KPU Minta Rekrutmen Anggota KPPS Harus Hati-hati
A
A
A
JAKARTA - Komisi Pemilihan Umum (KPU) pusat meminta KPU daerah agar berhati-hati dalam merekrut anggota kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) yang akan bertugas di tempat pemungutan suara (TPS).
Hal ini menyusul dibukanya pendaftaran calon anggota KPPS pada 6-12 Maret mendatang. Komisioner KPU Pramono Ubaid Tanthowi mengungkapkan, KPPS merupakan ujung tombak penyelenggara pemilu karena bertugas langsung dalam pemungutan suara di tiap TPS.
“Jangan sampai mereka terindika si partai politik atau mendukung salah satu pasangan calon presiden dan calon wakil presiden. Itu yang harus diwaspadai karena KPPS merupakan ujung tombak penyelenggaraan pemilu,” ujarnya di Jakarta kemarin.
Pramono mengingatkan, jangan sampai KPU daerah salah merekrut anggota KPPS yang nantinya bisa menimbulkan kecurangan dan dapat mendelegitimasi pemilu yang sudah berjalan. Sebab, jika di KPPS terjadi manipulasi maka sampai atas akan termanipulasi semua, meskipun ada mekanisme koreksi di atasnya, tapi kalau terlalu banyak bocoran akan menjadi berat untuk mengoreksinya.
“Jangan sampai salah merekrut anggota KPPS yang bisa menimbulkan kecurangan,” ucapnya.
Pendaftaran calon anggota KPPS akan dimulai pada 6-12 Maret, sementara penetapan dan pengumumannya 29 Maret-10 April. Anggota KPPS, kata Pramono, tergantung jumlah TPS di masing-masing KPU kabupaten/kota.
“Karena itu jumlah KPPS di suatu KPU kabupaten/kota mengikuti jumlah TPS-nya,” ungkap Pramono. Dia berharap ada kombinasi antara KPPS yang sudah berpengalaman dan yang baru untuk memutus mata rantai kecurangan. “Karena selama ini kecurangan-kecurangan itu banyak terjadi di tingkat KPPS sehingga sebagian besar dari mereka sudah terkena aturan dua periode,” ujar Pramono.
Ketua KPU Arief Budiman menjelaskan, dalam rekrutmen ini KPU akan memperhatikan tiga hal, yakni bekerja transparan, berintegritas, serta profesional. “Ketiganya kami dorong dan mudah-mudahan bisa terwujud,” ucapnya.
Arief menjelaskan bahwa proses perekrutan petugas KPPS berbeda dengan rekrutmen pada Pemilu 2014. Bila sebelumnya perekrutan dilakukan dengan penunjukan, kali ini lewat pendaftaran. “Artinya rekrutmen secara terbuka. Semua masyarakat bisa mendaftar,” paparnya.
Namun, untuk bisa lolos tahapan, calon petugas KPPS harus menyelesaikan sejumlah syarat. Di antaranya minimal berusia 17 tahun atau berijazah SMA serta tidak boleh menjadi bagian dari partai politik atau tim sukses. KPU juga berharap kepada perguruan tinggi untuk mendorong para mahasiswa berpartisipasi secara aktif sebagai penyelenggara pemilu. Peningkatan SDM menjadi penting mengingat rumitnya penyelenggaraan pemilu serentak yang baru kali pertama diadakan ini.
“Proses pemilu juga semakin rumit karena ada lima surat suara yang nantinya dihadapi para pemilih,” katanya. Lebih jauh Arief menegaskan, jajarannya dari tingkat KPU pusat hingga provinsi dan kabupaten/kota sudah siap menyelenggarakan Pemilu 2019.
Dia mengaku telah mengecek sejumlah kesiapan, antara lain aspek anggaran, personel, logistik, hingga daftar pemilih. Sejauh ini KPU tak menemukan masalah-masalah berarti terkait persiapan tersebut. “Dari beberapa komponen yang kami cek, semua tidak ada masalah berarti, maka KPU menyatakan sampai dengan tahap ini siap menyelenggarakan Pemilu 2019 yang lebih demokratis, lebih baik, untuk mendapatkan pemimpin-pemimpin terbaik,” ucapnya.
Anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Ida Budhiati sebelumnya menyatakan integritas penyelenggara pemilu merupakan hal paling mendasar agar pemilu terlaksana dengan baik. Dia melihat profesionalisme penyelenggara masih merupakan persoalan klasik di Tanah Air.
Sejak berdiri pada Juni 2012, DKPP telah mencatat 3.724 perkara yang ditangani. Dari jumlah itu yang layak jadi perkara pemilu hanya 38% atau 1.278 perkara. Kemudian 613 perkara memutuskan penyelenggara pemilu bersalah.
“Mayoritas terkait profesionalisme penyelenggara, seperti kecermatan, pemahaman regulasi, hingga aspek pelayanan,” ucapnya. Untuk menghadapi Pemilu 2019 yang serentak, sikap optimistis terhadap kualitas penyelenggara jauh lebih meningkat. Mantan Komisioner KPU 2012-2017 itu mengatakan, fakta itu bisa terlihat dari mekanisme rekrutmen penyelenggara yang semakin baik hingga daerah-daerah.
“Rekrutmen sekarang kan memperhatikan jenjang karier. Misalnya mereka yang pernah jadi KPPS kemudian jadi PPS dan seterusnya. Artinya apa? Itu artinya pemilu kita ditangani orang-orang yang punya keahlian dan pengalaman. Jauh beda dengan pemilu sebelumnya,” ungkap Ida.
Secara teoretis, pemilu berkualitas akan tercipta dengan adanya penyelenggara yang independen. “Setiap era di Indonesia memiliki corak dan warna tersendiri dalam desain dan penyelenggara pemilu,” tuturnya.
Dia menyebut, pada massa Orde Lama, misalnya, penyelenggara pemilu adalah gabungan dari unsur pemerintah dan legislatif. Namun, pemilu yang dihasilkan masih cenderung lebih baik dibandingkan pemilu lain, termasuk pelaksanaan pesta demokrasi pada era Reformasi. Saat Orde Baru pemilu tidak memiliki kepastian hukum dan cenderung membuahkan hasil yang sama dalam setiap pemilu.
Pemilu 1955 disebut sebagai pesta demokrasi “idola” dari semua perhelatan pemilu selama Indonesia berdiri. “Khusus pemilu yang diselenggarakan 2004-2019, yang saya tonjolkan adalah visi dari penyelenggara pemilu eranya Profesor Ramlan Subakti yang meletakkan fondasi tata pemilu di Indonesia dengan memperhatikan aspek hukum dan keadilan. Jadi, KPU periode itu bekerja keras untuk mengadakan pemilu dalam kepastian hukumnya,” kata Ida.Sebelum era Reformasi, pemilu di Indonesia hanya memperhatikan aspek prosedural atau hukum pidana saja. Itu berbeda dengan saat ini, yang telah menyentuh aspek substansial.
Selain itu, pada tataran pelanggaran pemilu juga tak hanya tersentuh oleh hukum pidana, tapi juga telah merambah pada kode etik penyelenggara Pemilu. “Ada juga aspek pengawasan yang mengalami evolusi dari waktu ke waktu. Kalau kita perhatikan, Indonesia ini berjalan dari masa gelap hingga datang masa terang,” ujar Ida. (Mula Akmal)
Hal ini menyusul dibukanya pendaftaran calon anggota KPPS pada 6-12 Maret mendatang. Komisioner KPU Pramono Ubaid Tanthowi mengungkapkan, KPPS merupakan ujung tombak penyelenggara pemilu karena bertugas langsung dalam pemungutan suara di tiap TPS.
“Jangan sampai mereka terindika si partai politik atau mendukung salah satu pasangan calon presiden dan calon wakil presiden. Itu yang harus diwaspadai karena KPPS merupakan ujung tombak penyelenggaraan pemilu,” ujarnya di Jakarta kemarin.
Pramono mengingatkan, jangan sampai KPU daerah salah merekrut anggota KPPS yang nantinya bisa menimbulkan kecurangan dan dapat mendelegitimasi pemilu yang sudah berjalan. Sebab, jika di KPPS terjadi manipulasi maka sampai atas akan termanipulasi semua, meskipun ada mekanisme koreksi di atasnya, tapi kalau terlalu banyak bocoran akan menjadi berat untuk mengoreksinya.
“Jangan sampai salah merekrut anggota KPPS yang bisa menimbulkan kecurangan,” ucapnya.
Pendaftaran calon anggota KPPS akan dimulai pada 6-12 Maret, sementara penetapan dan pengumumannya 29 Maret-10 April. Anggota KPPS, kata Pramono, tergantung jumlah TPS di masing-masing KPU kabupaten/kota.
“Karena itu jumlah KPPS di suatu KPU kabupaten/kota mengikuti jumlah TPS-nya,” ungkap Pramono. Dia berharap ada kombinasi antara KPPS yang sudah berpengalaman dan yang baru untuk memutus mata rantai kecurangan. “Karena selama ini kecurangan-kecurangan itu banyak terjadi di tingkat KPPS sehingga sebagian besar dari mereka sudah terkena aturan dua periode,” ujar Pramono.
Ketua KPU Arief Budiman menjelaskan, dalam rekrutmen ini KPU akan memperhatikan tiga hal, yakni bekerja transparan, berintegritas, serta profesional. “Ketiganya kami dorong dan mudah-mudahan bisa terwujud,” ucapnya.
Arief menjelaskan bahwa proses perekrutan petugas KPPS berbeda dengan rekrutmen pada Pemilu 2014. Bila sebelumnya perekrutan dilakukan dengan penunjukan, kali ini lewat pendaftaran. “Artinya rekrutmen secara terbuka. Semua masyarakat bisa mendaftar,” paparnya.
Namun, untuk bisa lolos tahapan, calon petugas KPPS harus menyelesaikan sejumlah syarat. Di antaranya minimal berusia 17 tahun atau berijazah SMA serta tidak boleh menjadi bagian dari partai politik atau tim sukses. KPU juga berharap kepada perguruan tinggi untuk mendorong para mahasiswa berpartisipasi secara aktif sebagai penyelenggara pemilu. Peningkatan SDM menjadi penting mengingat rumitnya penyelenggaraan pemilu serentak yang baru kali pertama diadakan ini.
“Proses pemilu juga semakin rumit karena ada lima surat suara yang nantinya dihadapi para pemilih,” katanya. Lebih jauh Arief menegaskan, jajarannya dari tingkat KPU pusat hingga provinsi dan kabupaten/kota sudah siap menyelenggarakan Pemilu 2019.
Dia mengaku telah mengecek sejumlah kesiapan, antara lain aspek anggaran, personel, logistik, hingga daftar pemilih. Sejauh ini KPU tak menemukan masalah-masalah berarti terkait persiapan tersebut. “Dari beberapa komponen yang kami cek, semua tidak ada masalah berarti, maka KPU menyatakan sampai dengan tahap ini siap menyelenggarakan Pemilu 2019 yang lebih demokratis, lebih baik, untuk mendapatkan pemimpin-pemimpin terbaik,” ucapnya.
Anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Ida Budhiati sebelumnya menyatakan integritas penyelenggara pemilu merupakan hal paling mendasar agar pemilu terlaksana dengan baik. Dia melihat profesionalisme penyelenggara masih merupakan persoalan klasik di Tanah Air.
Sejak berdiri pada Juni 2012, DKPP telah mencatat 3.724 perkara yang ditangani. Dari jumlah itu yang layak jadi perkara pemilu hanya 38% atau 1.278 perkara. Kemudian 613 perkara memutuskan penyelenggara pemilu bersalah.
“Mayoritas terkait profesionalisme penyelenggara, seperti kecermatan, pemahaman regulasi, hingga aspek pelayanan,” ucapnya. Untuk menghadapi Pemilu 2019 yang serentak, sikap optimistis terhadap kualitas penyelenggara jauh lebih meningkat. Mantan Komisioner KPU 2012-2017 itu mengatakan, fakta itu bisa terlihat dari mekanisme rekrutmen penyelenggara yang semakin baik hingga daerah-daerah.
“Rekrutmen sekarang kan memperhatikan jenjang karier. Misalnya mereka yang pernah jadi KPPS kemudian jadi PPS dan seterusnya. Artinya apa? Itu artinya pemilu kita ditangani orang-orang yang punya keahlian dan pengalaman. Jauh beda dengan pemilu sebelumnya,” ungkap Ida.
Secara teoretis, pemilu berkualitas akan tercipta dengan adanya penyelenggara yang independen. “Setiap era di Indonesia memiliki corak dan warna tersendiri dalam desain dan penyelenggara pemilu,” tuturnya.
Dia menyebut, pada massa Orde Lama, misalnya, penyelenggara pemilu adalah gabungan dari unsur pemerintah dan legislatif. Namun, pemilu yang dihasilkan masih cenderung lebih baik dibandingkan pemilu lain, termasuk pelaksanaan pesta demokrasi pada era Reformasi. Saat Orde Baru pemilu tidak memiliki kepastian hukum dan cenderung membuahkan hasil yang sama dalam setiap pemilu.
Pemilu 1955 disebut sebagai pesta demokrasi “idola” dari semua perhelatan pemilu selama Indonesia berdiri. “Khusus pemilu yang diselenggarakan 2004-2019, yang saya tonjolkan adalah visi dari penyelenggara pemilu eranya Profesor Ramlan Subakti yang meletakkan fondasi tata pemilu di Indonesia dengan memperhatikan aspek hukum dan keadilan. Jadi, KPU periode itu bekerja keras untuk mengadakan pemilu dalam kepastian hukumnya,” kata Ida.Sebelum era Reformasi, pemilu di Indonesia hanya memperhatikan aspek prosedural atau hukum pidana saja. Itu berbeda dengan saat ini, yang telah menyentuh aspek substansial.
Selain itu, pada tataran pelanggaran pemilu juga tak hanya tersentuh oleh hukum pidana, tapi juga telah merambah pada kode etik penyelenggara Pemilu. “Ada juga aspek pengawasan yang mengalami evolusi dari waktu ke waktu. Kalau kita perhatikan, Indonesia ini berjalan dari masa gelap hingga datang masa terang,” ujar Ida. (Mula Akmal)
(nfl)