DKPP: Integritas Penyelenggara Hal Paling Inti dalam Pemilu
A
A
A
JAKARTA - Anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Ida Budhiati menyatakan integritas penyelenggara pemilu merupakan hal paling inti agar pemilu terlaksana dengan baik. Menurutnya, profesionalisme penyelenggara masih merupakan persoalan klasik Kepemiluan di Tanah Air.
Sejak berdiri Juni 2012, DKPP telah mencatat sebanyak 3724 perkara ditangani. Dari jumlah itu yang layak jadi perkara pemilu hanya 38% atau sebanyak 1278 perkara. Kemudian dari 38% tersebut, 48% di antaranya (613 perkara) memutuskan penyelenggara pemilu bersalah.
"Mayoritas terkait profesionalisme penyelenggara seperti kecermatan, pemahaman regulasi hingga aspek pelayanan," ujarnya dalam peluncurkan buku berjudul "Pemilu di Indonesia" karya dari Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia, Prof Topo Santoso dan Anggota DKPP, Ida Budhianto di Jakarta, Selasa (26/2/2019).
(Baca juga: KPU Condong Buka TPS Baru untuk Atasi DPTb Membludak)
Dia mengatakan untuk menghadapi Pemilu Serentak 2019 sikap optimistis terhadap kualitas penyelenggara jauh lebih meningkat. Mantan Komisioner KPU 2012-2017 menilai fakta itu bisa terlihat dari mekanisme rekrutmen penyelenggara yang semakin baik hingga ke daerah-daerah.
"Rekrutmen sekarang kan memperhatikan jenjang karir. Misalnya mereka yang pernah jadi KPPS kemudian jadi PPS dan seterusnya. Artinya apa? Itu artinya pemilu kita ditangani orang-orang yang punya keahlian dan pengalaman. Jauh beda dengan pemilu sebelumnya," ungkapnya.
Secara teoritis, sambungnya, pemilu berkualitas akan tercipta dengan adanya penyelenggara yang independen. "Setiap era di Indonesia, memiliki corak dan warna tersendiri dalam desain dan penyelenggara pemilu," tegasnya.
Dalam buku yang ditulisnya, bercerita tentang detail evolusi penyelenggara pemilu di Indonesia selama tiga era, yakni Orde Lama, Orde Baru dan Reformasi. Bukunya juga menggambarkan spririt penyelenggara pemilu untuk menegakkan Pemilu di Tanah Air.
(Baca juga: KPU Belum Temukan Solusi Polemik DPTb)
Dalam Orde Lama misalnya, penyelenggara pemilu adalah gabungan dari unsur pemerintah dan legislatif. Namun demikian, pemilu yang dihasilkan masih cenderung lebih baik dibandingkan dengan pemilu lainnya, termasuk pelaksanaan pesta demokrasi pada era Reformasi.
Sementara saat Orde Baru, pemilu tidak memiliki kepastian hukum dan cenderung membuahkan hasil yang sama dalam setiap pemilu. Pemilu 1955 disebut Ida sebagai pesta demokrasi "idola" dari semua perhelatan pemilu selama Indonesia berdiri.
"Khusus Pemilu 2004-2019, yang saya tonjolkan adalah visi dari penyelenggara pemilu eranya Prof Ramlan Subakti yang meletakkan pondasi tata pemilu di Indonesia, yang memperhatikan aspek hukumnya dan aspek keadilan pemilu. Jadi KPU periode itu bekerja keras untuk mengadakan pemilu dalam kepastian hukumnya," jelasnya.
Menurutnya sebelum era Reformasi, pemilu di Indonesia hanya memerhatikan aspek prosedural atau hukum pidana saja, berbeda dengan saat ini yang telah menyentuh aspek substansial. Selain itu, pada tataran pelanggaran pemilu juga tak hanya tersentuh oleh hukum pidana saja melainkan telah merambah pada kode etik penyelenggara pemilu.
"Ada juga aspek pengawasan yang mengalami evolusi dari waktu ke waktu. Kalau kita perhatikan, Indonesia ini berjalan dari masa gelap hingga datang masa terang," jelasnya.
Sementara itu, Ketua DKPP Harjono mengatakan pendidikan pemilu kepada masyarakat sangat penting dan harus terus digulirkan. Kedewasaan dan pemahaman terhadap fungsi pemilu harus ditekankan oleh semua elemen mulai dari penyelenggara dan peserta Pemilu.
"Yang kita agak khawatir sekarang adalah pemikiran bahwa pemilu ini soal hidup mati. Padahal kan bukan itu sebenarnya," ucapnya dalam agenda yang sama.
(Baca juga: Soal DPTb, KPU Yakin Jumlah Pemilih Tidak Membengkak)
Hakekat pemilu, kata Harjono, adalah memersatukan seluruh elemen bangsa di tengah masyarakat yang sangat plural. Menurut dia substansi pemilu itu sendiri baru ada setelah pemilihan. Yakni ketika ditetapkan wakil-wakil masyarakat yang duduk di kekuasaan.
"Jadi pemilu itu sifatnya harus integratif karena pemilu adalah soal memilih wakil kita di DPR, DPD hingga presiden dan wakil presiden. Nah, setelah terpilih wakil itu baru kita masuk subtansi pemilu dimana kita bicara soal kesejahteraan, keadilan, kenyamanan dan sebagainya," tutupnya.
Sejak berdiri Juni 2012, DKPP telah mencatat sebanyak 3724 perkara ditangani. Dari jumlah itu yang layak jadi perkara pemilu hanya 38% atau sebanyak 1278 perkara. Kemudian dari 38% tersebut, 48% di antaranya (613 perkara) memutuskan penyelenggara pemilu bersalah.
"Mayoritas terkait profesionalisme penyelenggara seperti kecermatan, pemahaman regulasi hingga aspek pelayanan," ujarnya dalam peluncurkan buku berjudul "Pemilu di Indonesia" karya dari Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia, Prof Topo Santoso dan Anggota DKPP, Ida Budhianto di Jakarta, Selasa (26/2/2019).
(Baca juga: KPU Condong Buka TPS Baru untuk Atasi DPTb Membludak)
Dia mengatakan untuk menghadapi Pemilu Serentak 2019 sikap optimistis terhadap kualitas penyelenggara jauh lebih meningkat. Mantan Komisioner KPU 2012-2017 menilai fakta itu bisa terlihat dari mekanisme rekrutmen penyelenggara yang semakin baik hingga ke daerah-daerah.
"Rekrutmen sekarang kan memperhatikan jenjang karir. Misalnya mereka yang pernah jadi KPPS kemudian jadi PPS dan seterusnya. Artinya apa? Itu artinya pemilu kita ditangani orang-orang yang punya keahlian dan pengalaman. Jauh beda dengan pemilu sebelumnya," ungkapnya.
Secara teoritis, sambungnya, pemilu berkualitas akan tercipta dengan adanya penyelenggara yang independen. "Setiap era di Indonesia, memiliki corak dan warna tersendiri dalam desain dan penyelenggara pemilu," tegasnya.
Dalam buku yang ditulisnya, bercerita tentang detail evolusi penyelenggara pemilu di Indonesia selama tiga era, yakni Orde Lama, Orde Baru dan Reformasi. Bukunya juga menggambarkan spririt penyelenggara pemilu untuk menegakkan Pemilu di Tanah Air.
(Baca juga: KPU Belum Temukan Solusi Polemik DPTb)
Dalam Orde Lama misalnya, penyelenggara pemilu adalah gabungan dari unsur pemerintah dan legislatif. Namun demikian, pemilu yang dihasilkan masih cenderung lebih baik dibandingkan dengan pemilu lainnya, termasuk pelaksanaan pesta demokrasi pada era Reformasi.
Sementara saat Orde Baru, pemilu tidak memiliki kepastian hukum dan cenderung membuahkan hasil yang sama dalam setiap pemilu. Pemilu 1955 disebut Ida sebagai pesta demokrasi "idola" dari semua perhelatan pemilu selama Indonesia berdiri.
"Khusus Pemilu 2004-2019, yang saya tonjolkan adalah visi dari penyelenggara pemilu eranya Prof Ramlan Subakti yang meletakkan pondasi tata pemilu di Indonesia, yang memperhatikan aspek hukumnya dan aspek keadilan pemilu. Jadi KPU periode itu bekerja keras untuk mengadakan pemilu dalam kepastian hukumnya," jelasnya.
Menurutnya sebelum era Reformasi, pemilu di Indonesia hanya memerhatikan aspek prosedural atau hukum pidana saja, berbeda dengan saat ini yang telah menyentuh aspek substansial. Selain itu, pada tataran pelanggaran pemilu juga tak hanya tersentuh oleh hukum pidana saja melainkan telah merambah pada kode etik penyelenggara pemilu.
"Ada juga aspek pengawasan yang mengalami evolusi dari waktu ke waktu. Kalau kita perhatikan, Indonesia ini berjalan dari masa gelap hingga datang masa terang," jelasnya.
Sementara itu, Ketua DKPP Harjono mengatakan pendidikan pemilu kepada masyarakat sangat penting dan harus terus digulirkan. Kedewasaan dan pemahaman terhadap fungsi pemilu harus ditekankan oleh semua elemen mulai dari penyelenggara dan peserta Pemilu.
"Yang kita agak khawatir sekarang adalah pemikiran bahwa pemilu ini soal hidup mati. Padahal kan bukan itu sebenarnya," ucapnya dalam agenda yang sama.
(Baca juga: Soal DPTb, KPU Yakin Jumlah Pemilih Tidak Membengkak)
Hakekat pemilu, kata Harjono, adalah memersatukan seluruh elemen bangsa di tengah masyarakat yang sangat plural. Menurut dia substansi pemilu itu sendiri baru ada setelah pemilihan. Yakni ketika ditetapkan wakil-wakil masyarakat yang duduk di kekuasaan.
"Jadi pemilu itu sifatnya harus integratif karena pemilu adalah soal memilih wakil kita di DPR, DPD hingga presiden dan wakil presiden. Nah, setelah terpilih wakil itu baru kita masuk subtansi pemilu dimana kita bicara soal kesejahteraan, keadilan, kenyamanan dan sebagainya," tutupnya.
(kri)