RUU Permusikan Diminta Direvisi untuk Lindungi Seni dan Budaya
A
A
A
JAKARTA - Seni musik dan budaya di Indonesia perlu dilestarikan karena merupakan modal sosial untuk memperkuat kekayaan dan identitas bangsa. Karena itu, pemerintah dan DPR perlu membuat UU Permusikan dan Budaya yang tujuan utamanya memproteksi serta mengembangkan seni budaya Indonesia.
Politikus Nasdem, Wanda Hamidah mengatakan draf RUU Permusikan yang dibahas saat ini menjadi polemik karena sejumlah pasal yang dianggap janggal. RUU tersebut, kata dia, sebuah rancangan undang-undang yang membatasi dan menghambat proses kreasi serta justru merepresi para pekerja musik.
"Karena itu perlu direvisi agar sesuai semangat dalam melestarikan serta mengembangakan seni dan budaya," ujar Wanda dalam rilisnya, Senin (11/3/2019).
Caleg Nasdem Dapil DKI 1 meliputi Jakarta Timur itu melanjutkan di antaranya Pasal 5 yang intinya proses kreasi pekerja seni dibatasi. Pasal yang berisi tujuh ayat itu bicara soal larangan dalam penciptaan musik.
"Salah satu ayat misalnya, dalam proses kreasi musisi dilarang mendorong khalayak melakukan kekerasan serta melawan hukum, dilarang membuat konten pornografi, dilarang memprovokasi pertentangan antarkelompok, dilarang menodai agama, dilarang membawa pengaruh negatif budaya asing dan dilarang merendahkan harkat serta martabat manusia," jelasnya.
Wanda berpendapat contoh di atas bisa disebut pasal karet. Sebab bisa dipelintir sesuai keingingan pelapor atau penegak hukum. Apalagi ada hukuman pidana bagi musisi yang melanggar aturan itu yang diatur pada Pasal 50, meski belum ada keterangan berapa lama penjara atau berapa banyak denda uangnya.
"Pasal itu juga berpeluang membelenggu kebebasan berekspresi musisi. Jika pembuat lagu-lagu bernada kritik, yang mungkin berpotensi mendorong khalayak melakukan kekerasan serta melawan hukum maka seperti tercantum dalam Pasal 5, semua bisa dipidanakan dan tentu ada pasal lainnya yang potensi membonsai pekerja seni berekspresi mengembangkan seni dan budaya," katanya.
Pasal-pasal semacam ini lah menurutnya perlu direvisi dengan melibatkan para pekerja seni dan budayawan. Ini menjadi pekerjaan rumah pemerintah dan DPR karena RUU saat ini sudah ditunda.
"Sekali lagi menurut saya, RUU Permusikan perlu didorong agar bisa menciptakan iklim kondusif bagi pekerja seni dan budaya di Tanah Air. Jangan sampai mereka dibayangi dalam berkreasi dengan hantu pasal-pasal karet yang berujung pidana. RUU Permusikan harus mendorong, melestarikan dan mengembangkan seni dan budaya di Indonesia," katanya.
Di kesempatan lain, Politikus Nasdem Intan Azizah menilai Indonesia sebagai negara berbudaya timur memang tidak bisa dibatasi terkait kreasi seni. "Kalau bicara pembatasan bermusik, memang tidak bisa. Perkembangan teknologi dalam berkesenian, apalagi musik, sangat pesat, baik dalam hal sumber daya manusianya dan teknologi," ujar Intan.
Wanita yang dikenal berkat industri musik dan film itu melanjutkan, ada hal-hal lebih penting yang perlu dibahas, seperti royalti dan penghargaan terhadap lagu-lagu. Terutama lagu tradisional. Dikatakan Intan, penyanyi dan pencipta lagu tradisional biasanya mengeluarkan usaha yang lebih besar dibanding penyanyi modern.
"Mereka itu misalnya mau ciptakan lagu, bahasa saja tidak boleh salah, lalu ketika manggung misalnya, harus pakai baju adat, ini persiapan dan pembuatan lagu bisa 50 persen lebih repot dibanding lagu biasa," tutur Caleg Nasdem Dapil Banten II yang meliputi Serang, Kota Cilegon, Kota Serang itu.
Intan menambahkan, jangan sampai para penyanyi lagu daerah atau lagu tradisional enggan menyanyi lagi karena kurang perhatian pemerintah.
"Nanti ketika budaya kita diklaim sama orang (negara) lain baru deh marah, padahal orang-orang yang melestarikan budaya sendiri kurang diperhatikan," tuturnya.
Dia juga berpendapat bahwa sistem royalti untuk manggung (off air) dan misalnya cover di Youtube juga perlu diatur. Menurutnya, perlu diatur besaran misalnya kisaran dibawah 10% dari penjualan tiket konser bisa diberikan ke pencipta lagu atau ke pemilik label. Bukan oleh si penyanyi, melainkan dari penyelenggara konser.
"Kalau kita budaya timur, kulonuwun itu masih perlu lah. Orang capek-capek bikin lagu, menunggu moodnya, malam jadi siang, siang jadi malam, begitu lagunya hits, terus yang lain main pakai saja, itu kan rasanya bagaimana? Jadi enggak asal main catut dan enggak etis, itu penting juga, tetapi ya persentasenya yang masih wajar lah, kan musisi ciptain lagu itu ada capeknya, ada mikirnya," tuturnya.
Sementara itu, Anggota Komisi X DPR RI Anang Hermansyah meminta pemerintah serius membenahi sektor musik di Indonesia. Peringatan hari musik jangan sekadar seremoni tanpa substansi perbaikan.
Anang mengatakan peringatan hari musik di tahun kelima pemerintahan Jokowi semestinya dijadikan momentum penting untuk pembenahan di sektor musik secara fundamental. "Sampai saat ini, republik ini belum memiliki data direktori lagu-lagu baik tradisional maupin modern. Ini miris dan menyedihkan," kata Anang.
Musikus asal Jember ini melanjutkan, semestinya pemerintah dapat menjadikan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) sebagai pintu masuk perubahan fundamental di sektor musik. "Eksistensi LMKN yang tertuang dalam UU No 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dapat dijadikan embrio untuk pendataan lagu-lagu di Indonesia," tambah Anang.
Anang menyebutkan dibutuhkan terobosan besar untuk memulai langkah penting dalam pendataan lagu di Indonesia. Misalnya, dengan menyiapkan sistem berbasis informasi teknologi untuk mendata seluruh lagu-lagu di Indonesia. Data tersebut menjadi kunci untuk penegakan hak cipta dan hak terkait bagi ekosistem musik.
"Jika data lagu rapih dan terkonsolidasi dengan baik, maka langkah awal untuk menegakkan hak cipta dimulai," tambah Anang.
Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Supratman Andi Atgas sebelumnya mengatakan bahwa RUU Permusikan masih bergulir di Baleg, meskipun Anggota Komisi X Anang Hermansyah sebagai salah satu pengusul telah mencabut usulan RUU tersebut.
Menurut Andi, RUU ini secara resmi dapat dicabut namun harus melewati evaluasi rapat kerja kembali, karena prioritas tahunan ditentukan oleh tiga lembaga yaitu Pemerintah dalam hal ini Menkum HAM, DPR dan DPD.
RUU Permusikan ini menuai banyak penolakan karena sejumlah pasal di dalamnya membuat pekerja musik tidak mendapatkan kebebasan dalam berkarya.
Politikus Nasdem, Wanda Hamidah mengatakan draf RUU Permusikan yang dibahas saat ini menjadi polemik karena sejumlah pasal yang dianggap janggal. RUU tersebut, kata dia, sebuah rancangan undang-undang yang membatasi dan menghambat proses kreasi serta justru merepresi para pekerja musik.
"Karena itu perlu direvisi agar sesuai semangat dalam melestarikan serta mengembangakan seni dan budaya," ujar Wanda dalam rilisnya, Senin (11/3/2019).
Caleg Nasdem Dapil DKI 1 meliputi Jakarta Timur itu melanjutkan di antaranya Pasal 5 yang intinya proses kreasi pekerja seni dibatasi. Pasal yang berisi tujuh ayat itu bicara soal larangan dalam penciptaan musik.
"Salah satu ayat misalnya, dalam proses kreasi musisi dilarang mendorong khalayak melakukan kekerasan serta melawan hukum, dilarang membuat konten pornografi, dilarang memprovokasi pertentangan antarkelompok, dilarang menodai agama, dilarang membawa pengaruh negatif budaya asing dan dilarang merendahkan harkat serta martabat manusia," jelasnya.
Wanda berpendapat contoh di atas bisa disebut pasal karet. Sebab bisa dipelintir sesuai keingingan pelapor atau penegak hukum. Apalagi ada hukuman pidana bagi musisi yang melanggar aturan itu yang diatur pada Pasal 50, meski belum ada keterangan berapa lama penjara atau berapa banyak denda uangnya.
"Pasal itu juga berpeluang membelenggu kebebasan berekspresi musisi. Jika pembuat lagu-lagu bernada kritik, yang mungkin berpotensi mendorong khalayak melakukan kekerasan serta melawan hukum maka seperti tercantum dalam Pasal 5, semua bisa dipidanakan dan tentu ada pasal lainnya yang potensi membonsai pekerja seni berekspresi mengembangkan seni dan budaya," katanya.
Pasal-pasal semacam ini lah menurutnya perlu direvisi dengan melibatkan para pekerja seni dan budayawan. Ini menjadi pekerjaan rumah pemerintah dan DPR karena RUU saat ini sudah ditunda.
"Sekali lagi menurut saya, RUU Permusikan perlu didorong agar bisa menciptakan iklim kondusif bagi pekerja seni dan budaya di Tanah Air. Jangan sampai mereka dibayangi dalam berkreasi dengan hantu pasal-pasal karet yang berujung pidana. RUU Permusikan harus mendorong, melestarikan dan mengembangkan seni dan budaya di Indonesia," katanya.
Di kesempatan lain, Politikus Nasdem Intan Azizah menilai Indonesia sebagai negara berbudaya timur memang tidak bisa dibatasi terkait kreasi seni. "Kalau bicara pembatasan bermusik, memang tidak bisa. Perkembangan teknologi dalam berkesenian, apalagi musik, sangat pesat, baik dalam hal sumber daya manusianya dan teknologi," ujar Intan.
Wanita yang dikenal berkat industri musik dan film itu melanjutkan, ada hal-hal lebih penting yang perlu dibahas, seperti royalti dan penghargaan terhadap lagu-lagu. Terutama lagu tradisional. Dikatakan Intan, penyanyi dan pencipta lagu tradisional biasanya mengeluarkan usaha yang lebih besar dibanding penyanyi modern.
"Mereka itu misalnya mau ciptakan lagu, bahasa saja tidak boleh salah, lalu ketika manggung misalnya, harus pakai baju adat, ini persiapan dan pembuatan lagu bisa 50 persen lebih repot dibanding lagu biasa," tutur Caleg Nasdem Dapil Banten II yang meliputi Serang, Kota Cilegon, Kota Serang itu.
Intan menambahkan, jangan sampai para penyanyi lagu daerah atau lagu tradisional enggan menyanyi lagi karena kurang perhatian pemerintah.
"Nanti ketika budaya kita diklaim sama orang (negara) lain baru deh marah, padahal orang-orang yang melestarikan budaya sendiri kurang diperhatikan," tuturnya.
Dia juga berpendapat bahwa sistem royalti untuk manggung (off air) dan misalnya cover di Youtube juga perlu diatur. Menurutnya, perlu diatur besaran misalnya kisaran dibawah 10% dari penjualan tiket konser bisa diberikan ke pencipta lagu atau ke pemilik label. Bukan oleh si penyanyi, melainkan dari penyelenggara konser.
"Kalau kita budaya timur, kulonuwun itu masih perlu lah. Orang capek-capek bikin lagu, menunggu moodnya, malam jadi siang, siang jadi malam, begitu lagunya hits, terus yang lain main pakai saja, itu kan rasanya bagaimana? Jadi enggak asal main catut dan enggak etis, itu penting juga, tetapi ya persentasenya yang masih wajar lah, kan musisi ciptain lagu itu ada capeknya, ada mikirnya," tuturnya.
Sementara itu, Anggota Komisi X DPR RI Anang Hermansyah meminta pemerintah serius membenahi sektor musik di Indonesia. Peringatan hari musik jangan sekadar seremoni tanpa substansi perbaikan.
Anang mengatakan peringatan hari musik di tahun kelima pemerintahan Jokowi semestinya dijadikan momentum penting untuk pembenahan di sektor musik secara fundamental. "Sampai saat ini, republik ini belum memiliki data direktori lagu-lagu baik tradisional maupin modern. Ini miris dan menyedihkan," kata Anang.
Musikus asal Jember ini melanjutkan, semestinya pemerintah dapat menjadikan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) sebagai pintu masuk perubahan fundamental di sektor musik. "Eksistensi LMKN yang tertuang dalam UU No 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dapat dijadikan embrio untuk pendataan lagu-lagu di Indonesia," tambah Anang.
Anang menyebutkan dibutuhkan terobosan besar untuk memulai langkah penting dalam pendataan lagu di Indonesia. Misalnya, dengan menyiapkan sistem berbasis informasi teknologi untuk mendata seluruh lagu-lagu di Indonesia. Data tersebut menjadi kunci untuk penegakan hak cipta dan hak terkait bagi ekosistem musik.
"Jika data lagu rapih dan terkonsolidasi dengan baik, maka langkah awal untuk menegakkan hak cipta dimulai," tambah Anang.
Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Supratman Andi Atgas sebelumnya mengatakan bahwa RUU Permusikan masih bergulir di Baleg, meskipun Anggota Komisi X Anang Hermansyah sebagai salah satu pengusul telah mencabut usulan RUU tersebut.
Menurut Andi, RUU ini secara resmi dapat dicabut namun harus melewati evaluasi rapat kerja kembali, karena prioritas tahunan ditentukan oleh tiga lembaga yaitu Pemerintah dalam hal ini Menkum HAM, DPR dan DPD.
RUU Permusikan ini menuai banyak penolakan karena sejumlah pasal di dalamnya membuat pekerja musik tidak mendapatkan kebebasan dalam berkarya.
(kri)