Ada Anggota TNI Terpapar Radikalisme, Hendropriyono: Itu Membahayakan
A
A
A
JAKARTA - Mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) AM Hendropriyono menilai adanya sebanyak 3% anggota TNI yang terpapar paham radikalisme sebagai sesuatu yang sangat membahayakan.
Karena itu, dirinya mengingatkan agar para juniornya di TNI yang terpapar paham radikalisme untuk merenungkan dan kembali pada Pancasila dan Sapta Marga prajurit.
"Oh iya, memang bahaya. Karena itu, saya harapkan kepada para kaum muda yang masih aktif untuk merenungkan hal ini," tutur Hendropriyono di sela acara halal bihalal Purnawirawan TNI di Gedung The Dharmawangsa Jakarta, Jumat 21 Juni 2019.
Hendropriyono mengingatkan para juniornya di TNI bahwa penyebaran paham radikalisme memiliki risiko hukum bagi pelakunya. Hal yang sama terjadi di masa PKI bahwa penyebaran paham komunis juga memiliki risiko pidana.
"Kalau dulu kita hadapi PKI, kita jabarkan sampai kepada implementasi, yaitu contohnya kalau lagi ada penyebaran paham komunis maka dihukum pidana, kena pidana. Enam tahun, dua belas tahun, itu pidananya. Nah ini juga harus begitu. Kalau masih ada yang terus-terusan tebarkan paham radikalisme, ada hukumannya," tuturnya.
Tidak hanya hukum pidana, kata dia, bagi anggota TNI yang melenceng dari Pancasila dan sumpah prajurit maka ada hukum militer. "Hukum militer itu lebih berat dari pada hukum biasa. Karena militer itu sesudah kena pidana, kena lagi hukum disiplin tentara, kena lagi tindakan disiplin. Jadi bertumpuk-tumpuk sebetulnya. Hukum militer itu lebih berat," katanya.
Sebelumnya, Menteri Pertahanan (Menhan) Ryamizard Ryacudu mengatakan bahwa ada 3% anggota TNI yang terpapar paham radikalisme merujuk pada hasil riset yang dilakukan Kementerian Pertahanan.
Hal tersebut dinilai sebagai sesuatu yang mengkhawatirkan karena bisa saja mereka menjadi bom waktu di masa depan. "Prajurit itu menyatakan setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berdasarkan Pancasila,” ujarnya di acara halal bihalal di Mabes TNI, Jakarta, Rabu 19 Juni 2019.
Menhan menyebutkan, TNI harus setuju Pancasila. Kewajiban itu tertuang dalam Sapta Marga dan Sumpah Prajurit TNI.
Mengacu hasil riset yang sama, Ryamizard juga memaparkan, ada 18,1% pegawai swasta; 19,4% PNS; dan 19,1% pegawai BUMN yang tidak setuju dengan Pancasila. Dan 23,4% mahasiswa, serta 23,3% pelajar SMA yang setuju dengan jihad untuk tegaknya negara Islam di Indonesia.
Ryamizard khawatir data terkait 3% anggota TNI yang tidak setuju dengan Pancasila menjadi bom waktu di masa depan. Sebab, tidak tertutup kemungkinan, ada di antara personel TNI itu yang kelak menjadi panglima atau pejabat negara.
Karena itu, dirinya mengingatkan agar para juniornya di TNI yang terpapar paham radikalisme untuk merenungkan dan kembali pada Pancasila dan Sapta Marga prajurit.
"Oh iya, memang bahaya. Karena itu, saya harapkan kepada para kaum muda yang masih aktif untuk merenungkan hal ini," tutur Hendropriyono di sela acara halal bihalal Purnawirawan TNI di Gedung The Dharmawangsa Jakarta, Jumat 21 Juni 2019.
Hendropriyono mengingatkan para juniornya di TNI bahwa penyebaran paham radikalisme memiliki risiko hukum bagi pelakunya. Hal yang sama terjadi di masa PKI bahwa penyebaran paham komunis juga memiliki risiko pidana.
"Kalau dulu kita hadapi PKI, kita jabarkan sampai kepada implementasi, yaitu contohnya kalau lagi ada penyebaran paham komunis maka dihukum pidana, kena pidana. Enam tahun, dua belas tahun, itu pidananya. Nah ini juga harus begitu. Kalau masih ada yang terus-terusan tebarkan paham radikalisme, ada hukumannya," tuturnya.
Tidak hanya hukum pidana, kata dia, bagi anggota TNI yang melenceng dari Pancasila dan sumpah prajurit maka ada hukum militer. "Hukum militer itu lebih berat dari pada hukum biasa. Karena militer itu sesudah kena pidana, kena lagi hukum disiplin tentara, kena lagi tindakan disiplin. Jadi bertumpuk-tumpuk sebetulnya. Hukum militer itu lebih berat," katanya.
Sebelumnya, Menteri Pertahanan (Menhan) Ryamizard Ryacudu mengatakan bahwa ada 3% anggota TNI yang terpapar paham radikalisme merujuk pada hasil riset yang dilakukan Kementerian Pertahanan.
Hal tersebut dinilai sebagai sesuatu yang mengkhawatirkan karena bisa saja mereka menjadi bom waktu di masa depan. "Prajurit itu menyatakan setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berdasarkan Pancasila,” ujarnya di acara halal bihalal di Mabes TNI, Jakarta, Rabu 19 Juni 2019.
Menhan menyebutkan, TNI harus setuju Pancasila. Kewajiban itu tertuang dalam Sapta Marga dan Sumpah Prajurit TNI.
Mengacu hasil riset yang sama, Ryamizard juga memaparkan, ada 18,1% pegawai swasta; 19,4% PNS; dan 19,1% pegawai BUMN yang tidak setuju dengan Pancasila. Dan 23,4% mahasiswa, serta 23,3% pelajar SMA yang setuju dengan jihad untuk tegaknya negara Islam di Indonesia.
Ryamizard khawatir data terkait 3% anggota TNI yang tidak setuju dengan Pancasila menjadi bom waktu di masa depan. Sebab, tidak tertutup kemungkinan, ada di antara personel TNI itu yang kelak menjadi panglima atau pejabat negara.
(dam)