262 Desa Peduli Gambut Dibentuk untuk Cegah Karhutla
A
A
A
JAKARTA - Restorasi gambut tidak akan berjalan tanpa partisipasi masyarakat untuk mengawasi dan menyelenggarakan kegiatan itu. Ini yang membuat Badan Restorasi Gambut (BRG) menggelar program Desa Peduli Gambut (DPG). Saat ini ada 262 desa tergabung dalam Program DPG yang terdiri atas 49 desa di Riau, 28 desa di Jambi, 43 desa di Sumatera Selatan, 39 desa di Kalimantan Barat, 69 desa di Kalimantan Tengah, 26 desa di Kalimantan Selatan, dan 8 desa di Papua.
Menurut Deputi Bidang Edukasi, Sosialisasi, Partisipasi dan Kemitraan BRG Myrna A Safitri, program ini terintegrasi dengan upaya pengurangan risiko bencana serta adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Dampak perubahan iklim secara langsung memengaruhi tingkat risiko bencana bagi masyarakat di sekitar ekosistem gambut.
Sementara peningkatan risiko terjadi karena dampak perubahan iklim memicu peningkatan bahaya, meningkatkan kerentanan, serta menurunkan kapasitas masyarakat desa. “Program Desa Peduli Gambut ini mendorong adanya mitigasi bencana asap pada desa atau kelurahan di areal gambut rawan kebakaran,” ungkap Myrna.
Myrna mengatakan, program ini mendorong pemulihan lahan pertanian terbakar serta meningkatkan ekonomi dari pengelolaan gambut berbasis kearifan lokal. Program DPG juga menjadi kerangka penyelaras bagi kegiatan-kegiatan terkait dengan perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut di tingkat desa atau kelurahan serta pemberdayaan sosial dan ekonomi masyarakat.
“Dari waktu ke waktu, ekosistem gambut di Indonesia terdegradasi. Sebagian besar terjadi akibat pengeringan gambut dan kebakaran. Banyak salah kelola terjadi pada ekosistem gambut selama dua-tiga dekade terakhir. Kubah-kubah gambut yang semestinya dilindungi karena kemampuannya menyimpan air, banyak yang dirusak,” jelasnya.
Perubahan ekosistem itu menyebabkan terjadinya pengeringan lahan gambut. Akibatnya gambut pun menjadi rawan terbakar. “Pada ekosistem yang berubah dan rentan inilah terdapat kehidupan sejumlah kelompok masyarakat. Jumlah desa di dalam dan sekitar ekosistem gambut pada tujuh provinsi prioritas restorasi gambut diperkirakan mencapai 2.945 desa,” kata Myrna.
Sebagian besar dari desa-desa itu adalah desa yang rawan kebakaran hutan dan lahan. Rilis Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebutkan ada 731 desa rawan kebakaran hutan.
“Sebagian berada di dalam dan sekitar ekosistem gambut. Sementara di areal 2,49 juta hektare yang menjadi target restorasi gambut diperkirakan ada 1.205 desa dan kelurahan. Sehingga penting untuk mengingat bahwa desa atau kelurahan serta masyarakatnya menjadi bagian dari kegiatan untuk memulihkan ekosistem gambut,” jelasnya.
Deputi Bidang Perencanaan dan Kerja Sama BRG Budi S Wardhana mengungkapkan, indikator keberhasilan secara umum DPG adalah meningkatnya status desa-desa di dalam dan sekitar ekosistem gambut. “Berdasarkan Indeks Desa Membangun, status desa-desa tersebut terdiri dari lima klasifikasi: desa sangat tertinggal, desa tertinggal, desa berkembang, desa maju, dan desa mandiri. Program Desa Peduli Gambut mengoordinasikan agar program-program pembangunan dari berbagai sektor dan pendampingan desa oleh organisasi masyarakat sipil dengan sektor swasta,” ungkapnya.
Budi juga menambahkan bahwa kebakaran gambut merupakan situasi kebencanaan yang harus diantisipasi. Kesadaran akan kerentanan masyarakat desa terhadap bencana adalah modal sosial penting untuk ketahanan desa, baik ketahanan ekonomi, sosial maupun lingkungan.
Prinsip tanggap bencana dalam kegiatan DPG akan terefleksikan melalui perencanaan desa, di mana kerentanan wilayah diakomodir dalam tata ruang desa dan antisipasi pembiayaan yang bersifat penanggulangan bencana tercermin dalam APBDesa. “Perencanaan dan pelaksanaan kegiatan di desa-desa gambut berorientasi pada mitigasi bencana khususnya bencana asap, kekeringan, dan banjir,” kata Budi.
Haris Gunawan, Deputi Penelitian dan Pengembangan BRG mengungkapkan, dalam pelaksanaan restorasi gambut secara umum digunakan pendekatan restorasi hidrologi atau pembasahan kembali, penanaman kembali, atau revegetasi dan peningkatan kesejahteraan atau revitalisasi mata pencaharian masyarakat.
“Selain itu desa peduli gambut juga perlu didorong kerja sama antardesa dalam perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut. Sehingga, pemerintah desa perlu didampingi agar mampu menjalin kerja sama secara kolaboratif dengan desa-desa lainnya dan dengan berbagai pihak strategis lainnya,” ungkapnya.
Haris mengatakan, nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat juga penting untuk melindungi dan mengelola ekosistem gambut secara lestari. Tata kelola gambut secara alami juga penting dalam upaya pelestarian hutan gambut.
“Dalam konteks desa-desa gambut ini, maka kawasan perdesaan dimaksud dimaknai sebagai kawasan di dalam kesatuan hidrologis gambut yang mempunyai kegiatan utama pertanian. Termasuk pengelolaan ekosistem gambut secara bijaksana yang terdiri dari susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi pertanian yang ramah pada kelestarian ekosistem gambut,” ujar Haris.
Menurut Deputi Bidang Edukasi, Sosialisasi, Partisipasi dan Kemitraan BRG Myrna A Safitri, program ini terintegrasi dengan upaya pengurangan risiko bencana serta adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Dampak perubahan iklim secara langsung memengaruhi tingkat risiko bencana bagi masyarakat di sekitar ekosistem gambut.
Sementara peningkatan risiko terjadi karena dampak perubahan iklim memicu peningkatan bahaya, meningkatkan kerentanan, serta menurunkan kapasitas masyarakat desa. “Program Desa Peduli Gambut ini mendorong adanya mitigasi bencana asap pada desa atau kelurahan di areal gambut rawan kebakaran,” ungkap Myrna.
Myrna mengatakan, program ini mendorong pemulihan lahan pertanian terbakar serta meningkatkan ekonomi dari pengelolaan gambut berbasis kearifan lokal. Program DPG juga menjadi kerangka penyelaras bagi kegiatan-kegiatan terkait dengan perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut di tingkat desa atau kelurahan serta pemberdayaan sosial dan ekonomi masyarakat.
“Dari waktu ke waktu, ekosistem gambut di Indonesia terdegradasi. Sebagian besar terjadi akibat pengeringan gambut dan kebakaran. Banyak salah kelola terjadi pada ekosistem gambut selama dua-tiga dekade terakhir. Kubah-kubah gambut yang semestinya dilindungi karena kemampuannya menyimpan air, banyak yang dirusak,” jelasnya.
Perubahan ekosistem itu menyebabkan terjadinya pengeringan lahan gambut. Akibatnya gambut pun menjadi rawan terbakar. “Pada ekosistem yang berubah dan rentan inilah terdapat kehidupan sejumlah kelompok masyarakat. Jumlah desa di dalam dan sekitar ekosistem gambut pada tujuh provinsi prioritas restorasi gambut diperkirakan mencapai 2.945 desa,” kata Myrna.
Sebagian besar dari desa-desa itu adalah desa yang rawan kebakaran hutan dan lahan. Rilis Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebutkan ada 731 desa rawan kebakaran hutan.
“Sebagian berada di dalam dan sekitar ekosistem gambut. Sementara di areal 2,49 juta hektare yang menjadi target restorasi gambut diperkirakan ada 1.205 desa dan kelurahan. Sehingga penting untuk mengingat bahwa desa atau kelurahan serta masyarakatnya menjadi bagian dari kegiatan untuk memulihkan ekosistem gambut,” jelasnya.
Deputi Bidang Perencanaan dan Kerja Sama BRG Budi S Wardhana mengungkapkan, indikator keberhasilan secara umum DPG adalah meningkatnya status desa-desa di dalam dan sekitar ekosistem gambut. “Berdasarkan Indeks Desa Membangun, status desa-desa tersebut terdiri dari lima klasifikasi: desa sangat tertinggal, desa tertinggal, desa berkembang, desa maju, dan desa mandiri. Program Desa Peduli Gambut mengoordinasikan agar program-program pembangunan dari berbagai sektor dan pendampingan desa oleh organisasi masyarakat sipil dengan sektor swasta,” ungkapnya.
Budi juga menambahkan bahwa kebakaran gambut merupakan situasi kebencanaan yang harus diantisipasi. Kesadaran akan kerentanan masyarakat desa terhadap bencana adalah modal sosial penting untuk ketahanan desa, baik ketahanan ekonomi, sosial maupun lingkungan.
Prinsip tanggap bencana dalam kegiatan DPG akan terefleksikan melalui perencanaan desa, di mana kerentanan wilayah diakomodir dalam tata ruang desa dan antisipasi pembiayaan yang bersifat penanggulangan bencana tercermin dalam APBDesa. “Perencanaan dan pelaksanaan kegiatan di desa-desa gambut berorientasi pada mitigasi bencana khususnya bencana asap, kekeringan, dan banjir,” kata Budi.
Haris Gunawan, Deputi Penelitian dan Pengembangan BRG mengungkapkan, dalam pelaksanaan restorasi gambut secara umum digunakan pendekatan restorasi hidrologi atau pembasahan kembali, penanaman kembali, atau revegetasi dan peningkatan kesejahteraan atau revitalisasi mata pencaharian masyarakat.
“Selain itu desa peduli gambut juga perlu didorong kerja sama antardesa dalam perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut. Sehingga, pemerintah desa perlu didampingi agar mampu menjalin kerja sama secara kolaboratif dengan desa-desa lainnya dan dengan berbagai pihak strategis lainnya,” ungkapnya.
Haris mengatakan, nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat juga penting untuk melindungi dan mengelola ekosistem gambut secara lestari. Tata kelola gambut secara alami juga penting dalam upaya pelestarian hutan gambut.
“Dalam konteks desa-desa gambut ini, maka kawasan perdesaan dimaksud dimaknai sebagai kawasan di dalam kesatuan hidrologis gambut yang mempunyai kegiatan utama pertanian. Termasuk pengelolaan ekosistem gambut secara bijaksana yang terdiri dari susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi pertanian yang ramah pada kelestarian ekosistem gambut,” ujar Haris.
(don)