Elit Politik Harus Kedepankan Persatuan Bangsa
A
A
A
JAKARTA - Tingginya intensitas politik akhir-akhir ini memantik keprihatinan banyak kalangan. Mereka berharap agar elit politik tidak mengorbankan persatuan dan kesatuan bangsa demi kepentingan kekuasaan jangka pendek.
Apalagi saat ini Indonesia tengah memasuki persaingan global yang kian ketat. Pemilu sebagai agenda demokrasi lima tahunan diharapkan tidak sampai merusak dan mengorbankan jati diri bangsa.
“Selain terus melaksanakan agenda demokrasi 5 tahunan, maka Bangsa Indonesia memiliki kewajiban untuk menjaga identitasnya sebagai bangsa agar dalam pergaulan antar bangsa yang intens, bangsa ini tetap terjaga jati dirinya,” ujar Ketua DPP LDII Prasetyo Sunaryo dalam acara diskusi dan buka bersama bertajuk “Merawat Kebangsaan, Menggali Jati Diri Bangsa (Refleksi Sejarah, Bangsa, dan Letak Geografis)” di Jakarta, kemarin.
Acara ini menghadirkan Ketua DPP LDII Prasetyo Sunaryo, Chriswanto Santoso, dan Guru Besar Sejarah Undip Prof Dr. Singgih Tri Sulistiyono. Kebangsaan menurut Prasetyo merujuk kepada pengertian bahwa kebangsaan adalah kesadaran diri sebagai warga dari suatu negara atau jati diri sebuah bangsa.
Menurutnya, segala masalah bangsa ini bisa diselesaikan dengan mudah bila semua pihak memiliki kesadaran sebagai bangsa dan memelihara kenangan kolektif sejarah bangsanya.“Jati diri atau identitas bangsa ini bisa dibangun dengan mengingat kembali sejarah, bahasa, dan geografis. Itu sama halnya meneropong Indonesia dari sisi masa lalu, masa kini, dan masa depan Indonesia,” imbuh Prasetyo.
Sementara itu Singgih Tri Sulistiyono berpendapat bahwa saat ini Indonesia mengalami cobaan besar terkait dengan eskalasi politik yang terus meningkat.
Menurutnya jika kondisi dibiarkan maka akan berbahaya bagi masa depan Indonesia. “Indonesia saat ini sedang mengalami cobaan, dan menjurus kepada kebangkrutan nasional akibat konflik berbau SARA dan kepentingan politik,” ujar Dewan Pakar LDII, Singgih Sulistiyono.
Menurut Singgih, kebangkitan nasional ketiga Indonesia, sedang mengalami tantangan besar, baik dari sisi ideologi, muatan ekonomi, maupun globalisasi yang memunculkan istilah masyarakat global ataupun warganet.
Lalu ancaman selanjutnya adalah pasar bebas, yang mereduksi kewenangan negara yang digantikan ekonomi pasar. “Rakyat Indonesia bukanlah seperti Jepang yang satu ras, maka tanpa payung nation state yang adil makmur, Indonesia sangat rawan bubar di tengah jalan,” ujar Singgih.
Untuk itu, sangat penting untuk merawat keindonesiaan. Salah satunya dengan menggali jati diri/karakter bangsa, mengembangkannya, dan menyosialisasikan serta meng internalisasi nilai-nilai sejarah sebagai pengalaman kolektif.
Menurut Singgih, pengalaman kolektif ini penting, karena Indonesia lahir bukan atas dasar kesamaan tapi karena sadar perbedaan, “Kalau sekarang perbedaan dieksploitasi, maka kita mun dur dua abad,” imbuh Singgih.
Untuk melihat jati diri atau karakter bangsa, seluruh rakyat Indonesia harus melihat sejarah. Bila terdapat kekurangan, bisa mengadopsi nilai-nilai baru untuk memperkaya kepribadian bangsa.
“Sejarah menjadi penting karena generasi muda di beri narasi proses terbentuknya Bangsa Indonesia.
Apabila memiliki ingatan bersama, maka terwujudlah integrasi perasaan sebagai satu bangsa. Sebuah perasaan yang bisa dijaga tanpa paksaan dan ancaman, bahkan bila dilanggar dapat menciptakan dendam sosial yang panjang,” papar Singgih.
Saat kesadaran merawat sejarah hilang, menurut Singgih, budaya asing masuk dan globalisasi menciptakan hilangnya negara bangsa. Padahal negara bangsa itu sangat penting untuk menjaga keadilan dan kesejahteraan. (Binti Mufarida)
Apalagi saat ini Indonesia tengah memasuki persaingan global yang kian ketat. Pemilu sebagai agenda demokrasi lima tahunan diharapkan tidak sampai merusak dan mengorbankan jati diri bangsa.
“Selain terus melaksanakan agenda demokrasi 5 tahunan, maka Bangsa Indonesia memiliki kewajiban untuk menjaga identitasnya sebagai bangsa agar dalam pergaulan antar bangsa yang intens, bangsa ini tetap terjaga jati dirinya,” ujar Ketua DPP LDII Prasetyo Sunaryo dalam acara diskusi dan buka bersama bertajuk “Merawat Kebangsaan, Menggali Jati Diri Bangsa (Refleksi Sejarah, Bangsa, dan Letak Geografis)” di Jakarta, kemarin.
Acara ini menghadirkan Ketua DPP LDII Prasetyo Sunaryo, Chriswanto Santoso, dan Guru Besar Sejarah Undip Prof Dr. Singgih Tri Sulistiyono. Kebangsaan menurut Prasetyo merujuk kepada pengertian bahwa kebangsaan adalah kesadaran diri sebagai warga dari suatu negara atau jati diri sebuah bangsa.
Menurutnya, segala masalah bangsa ini bisa diselesaikan dengan mudah bila semua pihak memiliki kesadaran sebagai bangsa dan memelihara kenangan kolektif sejarah bangsanya.“Jati diri atau identitas bangsa ini bisa dibangun dengan mengingat kembali sejarah, bahasa, dan geografis. Itu sama halnya meneropong Indonesia dari sisi masa lalu, masa kini, dan masa depan Indonesia,” imbuh Prasetyo.
Sementara itu Singgih Tri Sulistiyono berpendapat bahwa saat ini Indonesia mengalami cobaan besar terkait dengan eskalasi politik yang terus meningkat.
Menurutnya jika kondisi dibiarkan maka akan berbahaya bagi masa depan Indonesia. “Indonesia saat ini sedang mengalami cobaan, dan menjurus kepada kebangkrutan nasional akibat konflik berbau SARA dan kepentingan politik,” ujar Dewan Pakar LDII, Singgih Sulistiyono.
Menurut Singgih, kebangkitan nasional ketiga Indonesia, sedang mengalami tantangan besar, baik dari sisi ideologi, muatan ekonomi, maupun globalisasi yang memunculkan istilah masyarakat global ataupun warganet.
Lalu ancaman selanjutnya adalah pasar bebas, yang mereduksi kewenangan negara yang digantikan ekonomi pasar. “Rakyat Indonesia bukanlah seperti Jepang yang satu ras, maka tanpa payung nation state yang adil makmur, Indonesia sangat rawan bubar di tengah jalan,” ujar Singgih.
Untuk itu, sangat penting untuk merawat keindonesiaan. Salah satunya dengan menggali jati diri/karakter bangsa, mengembangkannya, dan menyosialisasikan serta meng internalisasi nilai-nilai sejarah sebagai pengalaman kolektif.
Menurut Singgih, pengalaman kolektif ini penting, karena Indonesia lahir bukan atas dasar kesamaan tapi karena sadar perbedaan, “Kalau sekarang perbedaan dieksploitasi, maka kita mun dur dua abad,” imbuh Singgih.
Untuk melihat jati diri atau karakter bangsa, seluruh rakyat Indonesia harus melihat sejarah. Bila terdapat kekurangan, bisa mengadopsi nilai-nilai baru untuk memperkaya kepribadian bangsa.
“Sejarah menjadi penting karena generasi muda di beri narasi proses terbentuknya Bangsa Indonesia.
Apabila memiliki ingatan bersama, maka terwujudlah integrasi perasaan sebagai satu bangsa. Sebuah perasaan yang bisa dijaga tanpa paksaan dan ancaman, bahkan bila dilanggar dapat menciptakan dendam sosial yang panjang,” papar Singgih.
Saat kesadaran merawat sejarah hilang, menurut Singgih, budaya asing masuk dan globalisasi menciptakan hilangnya negara bangsa. Padahal negara bangsa itu sangat penting untuk menjaga keadilan dan kesejahteraan. (Binti Mufarida)
(nfl)