Sidang Kasus Hoaks, Ratna Sarumpaet Tolak Enam Dalil Jaksa
A
A
A
JAKARTA - Pengadilan Negeri Jakarta Selatan kembali menggelar sidang lanjutan untuk terdakwa Ratna Sarumpaet dengan agenda pembacaan duplik yang dibacakan oleh kuasa hukum Ratna, Insank Nasruddin.
Dalam pembacaan duplik itu, Insank selaku kuasa hukum Ratna, menolak enam dalil replik Jaksa Penuntut Umum (JPU). Enam poin dalil replik itu, yakni mengenai makna penyiaran, makna keonaran, tentang penyidik sebagai saksi, ahli JPU tidak sesuai kualifikasi, alat bukti berupa tangkapan layar Twitter tidak memiliki korelasi, dan mengenai peraturan hukum pidana tidak boleh multitafsir.
"Bahwa setelah mempelajari dan mencermati replik dari Jaksa Penuntut Umum, secara subtansi ada enam poin penting yang dikemukakannya dan Kami Penasihat Hukum Terdakwa sangat tidak sependapat dengan replik Jaksa Penuntut Umum, sehingga kami menolak seluruh dalil-dalil Jaksa penuntut Umum dari point 1 sampai point 6," kat Insank dalam persidangan, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (25/6/2019).
Poin pertama replik JPU, yakni pada pokoknya menyatakan penyiaran yang dimaksud dalam Pasal 14 Ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana memberi pengertian Memberitahu.
Insank beranggapan pada poin tersebut JPU keliru apabila memberitahu dimaknai sebagai penyiaran sebab kata memberitahu dan kata menyiarkan adalah kata yang berbeda maksud dan makna.
"Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menyiarkan mengadung arti memberitahu kepada umum melalui radio, surat kabar dan sebagainya. Sementara memberitahu mengandung arti Menyampaikan (kabar dan sebagainya) supaya diketahui atau mengumumkan menyebarluaskan. Sesuai definisi dari ke-2 dua kata tersebut sangat jelas perbedaannya, di mana inti dari perbedaan tersebut adanya alat siar yang digunakan yakni radio, surat kabar dan sebagainya," tutur Insank.
Poin kedua replik JPU, yakni pada pokoknya menyatakan Pasal 14 ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana merupakan delik materiil dimana akibat dari menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong terjadinya keonaran di kalangan rakyat.
"Bahwa replik JPU pada point ini hanya mengartikan makna keonaran tanpa memberikan bentuk atau contoh keonaran itu sendiri dan JPU mengartikan keonaran hanya berdasarkan pada pendapat ahli yang diajukan oleh JPU sendiri saja dan tidak membandingkan dengan definisi makna keonaran yang disampaikan oleh ahli yang diajukan oleh penasihat hukum terdakwa," katanya.
Poin tiga replik JPU “Penyidik sebagai Saksi” yang dianggap Insank telah keliru.Menurut Insank, menghadirkan penyidik sebagai saksi merupakan keliru menafsirkan Pasal 184 Ayat 1 KUHAP dan Pasal 85 Ayat 1 KUHAP, sebab pihak kepolisian dalam hal ini, penyidik dalam pemeriksaan perkara aquo mempunyai kepentingan terhadap perkara agar perkara yang ditanganinya berhasil di pengadilan.Dengan demikian, kata dia, keterangannya dipastikan memberatkan atau menyudutkan terdakwa. Padahal yang dibutuhkan dari seorang saksi adalah orang yang benar-benar diberikan secara bebas, netral, objektif dan jujur.
"Secara formal kesaksian penyidik di pengadilan pada dasarnya memberikan keterangan bersifat saksi verbalisan," tuturnya.Dia menjelaskan, saksi verbalisan adalah seorang penyidik yang kemudian menjadi saksi suatu perkara tindak pidana karena terdakwa menyatakan bahwa Berita Acara Pemeriksaan (BAP) telah dibuat, di bawah tekanan atau kata lain terdakwa membantah kebenaran dari BAP yang dibuat oleh penyidik yang bersangkutan, sehingga untuk menjawab bantahan tersebut jaksa penuntut umum menghadirkan saksi verbalisan atau saksi penyidik.Insank juga menolak ahli sosiologi hukum Trubus Rahardiansyah yang dihadirkan oleh jaksa. Menurut dia, Insank tidak memenuhi kualifikasi sebagai ahli.
Menurut dia, Trubus tidak bisa membuktikan kualifikasinya sebagai ahli di persidangan.
"Sebab ahli sosiologi yang dihadirkan oleh JPU tidak memberikan daftar riwayat hidup atau dokumen yang memberikan gambaran mengenai pengalaman seseorang bahkan terbukti di persidangan ahli sosiologi yang dihadirkan oleh Jaksa penuntut Umum tidak pernah menempuh pendidikan di bidang sosiologi sehingga membuat ahli terlihat tidak konsisten dan tidak menguasai persoalan dalam memberikan pernyataannya di persidangan," tuturnya.
Tim hukum Ratna juga menyanggah alat bukti yang diajukan jaksa karena dianggap tidak memiliki korelasi dalam membuktikan pasal XIV UU Nomor 1 tahun 1946.
"Bahwa pada point ini, Kami menyanggah terhadap barang bukti berupa screen shot cuitan Twitter, postingan Facebook dan hasil cetak foto yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum, yang mana keseluruhan bukti bukti digital tersebut disodorkan kepada ahli dari tahap penyidikan sampai dengan persidangan untuk menilai apakah peristiwa keonaran telah terjadi di masyarakat," tutur Insank.
Lalu poin terakhir replik JPU terkait Pasal 14 Ayat 1 UU tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana tidak boleh multi tafsir atau ditafsirkan lain.
"Bahwa dalam point enam replik penuntut umum memberikan jawaban sama atau seperti jawaban pada replik point 2 maka kami menaggapi sebagaimana yang telah kami uraikan pada duplik point 2 tersebut di atas," tutur Insank.
Insank menyimpulkan, dalil yang disampaikan JPU baik di dalam dakwaan, tuntutan, maupun replik tidak sesuai dengan ketentuan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal XIV ayat 1 UU No 1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, dan menunjukkan bahwa terdakwa Ratna Sarumpaet tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar ketentuan Pasal XIV ayat 1 UU No 1/1946.
"Karena itu mohon kiranya Majelis Hakim Yang Mulia menolak segala dalil yang disampaikan oleh JPU dan menjatuhkan putusan terhadap terdakwa Ratna Sarumpaet sesuai dengan amar yang kami sampaikan di dalam nota pembelaan (dibebaskan-red)," tuturnya.
Dalam pembacaan duplik itu, Insank selaku kuasa hukum Ratna, menolak enam dalil replik Jaksa Penuntut Umum (JPU). Enam poin dalil replik itu, yakni mengenai makna penyiaran, makna keonaran, tentang penyidik sebagai saksi, ahli JPU tidak sesuai kualifikasi, alat bukti berupa tangkapan layar Twitter tidak memiliki korelasi, dan mengenai peraturan hukum pidana tidak boleh multitafsir.
"Bahwa setelah mempelajari dan mencermati replik dari Jaksa Penuntut Umum, secara subtansi ada enam poin penting yang dikemukakannya dan Kami Penasihat Hukum Terdakwa sangat tidak sependapat dengan replik Jaksa Penuntut Umum, sehingga kami menolak seluruh dalil-dalil Jaksa penuntut Umum dari point 1 sampai point 6," kat Insank dalam persidangan, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (25/6/2019).
Poin pertama replik JPU, yakni pada pokoknya menyatakan penyiaran yang dimaksud dalam Pasal 14 Ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana memberi pengertian Memberitahu.
Insank beranggapan pada poin tersebut JPU keliru apabila memberitahu dimaknai sebagai penyiaran sebab kata memberitahu dan kata menyiarkan adalah kata yang berbeda maksud dan makna.
"Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menyiarkan mengadung arti memberitahu kepada umum melalui radio, surat kabar dan sebagainya. Sementara memberitahu mengandung arti Menyampaikan (kabar dan sebagainya) supaya diketahui atau mengumumkan menyebarluaskan. Sesuai definisi dari ke-2 dua kata tersebut sangat jelas perbedaannya, di mana inti dari perbedaan tersebut adanya alat siar yang digunakan yakni radio, surat kabar dan sebagainya," tutur Insank.
Poin kedua replik JPU, yakni pada pokoknya menyatakan Pasal 14 ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana merupakan delik materiil dimana akibat dari menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong terjadinya keonaran di kalangan rakyat.
"Bahwa replik JPU pada point ini hanya mengartikan makna keonaran tanpa memberikan bentuk atau contoh keonaran itu sendiri dan JPU mengartikan keonaran hanya berdasarkan pada pendapat ahli yang diajukan oleh JPU sendiri saja dan tidak membandingkan dengan definisi makna keonaran yang disampaikan oleh ahli yang diajukan oleh penasihat hukum terdakwa," katanya.
Poin tiga replik JPU “Penyidik sebagai Saksi” yang dianggap Insank telah keliru.Menurut Insank, menghadirkan penyidik sebagai saksi merupakan keliru menafsirkan Pasal 184 Ayat 1 KUHAP dan Pasal 85 Ayat 1 KUHAP, sebab pihak kepolisian dalam hal ini, penyidik dalam pemeriksaan perkara aquo mempunyai kepentingan terhadap perkara agar perkara yang ditanganinya berhasil di pengadilan.Dengan demikian, kata dia, keterangannya dipastikan memberatkan atau menyudutkan terdakwa. Padahal yang dibutuhkan dari seorang saksi adalah orang yang benar-benar diberikan secara bebas, netral, objektif dan jujur.
"Secara formal kesaksian penyidik di pengadilan pada dasarnya memberikan keterangan bersifat saksi verbalisan," tuturnya.Dia menjelaskan, saksi verbalisan adalah seorang penyidik yang kemudian menjadi saksi suatu perkara tindak pidana karena terdakwa menyatakan bahwa Berita Acara Pemeriksaan (BAP) telah dibuat, di bawah tekanan atau kata lain terdakwa membantah kebenaran dari BAP yang dibuat oleh penyidik yang bersangkutan, sehingga untuk menjawab bantahan tersebut jaksa penuntut umum menghadirkan saksi verbalisan atau saksi penyidik.Insank juga menolak ahli sosiologi hukum Trubus Rahardiansyah yang dihadirkan oleh jaksa. Menurut dia, Insank tidak memenuhi kualifikasi sebagai ahli.
Menurut dia, Trubus tidak bisa membuktikan kualifikasinya sebagai ahli di persidangan.
"Sebab ahli sosiologi yang dihadirkan oleh JPU tidak memberikan daftar riwayat hidup atau dokumen yang memberikan gambaran mengenai pengalaman seseorang bahkan terbukti di persidangan ahli sosiologi yang dihadirkan oleh Jaksa penuntut Umum tidak pernah menempuh pendidikan di bidang sosiologi sehingga membuat ahli terlihat tidak konsisten dan tidak menguasai persoalan dalam memberikan pernyataannya di persidangan," tuturnya.
Tim hukum Ratna juga menyanggah alat bukti yang diajukan jaksa karena dianggap tidak memiliki korelasi dalam membuktikan pasal XIV UU Nomor 1 tahun 1946.
"Bahwa pada point ini, Kami menyanggah terhadap barang bukti berupa screen shot cuitan Twitter, postingan Facebook dan hasil cetak foto yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum, yang mana keseluruhan bukti bukti digital tersebut disodorkan kepada ahli dari tahap penyidikan sampai dengan persidangan untuk menilai apakah peristiwa keonaran telah terjadi di masyarakat," tutur Insank.
Lalu poin terakhir replik JPU terkait Pasal 14 Ayat 1 UU tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana tidak boleh multi tafsir atau ditafsirkan lain.
"Bahwa dalam point enam replik penuntut umum memberikan jawaban sama atau seperti jawaban pada replik point 2 maka kami menaggapi sebagaimana yang telah kami uraikan pada duplik point 2 tersebut di atas," tutur Insank.
Insank menyimpulkan, dalil yang disampaikan JPU baik di dalam dakwaan, tuntutan, maupun replik tidak sesuai dengan ketentuan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal XIV ayat 1 UU No 1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, dan menunjukkan bahwa terdakwa Ratna Sarumpaet tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar ketentuan Pasal XIV ayat 1 UU No 1/1946.
"Karena itu mohon kiranya Majelis Hakim Yang Mulia menolak segala dalil yang disampaikan oleh JPU dan menjatuhkan putusan terhadap terdakwa Ratna Sarumpaet sesuai dengan amar yang kami sampaikan di dalam nota pembelaan (dibebaskan-red)," tuturnya.
(dam)