Ramadhan Momentum Pemersatu Bangsa

Minggu, 12 Mei 2019 - 09:41 WIB
Ramadhan Momentum Pemersatu...
Ramadhan Momentum Pemersatu Bangsa
A A A
JAKARTA - Hampir satu tahun bangsa Indonesia dijejali kebisingan politik. Saling serang dan sindir antarelite politik menjadi hal yang hampir setiap hari didengar dan dibaca di media massa maupun media sosial (medsos).

Hadirnya bulan Ramadhan ini menjadi momentum menghadirkan semangat baru persatuan bangsa yang sebelumnya terpecah belah. Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Jimmly Asshiddiqie mengatakan, pemilu sudah selesai.

Saat ini tinggal semua pihak menunggu proses dan hasil resmi pemilu. Beruntung bahwa Ramadhan ini hadir sebagai penyembuh hati dari proses pemilu karena pemilu merupakan momentum yang paling besar pengaruhnya dalam hawa nafsu akan kekuasaan.

”Bersyukur bahwa setelah pemilu ada momentum Ramadhan. Ramadhan ini yang paling penting dalam hidup umat manusia khususnya umat Islam untuk mendapatkan magfirah atau ampunan dari Allah.

Kesempatan yang tidak boleh dilewatkan, ”Barang siapa yang tidak mendapatkan magfirah di bulan Ramadhan, sangat hina di mata Allahí. Jadi, kesempatan ini harus dipakai .

jadi dengan cara, tazkiyatun nafs atau membersihkan batin dari gangguan iblis kekuasaan, kita tutup dengan tazkiyatun maal atau memberikan kekayaan atau harta yang kota punya supaya kita sampai ke fitri dalam Idul Fitri ini,” kata Jimmly saat dihubungi Koran SINDO di Jakarta kemarin.

Jimmly melihat, momentum Ramadhan ini patut disyukuri karena dia langsung terkait dengan ujung peristiwa pemilu. Meskipun setelah penghitungan suara masih ada sengketa hasil dan pelantikan presiden terpilih pada 20 Oktober mendatang yang kurang lebih 5 bulan lagi.

Tapi, dengan hadirnya Ramadhan ini, ada kesempatan semua pihak untuk memperbaiki diri. ”Jadi saya rasa mari semua pihak memanfaatkan momentum Ramadhan ini,” ajak mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu.

Menurut dia, bagi para pemilih yang hampir 200 juta orang, setelah menentukan pilihan pada 17 April lalu, maka sudah selesai dan kembali ke urusan masing-masing.

Serahkan prosesnya pada lembaga resmi, peserta resmi, dan tim sukses resmi untuk menuntaskan pekerjaannya. Begitu juga lembaga penyelenggara pemilu yang belum selesai pekerjaannya, segera tuntaskan pekerjaan dengan tepercaya dan sebaik-baiknya.

Bagi Mahkamah Konstitusi (MK), perlu bersiap-siap untuk bekerja secara profesional, tepercaya, dan independen. ”Jadi rakyat kembali ke urusan masing-masing, nggak usah ikut sibuk misalnya demo, beropini baik di darat maupun di udara. Stop! Sebanyak-banyaknya mau demo, nggak ada lagi gunanya, kenapa demo terbesar sudah dilakukan pada 17 April,” imbaunya.

Soal pilihan, mantan Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) itu meminta agar semua pihak menghormati adanya perbedaan pilihan.

Karena ada puluhan juta yang memilih petahana dan ada juga puluhan juta orang yang memilih penantang. Itu semua pilihan bangsa Indonesia yang sudah disampaikan pada 17 April lalu.

Suka tidak suka itu merupakan jalan demokrasi yang sudah disepakati bersama. ”Sudah nggak ada gunanya demo. Maka lebih baik timnya itu untuk bekerja secara profesional melalui lembaga resmi di MK, jadi demonya jangan di jalanan tetapi di ruang sidang.

Begitu juga opini, demo itu tujuannya untuk membuat opini, tujuannya untuk apa? Karena tidak memutuskan. Tidak menyelesaikan masalah, malah menimbulkan masalah baru, menimbulkan kisruh, silang sengketa, permusuhan,” papar Jimmly.

Senada, intelektual Nahdlatul Ulama (NU) Zuhairi Misrawi berpandangan bahwa semestinya elite politik dan semua umat Islam mampu memaknai Ramadhan untuk meningkatkan ketakwaan dalam rangka menebarkan kebajikan untuk kemajuan negeri.

Dan Pemilu ini tujuannya untuk memajukan negeri, karenanya semua harus kembali ke khitah (tujuan sejati) demokrasi, yakni kesejahteraan, keadilan, dan kedamaian.

”Maka Ramadhan sejatinya dapat meningkatkan ketakwaan kita untuk membangun Indonesia, bukan justru sebaliknya dijadikan instrumen memecah belah bangsa,” kata pria yang akrab dengan sapaan Gus Mis itu kepada KORAN SINDO di Jakarta kemarin.

Menurut Ketua PP Baitul Muslimin itu, perbedaan pendapat dan adu gagasan dalam demokrasi menjadi sebuah keniscayaan. Namun yang menjadi masalahnya, dalam pemilu yang lalu, terlalu banyak semburan kebohongan dan fitnah yang tersebar sehingga pesta demokrasi itu menjadi miskin gagasan.

Media sosial menjadi gaduh yang berimbas pada polarisasi dan fragmentasi pada akar rumput. ”Ini refleksi kritis kita pada pemilu yang lalu. Semestinya ada pendidikan politik yang lebih baik agar muncul adu gagasan yang konstruktif untuk kemajuan negeri, bukan semburan kebohongan,” ujar politikus PDI Perjuangan itu. (Kiswondari)
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7038 seconds (0.1#10.140)