkritisi Kemendikbud yang mengeluarkan Permendikbud No 20/2019 yang menurunkan kuota zonasi dari 90% menjadi 80%. Ninik menuturkan, responsifnya Kemendikbud menanggapi penolakan zonasi jalur prestasi sehingga kuota zonasi menurun malah menunjukkan ketidakajegan Kemendikbud dalam menegakkan aturan.
''Mestinya jika terpaksa dilakukan (turunnya kuota zonasi) dimulai dengan evaluasi persoalannya dimana. Bukan menurunkan angka 90% ke 80%. Tetapi melalui evaluasi secara komprehensif sehingga bisa diketahui betul persoalannya dimana,'' ungkapnya.
(cip)