Hoaks Pengaruhi Kepercayaan Publik terhadap Netralitas Pemilu
A
A
A
JAKARTA - Maraknya berita bohong atau hoaks dinilai dapat memengaruhi kepercayaan publik terhadap integritas serta netralitas Pemilu dan Pilpres 2019.
Selain itu, hoaks juga berpengaruh terhadap masya rakat dan kelompok sehingga bisa memicu konflik sosial. “Mestinya dalam tahapan pe milu yang sedang berlangsung ini, peserta pemilu, KPU dan Bawaslu harus memproduksi hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan pemilih, sebagai bentuk kanalisasi terhadap berita hoaks,” kata Manajer Pemantauan Seknas Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPRR) Alwan Ola Riantoby kemarin.
Alwan menduga, penyebaran hoaks jelang pilpres ini merupakan gerakan sistematis. Ini terlihat dari rentetan berita bohong yang muncul sepanjang masa kampanye Pemilu 2019.
“Bisa jadi ini gerakan sistematis karena m elihat dari rentetan sebelumnya. Nah, khawatirnya adalah jangan sampai menyebarkan berita hoaks menjadi suatu metode kampanye untuk men dulang suara pasangan calon tertentu. Nah, ini akan merusak, “ tegasnya.
Untuk itu, Alwan menyarankan, penyebab munculnya hoaks harus diidentifikasi sumbernya sebab kebanyakan berita bohong muncul dari para oknum relawan pasangan calon yang tidak bertanggung jawab. “Selain itu, daya konsumsi media sosial masyarakat Indonesia masih sangat tinggi dan masih belum bisa membedakan mana berita benar dan berita hoaks,” pungkasnya.
Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo mengatakan, hoaks cukup banyak menjelang perhelatan Pilpres 2019. Data di kepolisian memperlihatkan ada ribuan hoaks beredar di media sosial setiap hari.
Dia membandingkan hoaks tersebut dengan yang terjadi ketika bencana gempa dan tsunami di Sulawesi Tengah. Ketika itu ada 14 hoaks yang terpantau cukup parah. “Setiap hari ribuan hoaks,” katanya.
Melihat tren saat ini, Dedi memprediksi hoaks tersebut akan semakin banyak hingga masa pemungutan suara pada April 2019. Untuk itu, polisi bakal meredamnya dengan mem berikan literasi digital kepada masyarakat. Selain itu, mereka juga mendekati berbagai elemen masyarakat untuk mencegah berita bohong ini.
Langkah tersebut penting agar hoaks tak menjadi hal yang dianggap lazim di masyarakat. Sebelumnya survei Polmark Indonesia menunjukkan hoaks menjadi ancaman yang cukup serius. Setidaknya 60,8% pemilih menyatakan pernah menemukan informasi bohong dan fitnah di media sosial.
Dari jumlah tersebut, 21,2% pemilih sering menemukan hoaks dan fitnah di media sosial. Adapun 39,6% lainnya menyatakan jarang menemukan hal serupa. Kondisi ini kemudian diperparah oleh para aktor dan partai politik yang abai atas berkembangnya politik identitas dan hoaks yang tersebar di masyarakat. (M Yamin/Okezone)
Selain itu, hoaks juga berpengaruh terhadap masya rakat dan kelompok sehingga bisa memicu konflik sosial. “Mestinya dalam tahapan pe milu yang sedang berlangsung ini, peserta pemilu, KPU dan Bawaslu harus memproduksi hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan pemilih, sebagai bentuk kanalisasi terhadap berita hoaks,” kata Manajer Pemantauan Seknas Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPRR) Alwan Ola Riantoby kemarin.
Alwan menduga, penyebaran hoaks jelang pilpres ini merupakan gerakan sistematis. Ini terlihat dari rentetan berita bohong yang muncul sepanjang masa kampanye Pemilu 2019.
“Bisa jadi ini gerakan sistematis karena m elihat dari rentetan sebelumnya. Nah, khawatirnya adalah jangan sampai menyebarkan berita hoaks menjadi suatu metode kampanye untuk men dulang suara pasangan calon tertentu. Nah, ini akan merusak, “ tegasnya.
Untuk itu, Alwan menyarankan, penyebab munculnya hoaks harus diidentifikasi sumbernya sebab kebanyakan berita bohong muncul dari para oknum relawan pasangan calon yang tidak bertanggung jawab. “Selain itu, daya konsumsi media sosial masyarakat Indonesia masih sangat tinggi dan masih belum bisa membedakan mana berita benar dan berita hoaks,” pungkasnya.
Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo mengatakan, hoaks cukup banyak menjelang perhelatan Pilpres 2019. Data di kepolisian memperlihatkan ada ribuan hoaks beredar di media sosial setiap hari.
Dia membandingkan hoaks tersebut dengan yang terjadi ketika bencana gempa dan tsunami di Sulawesi Tengah. Ketika itu ada 14 hoaks yang terpantau cukup parah. “Setiap hari ribuan hoaks,” katanya.
Melihat tren saat ini, Dedi memprediksi hoaks tersebut akan semakin banyak hingga masa pemungutan suara pada April 2019. Untuk itu, polisi bakal meredamnya dengan mem berikan literasi digital kepada masyarakat. Selain itu, mereka juga mendekati berbagai elemen masyarakat untuk mencegah berita bohong ini.
Langkah tersebut penting agar hoaks tak menjadi hal yang dianggap lazim di masyarakat. Sebelumnya survei Polmark Indonesia menunjukkan hoaks menjadi ancaman yang cukup serius. Setidaknya 60,8% pemilih menyatakan pernah menemukan informasi bohong dan fitnah di media sosial.
Dari jumlah tersebut, 21,2% pemilih sering menemukan hoaks dan fitnah di media sosial. Adapun 39,6% lainnya menyatakan jarang menemukan hal serupa. Kondisi ini kemudian diperparah oleh para aktor dan partai politik yang abai atas berkembangnya politik identitas dan hoaks yang tersebar di masyarakat. (M Yamin/Okezone)
(nfl)