Hoaks dan Ujaran Kebencian Berdampak Buruk bagi Psikologis

Jum'at, 18 Januari 2019 - 19:29 WIB
Hoaks dan Ujaran Kebencian Berdampak Buruk bagi Psikologis
Hoaks dan Ujaran Kebencian Berdampak Buruk bagi Psikologis
A A A
JAKARTA - Penyebaran berita bohong atau hoaks dan ujaran kebencian (hate speech) dinilai sudah berada dalam tingkat sangat mengkhawatirkan.

Tidak hanya bisa memprovokasi dan menimbulkan perpecahan di kalangan masyarakat, hoaks juga berdampak sangat buruk, baik psikologis, sosial, maupun fisik.

Karena itu, psiko-edukasi dan kampanye sebar cinta dan damai di media sosial (medsos) seperti ajakan #HateFreeDay harus terus digaungkan untuk menciptakan suasana aman, damai, dan nyaman, terutama menjelang pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres) dan pemilihan legislatif (pileg).

“Psiko-edukasi bisa dilakukan dalam banyak hal yakni bisa melalui iklan layanan masyarakat, menggunakan brosur yang disebarkan atau diviralkan melalui medsos dan sebagainya. Hal-hal negatif harus kita lawan dengan hal-hal positif. Kita juga harus lebih menonjolkan berita-berita baik sehingga masyarakat sadar masih banyak hal-hal baik daripada hal-hal buruk yang sudah mereka baca,” tutur psikolog anak dan keluarga, Maharani Ardi Putri. di Jakarta, Jumat (18/1/2019).

Menurut dia, hoaks dan ujaran kebencian di medsos menjadi masalah besar bagi bangsa ini. Selain dapat memprovokasi dan menimbulkan perpecahan masyarakat, hoaks dan ujaran kebencian dapat menimbulkan dampak psikologis, sosial dan dampak fisik di lingkungan masyarakat.

“Dampak psikologis mungkin menjadi yang pertama yang terasa. Misalnya ketika kita membaca berita hoaks dan ternyata itu tidak benar, tapi kita sudah timbul perasaan mungkin kecewa, takut, dan bisa jadi kita juga merasa benci terhadap orang yang dibicarakan dalam hoaks itu. Itu adalah dampak-dampak psikologis bagi orang yang membaca,” tutur Putri.
Lalu bagi orang yang dibicarakan dalam berita hoaks, kata dia, bisa membuat mereka merasa malu dan marah. Bisa juga menjadi traumatis ketika membaca berita-berita mengenai dirinya tersebut.

“Dampak psikologisnya bisa jadi pada orang yang dituju atau juga pada orang yang membaca berita hoaks tersebut,” katanya.

Setelah dampak psikologis, sambung dia, hoaks juga bisa berdampak sosial. Ketika hoaks mulai menjadi viral, apalagi ditimpali ujaran-ujaran kebencian maka secara sosial perilaku yang bersangkutan pun ikut menjadi berubah.

“Yang tadinya mungkin orang tidak sadar terhadap masalah-masalah tersebut, kemudian menjadi sadar dan bahkan sikapnya sangat ekstrem. Nah hal tersebut akan membawa dampak sosial,” kata Putri.

Menurut dia, penyebaran hoaks dan ujaran kebencian juga memiliki dampak secara fisik, yaitu orang menjadi merasa sedih dan depresi karena membaca informasi tersbut. Orang juga bisa sakit karena hoaks ataupun ujaran kebencian.

Akibatnya orang tersebut menjadi takut untuk keluar rumah atau takut melakukan sesuatu karena berita-berita hoaks yang dibacanya.“Dampaknya sebetulnya bisa banyak. Karena itu kita harus mewaspadai masalah hoaks dan ujaran kebencian yang disebarkan melalui media sosial ini,” tuturnya.
Menurut dia, perkembangan teknologi yang pesat membuat sulit untuk mencegah seseorang tidak memiliki akun medsos. Untuk itu, sambung Putri, keluarga berperan penting dalam mengajarkan bagaimana bermedia sosial yang bijak terutama terhadap anak.

“Bagaimanapun meski usianya sudah diperbolehkan memiliki akum medsos, tetapi anak dengan pengalaman yang minim dan cara berpikir asih dangkal perlu diarahkan untuk menggunakan medsos,” tuturnya.
Dia menambahkan, orang tua juga perlu mengajarkan kepada anak mengenai konten apa saja yang bisa di-upload yang tidak membahayakan diri mereka sendiri.
“Saya rasa hampir semua pendidikan bermula dari pendidikan keluarga, termasuk pendidikan dalam menggunakan internet yang bijak. Intinya bukan mencegah seseorang memiliki medsos, tetapi dengan mengajarkan bagaimana menggunakan medsos secara tepat,” tuturnya.

Dia memaparkan, agar lingkungan pekerjaan dan keluarga bisa hidup rukun dan damai tanpa hoaks dan ujaran kebencian, perlu adanya psiko edukasi atau pendidikan medsos juga bagaimana berinternet secara bijak.Menurut Putri, hal itu penting agar masyarakat menjadi lebih paham dan lebih sadar terhadap dampak dari hoaks dan ujaran kebencian di medsos.
“Ini harus dilakukan dalam setiap lapisan umur. Kenapa? Karena cara menangkap pesan-pesan atau pendidikan mengenai medsos ini tentunya akan berbeda-beda, harus disesuaikan dengan kapasitasnya, dengan bahasa yang kita gunakan, sehingga masyarakat menjadi lebih paham,” katanya.
(dam)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6554 seconds (0.1#10.140)