Mengumpulkan Kepingan Sejarah Perang Dunia II di Morotai

Senin, 25 Maret 2019 - 11:07 WIB
Mengumpulkan Kepingan...
Mengumpulkan Kepingan Sejarah Perang Dunia II di Morotai
A A A
MOROTAI - Menjejakkan kaki di Kabupaten Kepulauan Morotai, Provinsi Maluku Utara, langsung disambut dengan keindahan alamnya yang memesona.

Namun tidak saja panoramanya yang dinantikan, tapi juga kentalnya aroma sejarah di pulau terdepan Indonesia ini. Ya, sudah menjadi rahasia umum bahwa Pulau Morotai memiliki sejarah yang kuat dengan Perang Dunia II.

Jepang dan Amerika Serikat (AS) pernah menduduki pulau kecil ini saat Perang Dunia II. Negeri Sakuralah yang pertama menempati Pulau Morotai pada 1942 yang digunakan sebagai markas untuk menguasai Indonesia, Filipina, dan sebagian Malaysia.

Kemudian datanglah tentara sekutu dari AS dan Australia di bawah pimpinan Jenderal Douglas McArthur. Jepang sempat meninggalkan sementara Pulau Morotai dan hanya menyisakan sedikit pasukan karena harus bertempur di Halmahera. Melihat hal tersebut AS tidak melewatkan kesempatan itu.

Pada 15 September 1944, AS pun melakukan serangan kepada Jepang. Meski dengan pasukan sedikit, Jepang tak menyerah dan tetap bertahan. Namun pada 1945 Jepang menyerah dan meninggalkan Morotai. Tak bisa dimungkiri adanya kejadian itu menyisakan jejak-jejak sejarah tersendiri.

Berbagai barang, senjata, dan situs-situs penting menjadi saksi bisu pertempuran besar tersebut. Sam pai saat ini kepingan-kepingan memori Perang Dunia II itu masih terus dikumpulkan secara perlahan dan tentu saja tidak mudah.

Beberapa benda telah menjadi ko leksi Museum Perang Dunia II di Kabupaten Morotai. “Masih banyak yang ada di masyarakat. Dari provinsi pernah sosialisasi kepada masyarakat bahwa barang-barang itu agar didata. Tapi sampai saat ini belum banyak yang mengiyakan,” kata penjaga Museum Perang Dunia II Ishak Talib.

Dia menuturkan, bukan perkara mudah untuk mengumpulkan benda-benda sisa Perang Dunia II. Dia mengatakan, masyarakat cenderung ingin menyimpan benda tersebut atau menjualnya kepada pihak lain.

“Kalaupun diserahkan, itu harus ganti rugi. Diberikan berapa. Walaupun negara punya aset, mereka itu yang menggali, mencari itu dengan susah payah. Karena digali dalamnya 3 meter sampai 2,5 meter. Ini dari yang terkubur. Termasuk peluru, piring-piring, senjata, dan lain-lain,” ungkapnya.

Ishak mencontohkan, untuk kalung yang dipakai para tentara perang saja bisa dijual cukup mahal. Dia menyebut satu kalung bisa dijual dengan harga Rp1,5 juta. Namun jika sudah saling mengenal tentu harganya bisa lebih murah. “Bisa Rp1,5 juta. Tapi kalau sudah kenal tidak mahal. Sudah tidak banyak yang jual kalung,” tuturnya.Menurutnya tidak di semua titik tersimpan benda-benda peninggalan Perang Dunia II. Hal ini dikarenakan pasukan tentara AS dan Jepang hanya menempati titik tertentu.
“Ada di Totodoku dan Gotalamo. Karena memang ada (pasukan perang) yang buat tempat tinggal di situ. Kalau di laut mungkin hampir semua ada barang-barang perang. Setelah Jepang kalah, semua barang dibuang ke laut,” ujarnya.

Lebih lanjut Ishak mengatakan, koleksi Museum Perang Dunia II merupakan hasil penyerahan sukarela dirinya dan lima orang lainnya kepada negara. Dia mengatakan ada beberapa koleksi yang dimilikinya seperti peluru, piring, botol minum.

“Ini kami punya koleksi. Saya dan teman-teman. Semua ada enam orang. Walaupun kami berikan barang, kami dipekerjakan sebagai penjaga museum. Kalau kami tidak mau (minta ganti rugi). Karena kami orang yang mendirikan museum,” katanya.

Bupati Kabupaten Pulau Morotai Benny Laos mengatakan, situs-situs sejarah menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Dia mengatakan ada situs-situs sejarah peninggalan Perang Dunia II. Di antaranya landasan pesawat Perang Dunia II, tank, penjara AS, kuburan tentara Jepang dan AS.

“Itu di bandara salah satu dari tujuh landasan pesawat yang digunakan saat Perang Dunia II. Ada juga tempat tinggal McArthur. Lalu tempat tinggal tentara Jepang yang bersembunyi selama 30 tahun dan ditemukan pada 1974, yaitu Nakamura,” ungkapnya.

Dia mengatakan, pemerintah daerah terus berusaha untuk mengembalikan situs-situs bersejarah tersebut sebagaimana sebelumnya. Dia mengatakan hal ini dilakukan dengan bekerja sama dengan berbagai pihak.

“Kita ingin perbarui seperti semula. Kita bikin bagus. Jadi tidak seramlah,” ujarnya. Terkait benda-benda sisa Perang Dunia II, Benny menyebut sudah tidak banyak beredar. Pasalnya banyak masyarakat yang menjual temuan-temuannya. “Dulu pesawat, senjata, tank. Kalau lewat bandara tank banyak. Dijual jadi besi tua. Ini memang tantangan tersendiri,” sebutnya. (Dita Angga)
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1082 seconds (0.1#10.140)