KPU Belum Temukan Solusi Polemik DPTb
A
A
A
JAKARTA - Ketua KPU Arief Budiman mengaku masih mengkaji solusi terkait polemik penambahan surat suara pemilih yang berpindah tempat pemungutan suara (TPS) sekaligus memikirkan pemetaan distribusinya yang akan berubah.
Menurut dia, solusi penambahan produksi surat suara belum diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu. UU hanya mengatur pencetakan surat suara untuk pemilih yang tercatat dalam DPT di tambah 2% surat suara cadangan yang dihitung dari DPT per TPS.
“KPU punya problem kalau jumlah itu berkumpul di satu tempat dan tidak mungkin kita mengumpulkan atau memindahkan banyak surat suara dari banyak tempat,” ucapnya di Jakarta, kemarin.
Permasalahan kelengkapan surat suara inilah yang menjadi perhatian KPU saat ini. Dalam UU terdapat pasal yang mengatakan DPTb harus ada surat suaranya di TPS sehingga pemilih bisa dilayani.
“Nah, jadi sebetulnya ada kontradiksi dalam regulasi itu. Kita diminta melayani DPTb, tapi tidak mungkin surat suara dari tempat asalnya. Ini yang lagi kita pikirkan untuk dicari solusinya,” ungkapnya.
Komisioner KPU Viryan Azis mengatakan, perppu tentang pencetakan surat suara khusus pemilih DPTb bisa menjadi solusi atas persoalan ini. “Bisa perppu, bisa kesepakatan para pihak, tapi prinsipnya KPU siap membicarakan dengan pihak terkait,” ucapnya.
Dia mengatakan, opsi pembuatan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) pa ling mung kin dilakukan sebab undang-undang tidak mengatur pencetakan surat suara untuk pemilih yang tercatat di DPTb sehingga KPU tak bisa mencetak surat suara untuk pemilih tambahan.
UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu hanya mengatur pencetakan surat suara untuk DPT, yaitu sesuai dengan jumlah DPT ditambah 2% DPT per TPS. Adapun pemilih tam bahan hanya bisa menggunakan surat suara cadangan. “Di UU disebutkan, surat suara itu dicetak hanya untuk pemilih DPT. Jadi, KPU tidak bisa mencetak surat suara untuk DPTb karena di undang-undang tidak mengatur itu, hanya mengatur untuk DPT ditambah 2%,” jelasnya.
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo menilai polemik pencetakan surat suara untuk pemilih yang berpindah TPS dapat diselesaikan melalui Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU).
Dengan begitu, perppu untuk menjamin hak pilih dari pemilih yang masuk kategori daftar pemilih tambahan (DPTb) belum diperlukan. “Menurut saya, lebih baik aturannya cukup dengan PKPU. Itu menurut saya ya karena itu bukan hal yang genting memaksa,” kata Tjahjo di Jakarta kemarin.
Undang-Undang Pemilu dinilai mengabaikan pemilih DPTb karena tidak ada aturan yang menyebutkan tentang ketentuan surat suara untuk pemilih tambahan. Berbagai masukan muncul untuk mengatasi polemik tersebut, termasuk pembuatan perppu hingga mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK). Menurut Tjahjo, opsi perppu dinilai kurang tepat. Perppu dibuat untuk ihwal yang bersifat genting. Apalagi, tidak ada jaminan produk regulasi tersebut akan dengan cepat dibuat.
“Apakah ada jaminan kalau ada perppu akan simpel? Kan belum tentu itu akan dibahas juga, pasti akan merembet ke hal yang lain. Itu akan mengganggu tahapan-tahapan menurut saya,” terangnya.
Tjahjo tak banyak berkomentar terkait saran untuk mengajukan uji materi terhadap UU Pemilu ke MK. Namun, hal itu merupakan hak konstitusional masyarakat. Apa pun cara yang dipilih, dia me nekankan agar tidak meng gang gu tahapan pemilu dan tidak mengganggu hak masyarakat untuk memilih. “Semuanya kita serahkan ke KPU untuk memutuskan langkah apa yang akan diambil,” ungkapnya.
Seperti diberitakan, sebagian pemilih yang berpindah TPS terancam tak bisa mencoblos. Hal ini karena terjadi kendala dalam penyediaan surat suara tambahan yang khusus di peruntukkan bagi pemilih yang berpindah TPS atau pe milih pindah memilih. KPU mencatat, jumlah pemilih yang pindah TPS mencapai 275.923 pemilih.
Mereka dicatat ke DPTb. Jumlah tersebut ternyata melebihi jumlah ketersediaan surat suara cadangan yang hanya dialokasikan sebesar 2% dari DPT per TPS. Angka 275.923 pemilih masih mungkin bertambah karena KPU terus mela kukan penyisiran potensi pemilih yang berpindah TPS hingga 17 Maret 2019.
Di bagian lain, juru bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi, Pipin Sopian mengungkapkan sejumlah potensi kecurangan yang bisa terjadi di Pemilu 2019. Di antara potensi kecurangan itu berasal dari penggelembungan DPT. “Potensi kecurangan sebelum pencoblosan yang paling kentara adalah terkait penentuan DPT,” kata Pipin dalam diskusi “Menginventarisir Potensi Kecurangan di Pilpres 2019” di Media Center Prabowo-Sandi, Jalan Sri wijaya, Jakarta Selatan, kemarin.Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini mengatakan, pihaknya adalah yang pertama kali membongkar potensi penggelembungan DPT Pemilu 2019. DPT yang bertambah ini berpotensi disalahgunakan untuk menambah suara paslon tertentu. “Ketika kita ungkap, semua pihak jadi sadar ada potensi penggandaan. Banyak DPT siluman dan berpotensi banyak yang tidak ada pemilihnya sehingga digunakan oleh siapa pun,” tandasnya.
Pipin menambahkan, potensi kecurangan juga bisa terjadi saat rekapitulasi surat suara pemilu. Berdasarkan penelusuran di lapangan, kata dia, kecurangan saat rekapitulasi suara lazimnya dilakukan oleh oknum penyelenggara pemilu dan oknum peserta pemilu. “Biasanya oknum penyelenggara bekerja sama dengan oknum peserta pemilu mengotak-atik hasil suara. Mengecoh para saksi,” ungkapnya.
Untuk menghindari kecurangan saat rekapitulasi suara, mantan Komisioner KPU Chusnul Mariyah mengimbau masyarakat untuk terus memantau proses pencoblosan serta penghitungan suara hingga selesai. “Apa yang harus diawasi pada hari H, pertama, hasil. Kedua, form C1, plano, dan form C7. Semua informasi dari mulai jumlah pemilih, jumlah surat suara, hasil surat suara, ada di situ. Masyarakat harus awasi itu,” ungkap Chusnul. (Mula Akma)
Menurut dia, solusi penambahan produksi surat suara belum diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu. UU hanya mengatur pencetakan surat suara untuk pemilih yang tercatat dalam DPT di tambah 2% surat suara cadangan yang dihitung dari DPT per TPS.
“KPU punya problem kalau jumlah itu berkumpul di satu tempat dan tidak mungkin kita mengumpulkan atau memindahkan banyak surat suara dari banyak tempat,” ucapnya di Jakarta, kemarin.
Permasalahan kelengkapan surat suara inilah yang menjadi perhatian KPU saat ini. Dalam UU terdapat pasal yang mengatakan DPTb harus ada surat suaranya di TPS sehingga pemilih bisa dilayani.
“Nah, jadi sebetulnya ada kontradiksi dalam regulasi itu. Kita diminta melayani DPTb, tapi tidak mungkin surat suara dari tempat asalnya. Ini yang lagi kita pikirkan untuk dicari solusinya,” ungkapnya.
Komisioner KPU Viryan Azis mengatakan, perppu tentang pencetakan surat suara khusus pemilih DPTb bisa menjadi solusi atas persoalan ini. “Bisa perppu, bisa kesepakatan para pihak, tapi prinsipnya KPU siap membicarakan dengan pihak terkait,” ucapnya.
Dia mengatakan, opsi pembuatan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) pa ling mung kin dilakukan sebab undang-undang tidak mengatur pencetakan surat suara untuk pemilih yang tercatat di DPTb sehingga KPU tak bisa mencetak surat suara untuk pemilih tambahan.
UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu hanya mengatur pencetakan surat suara untuk DPT, yaitu sesuai dengan jumlah DPT ditambah 2% DPT per TPS. Adapun pemilih tam bahan hanya bisa menggunakan surat suara cadangan. “Di UU disebutkan, surat suara itu dicetak hanya untuk pemilih DPT. Jadi, KPU tidak bisa mencetak surat suara untuk DPTb karena di undang-undang tidak mengatur itu, hanya mengatur untuk DPT ditambah 2%,” jelasnya.
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo menilai polemik pencetakan surat suara untuk pemilih yang berpindah TPS dapat diselesaikan melalui Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU).
Dengan begitu, perppu untuk menjamin hak pilih dari pemilih yang masuk kategori daftar pemilih tambahan (DPTb) belum diperlukan. “Menurut saya, lebih baik aturannya cukup dengan PKPU. Itu menurut saya ya karena itu bukan hal yang genting memaksa,” kata Tjahjo di Jakarta kemarin.
Undang-Undang Pemilu dinilai mengabaikan pemilih DPTb karena tidak ada aturan yang menyebutkan tentang ketentuan surat suara untuk pemilih tambahan. Berbagai masukan muncul untuk mengatasi polemik tersebut, termasuk pembuatan perppu hingga mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK). Menurut Tjahjo, opsi perppu dinilai kurang tepat. Perppu dibuat untuk ihwal yang bersifat genting. Apalagi, tidak ada jaminan produk regulasi tersebut akan dengan cepat dibuat.
“Apakah ada jaminan kalau ada perppu akan simpel? Kan belum tentu itu akan dibahas juga, pasti akan merembet ke hal yang lain. Itu akan mengganggu tahapan-tahapan menurut saya,” terangnya.
Tjahjo tak banyak berkomentar terkait saran untuk mengajukan uji materi terhadap UU Pemilu ke MK. Namun, hal itu merupakan hak konstitusional masyarakat. Apa pun cara yang dipilih, dia me nekankan agar tidak meng gang gu tahapan pemilu dan tidak mengganggu hak masyarakat untuk memilih. “Semuanya kita serahkan ke KPU untuk memutuskan langkah apa yang akan diambil,” ungkapnya.
Seperti diberitakan, sebagian pemilih yang berpindah TPS terancam tak bisa mencoblos. Hal ini karena terjadi kendala dalam penyediaan surat suara tambahan yang khusus di peruntukkan bagi pemilih yang berpindah TPS atau pe milih pindah memilih. KPU mencatat, jumlah pemilih yang pindah TPS mencapai 275.923 pemilih.
Mereka dicatat ke DPTb. Jumlah tersebut ternyata melebihi jumlah ketersediaan surat suara cadangan yang hanya dialokasikan sebesar 2% dari DPT per TPS. Angka 275.923 pemilih masih mungkin bertambah karena KPU terus mela kukan penyisiran potensi pemilih yang berpindah TPS hingga 17 Maret 2019.
Di bagian lain, juru bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi, Pipin Sopian mengungkapkan sejumlah potensi kecurangan yang bisa terjadi di Pemilu 2019. Di antara potensi kecurangan itu berasal dari penggelembungan DPT. “Potensi kecurangan sebelum pencoblosan yang paling kentara adalah terkait penentuan DPT,” kata Pipin dalam diskusi “Menginventarisir Potensi Kecurangan di Pilpres 2019” di Media Center Prabowo-Sandi, Jalan Sri wijaya, Jakarta Selatan, kemarin.Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini mengatakan, pihaknya adalah yang pertama kali membongkar potensi penggelembungan DPT Pemilu 2019. DPT yang bertambah ini berpotensi disalahgunakan untuk menambah suara paslon tertentu. “Ketika kita ungkap, semua pihak jadi sadar ada potensi penggandaan. Banyak DPT siluman dan berpotensi banyak yang tidak ada pemilihnya sehingga digunakan oleh siapa pun,” tandasnya.
Pipin menambahkan, potensi kecurangan juga bisa terjadi saat rekapitulasi surat suara pemilu. Berdasarkan penelusuran di lapangan, kata dia, kecurangan saat rekapitulasi suara lazimnya dilakukan oleh oknum penyelenggara pemilu dan oknum peserta pemilu. “Biasanya oknum penyelenggara bekerja sama dengan oknum peserta pemilu mengotak-atik hasil suara. Mengecoh para saksi,” ungkapnya.
Untuk menghindari kecurangan saat rekapitulasi suara, mantan Komisioner KPU Chusnul Mariyah mengimbau masyarakat untuk terus memantau proses pencoblosan serta penghitungan suara hingga selesai. “Apa yang harus diawasi pada hari H, pertama, hasil. Kedua, form C1, plano, dan form C7. Semua informasi dari mulai jumlah pemilih, jumlah surat suara, hasil surat suara, ada di situ. Masyarakat harus awasi itu,” ungkap Chusnul. (Mula Akma)
(nfl)