KPK Matangkan Rencana Pemberian Senjata pada Personel
A
A
A
JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memastikan sedang mematangkan rencana dan upaya mempersenjatai pimpinan dan personel guna mengantisipasi berbagai macam teror yang terjadi.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah menyatakan, KPK secara lembaga menyikapi secara serius teror penyerangan yang terjadi di rumah Ketua KPK Agus Rahardjo dan Wakil Ketua KPK Laode Muhamad Syarif serta teror-teror sebelumnya yang menimpa personel-personel maupun Gedung KPK. Di internal KPK, langsung di bicarakan dan dilakukan ber bagai langkah terkait dengan mitigasi risiko keamanan. Mitigasi ini, ungkap Febri, termasuk di dalamnya memperkuat aspek keamanan dan pengamanan terhadap para personel yang berpotensi memiliki risiko penyerangan dan pimpinan KPK.
Salah satu langkah untuk mitigasi tersebut, lanjutnya, memang sempat dibahas di internal KPK tentang rencana dan upaya mempersenjatai sejumlah personel yang rentan dan berpotensi mendapat teror.
Selain rencana penambahan personel pengamanan, termasuk meminta dari Polri. Dia mengakui, rencana mempersenjatai personel KPK tersebut sempat diutarakan pekan lalu oleh Ketua KPK Agus Rahardjo. “Persenjataan secara internal di KPK artinya melalui pengaturan di KPK. Selain pengaturan di internal, artinya juga kami harus ber koordinasi dengan Polri karena izin penggunaan senjata tetap berada pada Polri. Jadi, kalau dibutuhkan penambahan personel pengamanan, kami juga akan berkoordinasi dengan Polri. Misalnya untuk lima pimpinan KPK atau pengamanan yang lain. Sesuai deng an kebutuhan,” ungkap Febri di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, kemarin.
Mantan pegawai fungsional pada Direktorat Gratifikasi KPK ini mengatakan, koordinasi dengan Polri terus dilakukan guna mengantisipasi berbagai potensi teror lainnya yang bisa saja terjadi. Langkah koordinasi juga dilakukan sehubungan deng an investigasi, olah tempat kejadian perkara (TKP), mau pun informasi lain terkait dengan teror penyerangan di rumah dua pimpinan KPK. “Jadi, pimpinan juga sudah menugaskan sejumlah pegawai KPK untuk menjadi tim koordinasi dan memberikan dukungan informasi kepada tim Polri terkait kejadian di dua rumah pimpinan KPK. Tim ini ada unsur-unsur dari penindakan kemudian unsur pengawas internal, biro hukum, dan pegawai lain di KPK,” ujarnya.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo mengatakan, kepolisian tengah mengkaji wacana tersebut. “Kalau itu (dipersenjatai senpi) dibutuhkan KPK, polisi dalam hal ini akan melakukan pengkajian, kalau perlu diizinkan ya enggak papa (membawa senjata api),” kata Dedi. Menurut dia, selama ini aparat kepolisian juga telah memberikan pengawalan kepada petugas KPK saat melakukan penindakan hukum.
“Kan anggota kepolisian melakukan pengawalan kepada pimpinan KPK, apalagi (penyidik) KPK (saat) melakukan penegakan hukum, selalu kami kawal juga,” ujarnya.
Pakar hukum pidana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta JM Muslimin menilai, ada tiga hal yang perlu dilihat atas teror penyerangan di dua rumah pimpinan KPK dan teror-teror sebelumnya terhadap para pegawai maupun KPK secara lembaga.
Pertama, mematangkan mitigasi risiko dan keamanan. Dalam mitigasi ini," ujarnya, ada dua aspek yang perlu diperhatikan. Masing-masing mempersenjatai para personel KPK yang rentang mendapatkan teror dan pimpinan KPK dan me nambah personel pengamanan.
“Mempersenjatai personel KPK untuk perlindungan saya kira wajar. Dalam konteks ini bisa diberikan ke KPK atau penyidik atau siapa pun yang bisa memegang itu. Karena di senjata di kita (Indonesia) ini kan diperbolehkan, yang tentu sesuai dengan proses, izin, syarat, dan ketentuan yang berlaku. Jadi, tidak masalah itu (senjata) untuk perlindungan fisik. Kebutuhan itu nyata adanya,” tandasnya.
Ketua Program Magister Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah ini mengatakan, langkah mitigasi risiko lainnya adalah perbaikan sistem pengamanan dan menambah personel pengamanan yang melekat bagi personel KPK.
Baik pengamanan terbuka maupun pengamanan tidak terbuka. Muslimin berpandangan, tambahan personel pengamanan bisa berasal dari Polri dan TNI. “Pengamanan tertutup itu harus diperbanyak. KPK bisa meminta dari TNI atau Polri. Kalau personel TNI, tentu personel yang relevan dan mem punyai keterampilan yang spesifik. Misalnya, satu orang (personel TNI) bisa menangani 10 orang ketika terjadi teror. Jadi, kerja sama KPK dengan TNI dan Polri bisa diaktifkan kembali,” ujarnya. Kedua, Menurut Muslimin, teror penyerangan terhadap dua pimpinan KPK dan teror-teror sebelumnya hakikatnya merupakan teror kepada penegak hukum.
Dengan sendirinya, teror seperti itu telah terjadi teror kepada negara. Karena penegak hukum adalah bagian dari aparatur negara. Karena itu, teror terbaru ke dua pimpinan KPK tidak boleh dianggap remeh dan sepele. “Jadi, tidak bisa dianggap ecek-ecek, tapi sesuatu yang sangat serius. Karena itu, terlepas siapa pun yang melakukannya maka agar diusut secara tuntas dan diselesaikan secara mekanisme hukum yang transparan. Agar tidak menimbulkan spekulasispekulasi yang liar,” ujarnya.
Ketiga, teror terhadap dua pimpinan KPK menunjukkan betapa pentingnya penyelesaian teror-teror yang terjadi sebelumnya yang masih menggantung, termasuk kasus penyerangan dengan penyiraman air keras terhadap penyidik senior KPK Novel Baswedan.
“Karena kalau tidak selesai maka bisa dikatakan bahwa negara tidak sensitif dengan pelemahan atau penghancuran KPK,” tandasnya. (Sabir Laluhu)
Juru Bicara KPK Febri Diansyah menyatakan, KPK secara lembaga menyikapi secara serius teror penyerangan yang terjadi di rumah Ketua KPK Agus Rahardjo dan Wakil Ketua KPK Laode Muhamad Syarif serta teror-teror sebelumnya yang menimpa personel-personel maupun Gedung KPK. Di internal KPK, langsung di bicarakan dan dilakukan ber bagai langkah terkait dengan mitigasi risiko keamanan. Mitigasi ini, ungkap Febri, termasuk di dalamnya memperkuat aspek keamanan dan pengamanan terhadap para personel yang berpotensi memiliki risiko penyerangan dan pimpinan KPK.
Salah satu langkah untuk mitigasi tersebut, lanjutnya, memang sempat dibahas di internal KPK tentang rencana dan upaya mempersenjatai sejumlah personel yang rentan dan berpotensi mendapat teror.
Selain rencana penambahan personel pengamanan, termasuk meminta dari Polri. Dia mengakui, rencana mempersenjatai personel KPK tersebut sempat diutarakan pekan lalu oleh Ketua KPK Agus Rahardjo. “Persenjataan secara internal di KPK artinya melalui pengaturan di KPK. Selain pengaturan di internal, artinya juga kami harus ber koordinasi dengan Polri karena izin penggunaan senjata tetap berada pada Polri. Jadi, kalau dibutuhkan penambahan personel pengamanan, kami juga akan berkoordinasi dengan Polri. Misalnya untuk lima pimpinan KPK atau pengamanan yang lain. Sesuai deng an kebutuhan,” ungkap Febri di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, kemarin.
Mantan pegawai fungsional pada Direktorat Gratifikasi KPK ini mengatakan, koordinasi dengan Polri terus dilakukan guna mengantisipasi berbagai potensi teror lainnya yang bisa saja terjadi. Langkah koordinasi juga dilakukan sehubungan deng an investigasi, olah tempat kejadian perkara (TKP), mau pun informasi lain terkait dengan teror penyerangan di rumah dua pimpinan KPK. “Jadi, pimpinan juga sudah menugaskan sejumlah pegawai KPK untuk menjadi tim koordinasi dan memberikan dukungan informasi kepada tim Polri terkait kejadian di dua rumah pimpinan KPK. Tim ini ada unsur-unsur dari penindakan kemudian unsur pengawas internal, biro hukum, dan pegawai lain di KPK,” ujarnya.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo mengatakan, kepolisian tengah mengkaji wacana tersebut. “Kalau itu (dipersenjatai senpi) dibutuhkan KPK, polisi dalam hal ini akan melakukan pengkajian, kalau perlu diizinkan ya enggak papa (membawa senjata api),” kata Dedi. Menurut dia, selama ini aparat kepolisian juga telah memberikan pengawalan kepada petugas KPK saat melakukan penindakan hukum.
“Kan anggota kepolisian melakukan pengawalan kepada pimpinan KPK, apalagi (penyidik) KPK (saat) melakukan penegakan hukum, selalu kami kawal juga,” ujarnya.
Pakar hukum pidana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta JM Muslimin menilai, ada tiga hal yang perlu dilihat atas teror penyerangan di dua rumah pimpinan KPK dan teror-teror sebelumnya terhadap para pegawai maupun KPK secara lembaga.
Pertama, mematangkan mitigasi risiko dan keamanan. Dalam mitigasi ini," ujarnya, ada dua aspek yang perlu diperhatikan. Masing-masing mempersenjatai para personel KPK yang rentang mendapatkan teror dan pimpinan KPK dan me nambah personel pengamanan.
“Mempersenjatai personel KPK untuk perlindungan saya kira wajar. Dalam konteks ini bisa diberikan ke KPK atau penyidik atau siapa pun yang bisa memegang itu. Karena di senjata di kita (Indonesia) ini kan diperbolehkan, yang tentu sesuai dengan proses, izin, syarat, dan ketentuan yang berlaku. Jadi, tidak masalah itu (senjata) untuk perlindungan fisik. Kebutuhan itu nyata adanya,” tandasnya.
Ketua Program Magister Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah ini mengatakan, langkah mitigasi risiko lainnya adalah perbaikan sistem pengamanan dan menambah personel pengamanan yang melekat bagi personel KPK.
Baik pengamanan terbuka maupun pengamanan tidak terbuka. Muslimin berpandangan, tambahan personel pengamanan bisa berasal dari Polri dan TNI. “Pengamanan tertutup itu harus diperbanyak. KPK bisa meminta dari TNI atau Polri. Kalau personel TNI, tentu personel yang relevan dan mem punyai keterampilan yang spesifik. Misalnya, satu orang (personel TNI) bisa menangani 10 orang ketika terjadi teror. Jadi, kerja sama KPK dengan TNI dan Polri bisa diaktifkan kembali,” ujarnya. Kedua, Menurut Muslimin, teror penyerangan terhadap dua pimpinan KPK dan teror-teror sebelumnya hakikatnya merupakan teror kepada penegak hukum.
Dengan sendirinya, teror seperti itu telah terjadi teror kepada negara. Karena penegak hukum adalah bagian dari aparatur negara. Karena itu, teror terbaru ke dua pimpinan KPK tidak boleh dianggap remeh dan sepele. “Jadi, tidak bisa dianggap ecek-ecek, tapi sesuatu yang sangat serius. Karena itu, terlepas siapa pun yang melakukannya maka agar diusut secara tuntas dan diselesaikan secara mekanisme hukum yang transparan. Agar tidak menimbulkan spekulasispekulasi yang liar,” ujarnya.
Ketiga, teror terhadap dua pimpinan KPK menunjukkan betapa pentingnya penyelesaian teror-teror yang terjadi sebelumnya yang masih menggantung, termasuk kasus penyerangan dengan penyiraman air keras terhadap penyidik senior KPK Novel Baswedan.
“Karena kalau tidak selesai maka bisa dikatakan bahwa negara tidak sensitif dengan pelemahan atau penghancuran KPK,” tandasnya. (Sabir Laluhu)
(nfl)