Eks Hakim Agung Sebut Dokumen Jaminan Otomatis Pemegang Cessie

Kamis, 25 April 2019 - 11:25 WIB
Eks Hakim Agung Sebut...
Eks Hakim Agung Sebut Dokumen Jaminan Otomatis Pemegang Cessie
A A A
JAKARTA - Ketika Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) mengalihkan piutang atau hak tagih (cessie), otomatis seluruh dokumen jaminan piutang tersebut menjadi hak dari pihak yang menerima pengalihan piutang.

"Iya (dokumen jaminan kredit menjadi hak dari penerima pengalihan piutang)," tegas mantan Hakim Agung Yahya Harahap saat menjadi saksi ahli dalam persidangan gugatan perkara perdata Nomor 223/Pdt.G/2018/PN.Jkt.Pst. yang diajukan pengusaha berinisial TW di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa (23/4/2019).

Dengan menerima pengalihan piutang dan seluruh dokumen jaminan kredit, ungkap Yahya, pemegang cessie yang membeli piutang (aset kredit) melalui lelang dari BPPN tersebut di kemudian hari bertindak sebagai kreditur baru yang menggantikan kreditur lama atas piutang tersebut.

Dengan demikian, anggota kreditur sindikasi tidak berhak mengklaim kembali piutang yang sudah diambilalih, dan atau diserahkan kepada BPPN untuk dilakukan penagihan atau pengurusan tersebut.

Karena secara prinsip, papar Yahya, semua anggota sindikasi telah menerima bagian yang proporsional dari piutang yang penyelesaiannya telah diserahkan dan dilakukan oleh BPPN dengan menggunakan kewenangan yang diatur PP Nomor 17/1999 juncto Pasal 37 a Undang-Undang (UU) Perbankan.

"Jadi, jika piutangnya telah dialihkan kepada cessionaris (penerima cessie), namun dalam kredit sindikasi salah satu bank atau kreditur masih menagih lagi kepada debitur, itu perbuatan melawan hukum," tegasnya.

Sebelumnya, ketika menjadi saksi ahli dalam perkara yang sama, Guru Besar Hukum Bisnis FH UGM Yogyakarta, Profesor Nindyo Pramono menegaskan bahwa kewenangan BPPN berdasarkan Pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 17/1999 juncto Pasal 37 a UU Perbankan sangat luas, tidak hanya menagihkan, tapi sampai menjual (piutang atau aset kredit) di bawah nilai buku.

Pokok gugatan yang diajukan TW melalui kuasa hukum Desrizal dkk adalah meminta pengadilan memutuskan bahwa PT Geria Wijaya Prestige (GWP) telah melakukan wanprestasi, dan mesti membayar penggugat lebih dari US$31 juta.

Turut tergugat Fireworks Ventures Limited.
Bos Artha Graha Group itu diketahui membeli hak tagih piutang PT GWP dari Bank China Construction Bank Indonesia (dulu Bank Multicor) melalui akta bawah tangan 12 Februari 2018.

Pada 1995, Bank Multicor menjadi salah satu anggota sindikasi kreditur yang memberikan pinjaman US$17 juta kepada PT GWP. Namun akibat krisis moneter 1997-1999, beberapa bank anggota sindikasi kolaps dan harus diambilalih BPPN.

Pada 8 November 2000, semua anggota kreditur sindikasi, termasuk Bank Multicor, membuat Kesepakatan Bersama dengan BPPN, yang pada intinya menyerahkan kewenangan pengurusan piutang PT GWP kepada BPPN berdasarkan PP Nomor 17 Tahun 1999.

Sejak itu, piutang PT GWP ditangani BPPN, hingga akhirnya BPPN menjual piutang tersebut melalui Program Penjualan Aset-aset Kredit (PPAK) VI Tahun 2004 yang dimenangkan PT Millenium Atlantic Securities/MAS.

BPPN lalu mengalihkan piutang (cessie) PT GWP kepada PT MAS, yang kemudian pada 2005 mengalihkan piutang tersebut kepada Fireworks Ventures Limited.

Saat ini Fireworks adalah pemegang tunggal eks aset kredit PT GWP tersebut. Saat ini, Fireworks telah memegang seluruh dokumen kredit PT GWP, kecuali jaminan kredit berupa sertifikat atas nama PT GWP.

Karena dalam pengalihan piutang melekat hak kebendaan (jaminan kredit berupa sertifikat), maka Edy Nusantara, kuasa Fireworks, menempuh upaya hukum dengan melaporkan dugaan penggelapan sertifikat PT GWP ke Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri pada 21 September 2016 dengan Nomor: LP/984/IX/2016/Bareskrim dengan terlapor, yaitu Tohir Sutanto (mantan Direktur Bank Multicor/kini Bank CCB) dan Priska M Cahya (pegawai Bank Danamon).

Keduanya telah ditetapkan sebagai tersangka. Saat ini penyidik Bareskrim tinggal melakukan penyitaan dokumen asli sertifikat berbentuk SHGB atas nama PT GWP yang dikuasai Bank CCB tersebut setelah penyidik mendapatkan izin penyitaan dari PN Jakarta Selatan dalam Surat Penetapan Nomor 16/Pen Sit 2018/PN Jkt Sel pada 29 Maret 2018.

Namun, di tengah proses penyidikan di Bareskrim yang tinggal selangkah lagi dilimpahkan ke Kejagung, Bank CCB mengklaim telah menjual dan mengalihkan apa yang disebutnya sebagai hak tagih atas nama debitur PT GWP itu kepada TW melalui akta bawah tangan tanggal 12 Februari 2018. Berpegang akta itu, TW mengajukan gugatan perdata Nomor 223/Pdt.G/2018/PN.Jkt.Pst. pada PN Jakarta Pusat.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0350 seconds (0.1#10.140)