Langkah Panglima TNI Jamin Soenarko Dinilai Redam Potensi Konflik
A
A
A
JAKARTA - Langkah Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto yang ikut menjadi penjamin penangguhan penahanan mantan Danjen Kopassus Mayjen (Purn) Soenarko diapresiasi oleh Pengamat Politik dan Pertahanan UKI, Sidratahta Mukhtar. Pasalnya, Panglima tersebut patut diapresiasi untuk meredam gejolak di internal TNI AD khususnya Kopassus.
"Saya nilai itu salah satu langkah untuk meredam gejolak di TNI AD khususnya Kopassus," ujar Sidratahta dalam rilisnya, Rabu (26/6/2019).
Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto dinilai menempuh jalan tengah untuk merangkul dan merebut hati pendukung Prabowo Subianto untuk menjaga kondisi tetap kondusif. Sehingga, menurut dia, langkah itu sangat wajar karena pasca Pemilu 2019 yang penuh ketegangan memerlukan suasana yang kembali kondusif dan merebut kembali kepercayaan publik.
"Saya kira potensi konflik khususnya dalam konteks relasi TNI dan Polri yang dibangun antara Kapolri dan Panglima TNI selama dua tahun terakhir akan terganggu," katanya.
Dia mengatakan, penjamin penangguhan penahanan itu merupakan otoritatif Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto dan sudah tepat dilakukan. Terlepas dari kenyataan bahwa Soenarko adalah pensiunan Kopassus yang merupakan Angkatan Darat.
Di samping itu, kesediaan Panglima TNI menjamin penangguhan penahanan Soenarko juga rupanya tidak dianggap sebagai bentuk intervensi hukum. Pasalnya, Komisi Hukum DPR juga mengapresiasi langkah Panglima TNI Hadi Tjahjanto itu.
Anggota Komisi III DPR RI Fraksi PPP Arsul Sani menilai positif langkah Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto yang turut menjamin penangguhan penahanan Soenarko yang mendapatkan perhatian publik. Langkah Panglima itu menguatkan aspek pemenuhan persyaratan untuk penangguhan penahanan yang telah diatur dalam KUHP.
"Panglima TNI turut menjamin, maka itu menguatkan aspek pemenuhan persyaratan untuk penangguhan," kata Arsul.
Arsul menjelaskan penahanan seseorang dalam sebuah kasus merupakan kebutuhan subyektif penyidik agar kerja-kerja proses penyidikannya lancar. Dia berpendapat, apabila penyidik merasa bahwa tanpa penahanan lebih lanjut mereka sudah bisa menyelesaikan tugas penyidikannya maka tidak masalah ketika tidak ada penahanan.
"Ya malah bagus kalau kasus-kasus 'high profile' yang menjadi tersangka tidak perlu ditahan. Yang paling penting Polri perlu menjelaskan lebih lanjut mengapa misalnya yang lain, termasuk Kivlan Zen belum ditangguhkan," katanya.
Dia menilai, TNI-Polri sudah terjalin hubungan yang sinergis, jauh sebelum adanya kasus Soenarko.
Hal senada dikatakan oleh Anggota Komisi III DPR RI Fraksi PKS Soemandjaja. Dia juga mengapresiasi langkah Panglima TNI Hadi Tjahjanjo yang ikut menangguhkan penahanan Soenarko karena penghormatan kepada seniornya dan sebagai bentuk solidaritas, serta tidak memberikan bobot hukum namun bobot politik.
Menurut Soemandjaja, penangguhan penahanan diatur dalam Undang-undang nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP dan pihak yang diperbolehkan menangguhkan penahanan adalah keluarga dan kuasa hukum.
"Karena itu kalau ada pihak lain yang memberikan jaminan penangguhan penahanan, itu memberikan bobot saja," tuturnya.
Lebih lanjut dia mengatakan, sebaiknya Polri tidak hanya mempertimbangkan bobot politik saja, namun aspek kemanusiaan dan jaminan keluarga ataupun kuasa hukum yang memberikan jaminan penangguhan penahanan.
"Saya nilai itu salah satu langkah untuk meredam gejolak di TNI AD khususnya Kopassus," ujar Sidratahta dalam rilisnya, Rabu (26/6/2019).
Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto dinilai menempuh jalan tengah untuk merangkul dan merebut hati pendukung Prabowo Subianto untuk menjaga kondisi tetap kondusif. Sehingga, menurut dia, langkah itu sangat wajar karena pasca Pemilu 2019 yang penuh ketegangan memerlukan suasana yang kembali kondusif dan merebut kembali kepercayaan publik.
"Saya kira potensi konflik khususnya dalam konteks relasi TNI dan Polri yang dibangun antara Kapolri dan Panglima TNI selama dua tahun terakhir akan terganggu," katanya.
Dia mengatakan, penjamin penangguhan penahanan itu merupakan otoritatif Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto dan sudah tepat dilakukan. Terlepas dari kenyataan bahwa Soenarko adalah pensiunan Kopassus yang merupakan Angkatan Darat.
Di samping itu, kesediaan Panglima TNI menjamin penangguhan penahanan Soenarko juga rupanya tidak dianggap sebagai bentuk intervensi hukum. Pasalnya, Komisi Hukum DPR juga mengapresiasi langkah Panglima TNI Hadi Tjahjanto itu.
Anggota Komisi III DPR RI Fraksi PPP Arsul Sani menilai positif langkah Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto yang turut menjamin penangguhan penahanan Soenarko yang mendapatkan perhatian publik. Langkah Panglima itu menguatkan aspek pemenuhan persyaratan untuk penangguhan penahanan yang telah diatur dalam KUHP.
"Panglima TNI turut menjamin, maka itu menguatkan aspek pemenuhan persyaratan untuk penangguhan," kata Arsul.
Arsul menjelaskan penahanan seseorang dalam sebuah kasus merupakan kebutuhan subyektif penyidik agar kerja-kerja proses penyidikannya lancar. Dia berpendapat, apabila penyidik merasa bahwa tanpa penahanan lebih lanjut mereka sudah bisa menyelesaikan tugas penyidikannya maka tidak masalah ketika tidak ada penahanan.
"Ya malah bagus kalau kasus-kasus 'high profile' yang menjadi tersangka tidak perlu ditahan. Yang paling penting Polri perlu menjelaskan lebih lanjut mengapa misalnya yang lain, termasuk Kivlan Zen belum ditangguhkan," katanya.
Dia menilai, TNI-Polri sudah terjalin hubungan yang sinergis, jauh sebelum adanya kasus Soenarko.
Hal senada dikatakan oleh Anggota Komisi III DPR RI Fraksi PKS Soemandjaja. Dia juga mengapresiasi langkah Panglima TNI Hadi Tjahjanjo yang ikut menangguhkan penahanan Soenarko karena penghormatan kepada seniornya dan sebagai bentuk solidaritas, serta tidak memberikan bobot hukum namun bobot politik.
Menurut Soemandjaja, penangguhan penahanan diatur dalam Undang-undang nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP dan pihak yang diperbolehkan menangguhkan penahanan adalah keluarga dan kuasa hukum.
"Karena itu kalau ada pihak lain yang memberikan jaminan penangguhan penahanan, itu memberikan bobot saja," tuturnya.
Lebih lanjut dia mengatakan, sebaiknya Polri tidak hanya mempertimbangkan bobot politik saja, namun aspek kemanusiaan dan jaminan keluarga ataupun kuasa hukum yang memberikan jaminan penangguhan penahanan.
(kri)