Masalah Gizi Masyarakat Asia Disorot Khususnya Soal Obesitas

Senin, 10 Juni 2019 - 18:20 WIB
Masalah Gizi Masyarakat...
Masalah Gizi Masyarakat Asia Disorot Khususnya Soal Obesitas
A A A
JAKARTA - Perkembangan gizi di Asia khususnya yang terkait dengan diet dan obesitas, mendapat penilaian dari Cargill. Dalam penilaiannya, terjadi enam megatren perkembangan gizi di Asia.

Khususnya terkait perubahan diet. Enam megatren itu, dalam laporan "Food for Thought-Eating Better" yang dirilis bersama Economist Intelligence Unit (EIU), mencakup kualitas bukan kuantitas (quality not quantity) serta urbanisasi dan pendapatan (urbanisation and income).

Kemudian obesitas dan nutrisi mikro (obesity and micro nutrients), hasil yang menimpang (diverging outcomes), kesadaran gizi yang rendah (low nutritional awareness), serta iklan dan media sosial (advertising and social media).

"Peningkatan dalam pendapatan per kapita dan grafik asupan kalori menunjukkan, pertumbuhan signifikan dalam jumlah makanan yang dikonsumsi. Dengan sebagian besar negara mengonsumsi lebih dari 2.500 kalori per kapita setiap hari," demikian bunyi laporan tersebut, Senin (10/6/2019).

Akibatnya, pertumbuhan asupan kalori cenderung moderat. Komposisi diet mengalami perubahan cepat dengan meningkatnya konsumsi protein. Khususnya daging dan ikan.

"Di sisi lain, sektor makanan kemasan Asia juga telah mengalami pertumbuhan empat persen pada 2017, sekaligus menyoroti peningkatan konsumsi makanan olahan dan tidak meninggalkan persyaratan kebutuhan gizi konsumen," menurut data Cargill.

Peningkatan urbanisasi dan pendapatan berimbas terhadap belanja konsumen. Salah satunya makanan. Seperti mendorong pertumbuhan gerai makanan cepat saji dan supermarket.

"Ini juga diyakini mendorong gaya hidup masyarakat menjadi kurang bergerak dan mengonsumsi makanan yang lebih enak," ucapnya.

Kemudian terjadi peningkatan kasus obesitas pada masyarakat di sejumlah negara Asia. Seperti di Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Pakistan. Disebabkan meningkatnya konsumsi minuman manis dan makanan olahan.

"Di sisi lain, urbanisasi ternyata memiliki korelasi langsung dengan obesitas. Pasalnya, selama migrasi ke kota, diet cenderung tidak lagi dilakukan sekaligus mengonfirmasikan terjadinya perubahan nutrisi, ketika pindah ke daerah perkotaan," jelasnya.

Masyarakat di negara kurang berkembang dengan pendapatan nasional (Gross National Income/GNI) per kapita yang lebih rendah, malah lebih rentan terhadap konsekuensi kesehatan negatif dari urbanisasi.

Sementara asupan kalori meningkat, kualitas makanan tidak. Hal tersebut menyebabkan defisiensi mikronutrien atau "kelaparan tersembunyi". Orang-orang kelebihan berat badan atau terlihat sehat, tetapi kehilangan nutrisi penting. Menciptakan salah satu tren yang lebih mengkhawatirkan di wilayah ini.

Meningkatnya ketidaksetaraan di Asia berdampak terhadap perkembangan gizi yang tidak merata di Asia berasal, meski terdapat pertumbuhan PDB yang signifikan. Kekurangan gizi menjadi keprihatinan yang signifikan. Bahkan, ketika obesitas tumbuh.

Tingkat pendidikan dan melek huruf yang lebih rendah di kalangan ibu, juga memengaruhi status gizi. Demikian pula dengan tingkat kemiskinan. Tecermin dari kelebihan berat badan dan obesitas yang meningkat di antara segmen masyarakat miskin dan tinggal di perkotaan.

Kesadaran tentang kekurangan gizi dan kelebihan gizi pada sejumlah negara dan tingkat pendapatan ternyata relatif rendah di wilayah tersebut. Karenanya, ada kebutuhan meningkatkan kesadaran konsumen secara menyeluruh. Khususnya di kalangan ibu.

"Karena ibu adalah sumber nutrisi pertama untuk anak selama 'seribu hari pertama' kehidupan. Orang dewasa juga perlu dididik lebih baik tentang bahayanya obesogenic food dan pentingnya berolahraga," ujarnya.

Media sosial dan periklanan turut memengaruhi tren makanan. Keduanya menjadi komunikasi utama antara konsumen dan pemangku kepentingan dalam industri makanan. Media sosial memberikan peluang industri makanan sekaligus memacu upaya memantau dan mengatur konsumen.

Untuk itu, sejumlah negara di Asia menghambat intensitas iklan makanan dengan regulasi baru. Seperti yang dilakukan Taiwan, Singapura, dan Korea Selatan. Beberapa jenis iklan dilarang dan dibatasi.

"Singapura dan Filipina mengalami peningkatkan terbesar dalam mengadopsi pelabelan GDA sejak 2012. Sementara Malaysia dan Thailand, di empat besar untuk tingkat adopsi," ujarnya.

Laporan ini berdasarkan hasil penelitian sistem pangan Asia yang digelar EIU pada Oktober 2017. Berdasarkan penugasan Cargill. Penelitian dilengkapi riset utama. Termasuk wawancara dengan empat pakar regional.

Sebanyak 400 orang menjadi responden. Mereka adalah pemimpin bisnis di industri makanan Asia. Berasal dari China, India, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.0239 seconds (0.1#10.140)