Kecurangan Pemilu 2019 Dinilai Dilakukan Secara TSM
A
A
A
JAKARTA - Gerakan nasional selamatkan demokrasi menilai, ada kecurangan Pemilu 2019 yang terjadi secara terstruktur, sistematis dan masif (TSM). Maka itu, mereka mendorong demokrasi segera diselamatkan.
"Bahwa demokrasi harus diselamatkan. Karena kami menilai ada kecurangan yang berlangsung secara terstrukrur, sistemik dan masif," ujar mantan Sekretaris Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Said Didu di Kawasan SCBD, Jakarta, Minggu (21/4/2019).
Dikatakan terstruktur, kata dia, karena mulai dari perencanaan, yakni belum terselesaikannya masalah 17,5 juta daftar pemilih tetap (DPT) invalid.
"Sampai terlibatnya secara nyata gubernur, bupati, lurah, camat dan RW, RT-RW secara nyata dan itu bagaikan penonton sudah teriak semua tapi wasit tidak mau menyemprit peluit," ujarnya.
Kemudian, dia mengungkapkan pelibatan BUMN dalam Pemilu 2019. Namun, hal tersebut dibiarkan. "Jadi secara terstruktur apa yang dimaksud terstruktur adalah dilaksanakan oleh struktur," tuturnya.
"Struktur ini struktur pemerintahan, struktur organisasi, struktur penyelenggara Pemilu, jadi terstruktur. Sistem ini adalah polanya sama itu namanya sistem dengan struktur polanya sama," sambungnya.
Sedangkan disebut masif kata Said Didu, karena kecurangannya terjadi hampir di seluruh Indonesia. "Bahkan di luar negeri," ungkapnya.
Dia mengatakan, Undang-undang menyatakan apabila terjadi kecurangan secara TSM, maka bisa dilakukan Pemilu ulang.
"Dan pihak yang akan melanjutkan pemilu seperti ini bagaikan orang yang sedang membakar arang untuk jadikan bara menduduki bara itu. Kira-kira itu, orang yang mau berkuasa dengan hasil pemilu yang curang secara terstruktur, sistemik dan masif," ujarnya.
Selain Said Didu, beberapa tokoh yang terlibat dalam Gerakan nasional selamatkan demokrasi adalah Mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Bambang Widjojanto, Koordinator Relawan Rumah Aspirasi Prabowo-Sandi Lieus Sungkharisma, Mayjend (Purn) Meris Supriyadi, dan Praktisi Hukum Andi Muhammad Asrun.
"Bahwa demokrasi harus diselamatkan. Karena kami menilai ada kecurangan yang berlangsung secara terstrukrur, sistemik dan masif," ujar mantan Sekretaris Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Said Didu di Kawasan SCBD, Jakarta, Minggu (21/4/2019).
Dikatakan terstruktur, kata dia, karena mulai dari perencanaan, yakni belum terselesaikannya masalah 17,5 juta daftar pemilih tetap (DPT) invalid.
"Sampai terlibatnya secara nyata gubernur, bupati, lurah, camat dan RW, RT-RW secara nyata dan itu bagaikan penonton sudah teriak semua tapi wasit tidak mau menyemprit peluit," ujarnya.
Kemudian, dia mengungkapkan pelibatan BUMN dalam Pemilu 2019. Namun, hal tersebut dibiarkan. "Jadi secara terstruktur apa yang dimaksud terstruktur adalah dilaksanakan oleh struktur," tuturnya.
"Struktur ini struktur pemerintahan, struktur organisasi, struktur penyelenggara Pemilu, jadi terstruktur. Sistem ini adalah polanya sama itu namanya sistem dengan struktur polanya sama," sambungnya.
Sedangkan disebut masif kata Said Didu, karena kecurangannya terjadi hampir di seluruh Indonesia. "Bahkan di luar negeri," ungkapnya.
Dia mengatakan, Undang-undang menyatakan apabila terjadi kecurangan secara TSM, maka bisa dilakukan Pemilu ulang.
"Dan pihak yang akan melanjutkan pemilu seperti ini bagaikan orang yang sedang membakar arang untuk jadikan bara menduduki bara itu. Kira-kira itu, orang yang mau berkuasa dengan hasil pemilu yang curang secara terstruktur, sistemik dan masif," ujarnya.
Selain Said Didu, beberapa tokoh yang terlibat dalam Gerakan nasional selamatkan demokrasi adalah Mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Bambang Widjojanto, Koordinator Relawan Rumah Aspirasi Prabowo-Sandi Lieus Sungkharisma, Mayjend (Purn) Meris Supriyadi, dan Praktisi Hukum Andi Muhammad Asrun.
(maf)