Menjaga DPT, Menegakkan Kualitas Pemilu
A
A
A
PEMILU 2019 menjadi ujian berat bagi perjalanan demokrasi di Indonesia. Betapa tidak, untuk pertama kalinya pesta demokrasi ini akan menggabungkan pemilu presiden (pilpres) dan pemilu legislatif (pileg) dalam satu waktu.
Pemilu 2019 juga cukup rentan dari sisi keamanan mengingat terjadi rematch antara Joko Widodo dan Prabowo Subianto yang kembali berhadapan sebagai calon presiden. Mengingat hal itu, Pemilu 2019 mempunyai titik-titik krusial yang harus diantisipasi oleh semua pihak agar tidak menjadi bibit sengketa yang mengarah pada perpecahan anak bangsa.
Salah satu titik krusial yang harus diselesaikan dengan jujur adalah penetapan daftar pemilih tetap (DPT) Pemilu 2019. Penetapan DPT 2019 oleh KPU pada 5 September 2018 ternyata tidak diterima begitu saja oleh para peserta pemilu.
Para sekjen parpol pendukung pasangan Prabowo-Sandi misalnya menduga DPT rilisan KPU tidak valid karena ada dugaan data ganda maupun belum terakomodirnya calon pemilih baru dalam DPT. KPU pun akhirnya membuka kesempatan untuk perbaikan sehingga muncul DPT Hasil Perbaikan Tahap I dan DPT Hasil Perbaikan Tahap II.
“Persoalan DPT ini merupakan persoalan lama yang terus muncul dalam setiap ajang pemilu baik di level daerah atau nasional. Secara politik isu validitas DPT memang sangat seksi untuk dipolitisasi,” ujar pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro dalam suatu kesempatan diskusi terkait persiapan pelaksanaan Pemilu 2019 di Jakarta beberapa waktu lalu. Dia menjelaskan, isu DPT seolah menjadi isu yang terus dilontarkan elite politik jelang pemilu. Jika isu DPT muncul satu atau dua kali, mungkin merupakan bentuk kewajaran.
Namun, bila selalu muncul dalam setiap pemilu, bisa jadi hal tersebut merupakan satu bentuk kesengajaan untuk tujuan tertentu. “Jika setiap pemilu dan pilkada ditemui kendala, maka patut dicurigai ada unsur kesengajaan. Jadi memang ada kesengajaan by design,” katanya.
Siti Zuhroh menilai pemerintah mempunyai kesempatan besar untuk memperbaiki basis data pemilih melalui kebijakan satu identitas (one singlet identity). Namun, dalam proses pelaksanaan proyek untuk mewujudkan kebijakan tersebut dalam bentuk pembuatan KTP elektronik (e-KTP) ternyata menjadi skandal korupsi terbesar yang melibatkan banyak elite negeri ini. Padahal, dengan adanya one singlet identity tidak akan hanya terbangun database, tetapi juga untuk menunjukkan jumlah pemilih sebenarnya.
“Itu menjadi sangat sulit karena ternyata DPT kita dari kasus sensus penduduk yang tidak kita seriusi, lalu KTP yang panjang ceritanya karena kasus korupsi,” tutur Siti.
Ke depan, supaya tidak lagi terjadi permasalahan dalam DPT di pemilu dan pilkada mendatang, Siti mengatakan harus ada keseriusan dari seluruh pihak, baik penyelenggara pemilu maupun Direktorat Jenderal (Dirjen Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Selain itu, perlu juga diputus mata rantai perilaku politisasi DPT. “Perilaku distortif yang by design yang seharusnya kita mampu untuk putus mata rantainya,” katanya.
Komisi Pemilih Umum (KPU) telah menetapkan DPT Hasil Perbaikan Tahap II (DPTHPT II) Pemilu, Sabtu (15/12). Berdasarkan hasil rekapitulasi, jumlah pemilih mencapai 192.828.520 orang yang terdiri atas 96.271.476 laki-laki dan 96.557.044 perempuan.
Jumlah pemilih dalam negeri berasal dari hasil rekapitulasi di 514 kabupaten/kota dan 34 provinsi. Hasil rekapitulasi menunjukkan jumlah pemilih dalam negeri sebanyak 190.770.329 orang dengan rincian pemilih laki-laki 95.368.349 dan perempuan 95.401.980. Selain itu, jumlah tempat pemungutan suara (TPS) sebanyak 809.500.
Sementara untuk luar negeri terdapat pemilih sebanyak 2.058.191 orang yang terdiri atas 1.155.464 pemilih perempuan dan 902.727 laki-laki. KPU telah menetapkan DPT Pemilu 2019 sebanyak dua kali. Penetapan pertama dilakukan 5 September 2018 dengan data 185.732.093 pemilih.
Namun, dari jumlah tersebut, disinyalir masih terdapat data pemilih ganda sehingga disepakati penyempurnaan DPT selama 10 hari untuk membersihkan data ganda, yaitu hingga 16 September 2018. Pada tanggal tersebut, jumlah DPT berkurang menjadi 185.084.629 pemilih. Dalam waktu tersebut ternyata data ganda masih belum sepenuhnya dibersihkan sehingga disepakati untuk kembali dilakukan penyempurnaan DPT selama kurun waktu 60 hari, yaitu hingga 15 November 2018.
Hasilnya, KPU menghimpun data pemilih sementara berjumlah 189.144.900 pemilih. Data itu dihimpun dari 34 provinsi, yaitu 28 provinsi menggunakan data hasil pemutakhiran pasca- DPT Hasil Perbaikan I dan enam provinsi lainnya menggunakan data existing (data lama hasil DPT Hasil Perbaikan I).
Lantaran masih ada KPU provinsi yang masih belum selesai melakukan pemutakhiran, maka dilakukan perpanjangan waktu 30 hari atau 15 Desember 2018, proses penyempurnaan. “Kami terus membuka diri bagi siapa pun yang memberikan masukan dan catatan tentang DPT. Kami berharap bahwa DPT untuk Pemilu 2019 benar-benar berkualitas,” ujar Ketua KPU Arief Budiman di Jakarta.
Dia mengatakan, KPU berkomitmen menyelenggarakan pemilu yang bersih sehingga masukan terkait basis pemilih akan diterima dengan tangan terbuka. Salah satu contohnya ada proses perbaikan DPT hingga dua tahap yang merupakan bentuk respons nyata KPU terhadap masukan masyarakat.
“Kami juga membuka diri terhadap elemen masyarakat yang ingin mendapatkan informasi terkait detail penyusunan DPT. Kami bersedia memberikan data tersebut sepanjang informasinya, bukan atau tidak dalam kategori yang dikecualikan,” ucapnya.
Komisioner KPU Viryan Azis mengungkapkan, basis data dalam penyusunan DPT Pemilu 2019 adalah DPT Pilkada terakhir yang dikombinasikan dengan Daftar Penduduk Potensial Pemilih (DP4) secara terbatas. “DP4 memang mengandung masalah, namun kami menggunakannya secara terbatas. Namun, basis utama penyusunan daftar pemilih adalah DPT pemilu atau pilkada terakhir. Hal itu merupakan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017,” katanya.
Viryan mengungkapkan, DP4 dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menjadi salah satu pemicu ada data ganda dalam DPT. Hal itu diketahui setelah sedikitnya 500.000 personel KPU turun ke lapangan untuk melakukan verifikasi.
“Mengapa NIK dan KTP elektronik ganda bisa menjadi sumber kontribusi terhadap data ganda? Ini karena kami 500.000 orang yang terlibat dalam pemutakhiran data pemilih di lapangan pada Januari dan April PPDP dan Pantarlih itu datang dari rumah ke rumah,” ungkapnya.
Berdasarkan data dari DP4 Pemilu 2019, disebutkan jumlah DP4 196 juta dengan posisi itu, maka ada belasan juta pemilih yang sekarang belum masuk DPT. Mengapa belum masuk dalam DPT? Karena, belum memiliki e-KTP atau memiliki surat keterangan (Suket). Mayoritas dari mereka adalah para pemilih pemula. “Jadi bukan kita tak ingin menggunakan DP4. DP4 kami gunakan secara profesional, namun dari DP4 itu sendiri tidak semua memiliki KTP elektronik,“ jelasnya.
Sementara itu, Direktur Jenderal (Dirjen) Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemenddagri) Zudan Arif Fakrulloh mengatakan bahwa dalam penyusunan DPT pihaknya hanya melakukan sesuai dengan apa yang diperintahkan undang-undang (UU). Dia mengatakan, sebagaimana yang diatur dalam UU Pemilu, tugas Kemendagri adalah melakukan penyusunan daftar penduduk pemilih potensial pemilu (DP4).
“Kriteria masuk DP4 adalah sudah 17 tahun atau belum 17 tahun, tapi sudah menikah. Lalu juga bukan TNI/Polri. Itulah di antaranya yang kita susun. Sampai dengan tanggal pencoblosan jumlah DPT-nya ada 196 juta. Data ini kami serahkan kepada KPU,” ungkapnya.
Pemutakhiran Data
Zudan mengatakan, di dalam UU disebutkan bahwa DP4 ini akan disandingkan dengan Daftar Pemilih Tetap (DPT) pemilu/pilkada sebelumnya. Tetapi, memang KPU telah mengeluarkan peraturan bahwa DP4 tidak disandingkan dengan DPT pemilu sebelumnya, tapi menjadi rujukan untuk pemilih pemula. “Nah, itulah yang dikerjakan KPU melalui coklit. Tapi, tetap setiap enam bulan kami berikan data kependudukan bersih. Ini untuk dijadikan dasar pemutakhiran berkelanjutan. Itulah kewenangan Kemendagri,” ujarnya.
Dia mengatakan bahwa komunikasi antara Kemendagri dan KPU berjalan baik. Dia menyebut saat rapat berkaitan data pemilih jajarannya juga dilibatkan, termasuk juga dalam proses teknik DPT perbaikan. “Kita melakukan analisis terhadap DPT. Biasanya kita tunjukan berapa juta yang sudah perekaman, tapi belum ada di DPT. Lalu, berapa data ganda ataupun NIK (nomor induk kependudukan) ganda. Kalau ditemukan NIK kosong, kita juga tunjukan,” ungkap Zudan.
Zudan menyebut bahwa hal tersebut merupakan dukungan agar KPU bisa menyem purnakan DPT. Menurutnya, itu pun tergantung KPU apakah mau menerima masukan Dukcapil atau tidak. Meski begitu, dia sebenarnya berharap mendapat respons KPU terkait masukan-masukan Ditjen Dukcapil terkait data pemilih.
“Saya belum dapat penjelasan resmi dari KPU. Baru dengar-dengar dari TV saja. Saya akan senang bila ada penjelasan resmi menjawab surat kami,” kata dia. Lebih lanjut dia menegaskan bahwa persoalan e-KTP yang terjadi akhir-akhir ini tidak ada sangkut pautnya dengan DPT.
Dia mengatakan bahwa sesungguhnya kasus ini bukanlah yang rumit. “Ya, karena semua ini kasusnya pidana semua. Pemalsuan e-KTP itu pidana. Termasuk juga membuang e-KTP, pembuangan blangko, penjualan blangko e-KTP online itu pidana. Dan, ini Dukcapil jadi korban. Kami sedang dijahati orang dengan objek Dukcapil. Dan, semua itu kejahatan fisik. Sementara secara sistem dan database aman, tidak jebol, ataupun bocor,” ucapnya.
Menanggapi ada keraguan terhadap DPT karena berbagai insiden yang sebelumnya terjadi, Zudan secara tegas siap memberikan penjelasan kepada kubu-kubu pasangan yang tengah mencalonkan diri. Dia menegaskan tidak ada campur tangan Kemendagri dalam penyusunan DPT. “Kita diundang oleh dua kubu pasangan calon kita akan paparan. Kita terbuka menerima masukan ataupun memberi masukan. Silakan jika diundang atau ada yang datang pasti akan kami jelaskan,” katanya. (Mula Akmal/Dita Angga/Abdul Rochim)
Pemilu 2019 juga cukup rentan dari sisi keamanan mengingat terjadi rematch antara Joko Widodo dan Prabowo Subianto yang kembali berhadapan sebagai calon presiden. Mengingat hal itu, Pemilu 2019 mempunyai titik-titik krusial yang harus diantisipasi oleh semua pihak agar tidak menjadi bibit sengketa yang mengarah pada perpecahan anak bangsa.
Salah satu titik krusial yang harus diselesaikan dengan jujur adalah penetapan daftar pemilih tetap (DPT) Pemilu 2019. Penetapan DPT 2019 oleh KPU pada 5 September 2018 ternyata tidak diterima begitu saja oleh para peserta pemilu.
Para sekjen parpol pendukung pasangan Prabowo-Sandi misalnya menduga DPT rilisan KPU tidak valid karena ada dugaan data ganda maupun belum terakomodirnya calon pemilih baru dalam DPT. KPU pun akhirnya membuka kesempatan untuk perbaikan sehingga muncul DPT Hasil Perbaikan Tahap I dan DPT Hasil Perbaikan Tahap II.
“Persoalan DPT ini merupakan persoalan lama yang terus muncul dalam setiap ajang pemilu baik di level daerah atau nasional. Secara politik isu validitas DPT memang sangat seksi untuk dipolitisasi,” ujar pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro dalam suatu kesempatan diskusi terkait persiapan pelaksanaan Pemilu 2019 di Jakarta beberapa waktu lalu. Dia menjelaskan, isu DPT seolah menjadi isu yang terus dilontarkan elite politik jelang pemilu. Jika isu DPT muncul satu atau dua kali, mungkin merupakan bentuk kewajaran.
Namun, bila selalu muncul dalam setiap pemilu, bisa jadi hal tersebut merupakan satu bentuk kesengajaan untuk tujuan tertentu. “Jika setiap pemilu dan pilkada ditemui kendala, maka patut dicurigai ada unsur kesengajaan. Jadi memang ada kesengajaan by design,” katanya.
Siti Zuhroh menilai pemerintah mempunyai kesempatan besar untuk memperbaiki basis data pemilih melalui kebijakan satu identitas (one singlet identity). Namun, dalam proses pelaksanaan proyek untuk mewujudkan kebijakan tersebut dalam bentuk pembuatan KTP elektronik (e-KTP) ternyata menjadi skandal korupsi terbesar yang melibatkan banyak elite negeri ini. Padahal, dengan adanya one singlet identity tidak akan hanya terbangun database, tetapi juga untuk menunjukkan jumlah pemilih sebenarnya.
“Itu menjadi sangat sulit karena ternyata DPT kita dari kasus sensus penduduk yang tidak kita seriusi, lalu KTP yang panjang ceritanya karena kasus korupsi,” tutur Siti.
Ke depan, supaya tidak lagi terjadi permasalahan dalam DPT di pemilu dan pilkada mendatang, Siti mengatakan harus ada keseriusan dari seluruh pihak, baik penyelenggara pemilu maupun Direktorat Jenderal (Dirjen Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Selain itu, perlu juga diputus mata rantai perilaku politisasi DPT. “Perilaku distortif yang by design yang seharusnya kita mampu untuk putus mata rantainya,” katanya.
Komisi Pemilih Umum (KPU) telah menetapkan DPT Hasil Perbaikan Tahap II (DPTHPT II) Pemilu, Sabtu (15/12). Berdasarkan hasil rekapitulasi, jumlah pemilih mencapai 192.828.520 orang yang terdiri atas 96.271.476 laki-laki dan 96.557.044 perempuan.
Jumlah pemilih dalam negeri berasal dari hasil rekapitulasi di 514 kabupaten/kota dan 34 provinsi. Hasil rekapitulasi menunjukkan jumlah pemilih dalam negeri sebanyak 190.770.329 orang dengan rincian pemilih laki-laki 95.368.349 dan perempuan 95.401.980. Selain itu, jumlah tempat pemungutan suara (TPS) sebanyak 809.500.
Sementara untuk luar negeri terdapat pemilih sebanyak 2.058.191 orang yang terdiri atas 1.155.464 pemilih perempuan dan 902.727 laki-laki. KPU telah menetapkan DPT Pemilu 2019 sebanyak dua kali. Penetapan pertama dilakukan 5 September 2018 dengan data 185.732.093 pemilih.
Namun, dari jumlah tersebut, disinyalir masih terdapat data pemilih ganda sehingga disepakati penyempurnaan DPT selama 10 hari untuk membersihkan data ganda, yaitu hingga 16 September 2018. Pada tanggal tersebut, jumlah DPT berkurang menjadi 185.084.629 pemilih. Dalam waktu tersebut ternyata data ganda masih belum sepenuhnya dibersihkan sehingga disepakati untuk kembali dilakukan penyempurnaan DPT selama kurun waktu 60 hari, yaitu hingga 15 November 2018.
Hasilnya, KPU menghimpun data pemilih sementara berjumlah 189.144.900 pemilih. Data itu dihimpun dari 34 provinsi, yaitu 28 provinsi menggunakan data hasil pemutakhiran pasca- DPT Hasil Perbaikan I dan enam provinsi lainnya menggunakan data existing (data lama hasil DPT Hasil Perbaikan I).
Lantaran masih ada KPU provinsi yang masih belum selesai melakukan pemutakhiran, maka dilakukan perpanjangan waktu 30 hari atau 15 Desember 2018, proses penyempurnaan. “Kami terus membuka diri bagi siapa pun yang memberikan masukan dan catatan tentang DPT. Kami berharap bahwa DPT untuk Pemilu 2019 benar-benar berkualitas,” ujar Ketua KPU Arief Budiman di Jakarta.
Dia mengatakan, KPU berkomitmen menyelenggarakan pemilu yang bersih sehingga masukan terkait basis pemilih akan diterima dengan tangan terbuka. Salah satu contohnya ada proses perbaikan DPT hingga dua tahap yang merupakan bentuk respons nyata KPU terhadap masukan masyarakat.
“Kami juga membuka diri terhadap elemen masyarakat yang ingin mendapatkan informasi terkait detail penyusunan DPT. Kami bersedia memberikan data tersebut sepanjang informasinya, bukan atau tidak dalam kategori yang dikecualikan,” ucapnya.
Komisioner KPU Viryan Azis mengungkapkan, basis data dalam penyusunan DPT Pemilu 2019 adalah DPT Pilkada terakhir yang dikombinasikan dengan Daftar Penduduk Potensial Pemilih (DP4) secara terbatas. “DP4 memang mengandung masalah, namun kami menggunakannya secara terbatas. Namun, basis utama penyusunan daftar pemilih adalah DPT pemilu atau pilkada terakhir. Hal itu merupakan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017,” katanya.
Viryan mengungkapkan, DP4 dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menjadi salah satu pemicu ada data ganda dalam DPT. Hal itu diketahui setelah sedikitnya 500.000 personel KPU turun ke lapangan untuk melakukan verifikasi.
“Mengapa NIK dan KTP elektronik ganda bisa menjadi sumber kontribusi terhadap data ganda? Ini karena kami 500.000 orang yang terlibat dalam pemutakhiran data pemilih di lapangan pada Januari dan April PPDP dan Pantarlih itu datang dari rumah ke rumah,” ungkapnya.
Berdasarkan data dari DP4 Pemilu 2019, disebutkan jumlah DP4 196 juta dengan posisi itu, maka ada belasan juta pemilih yang sekarang belum masuk DPT. Mengapa belum masuk dalam DPT? Karena, belum memiliki e-KTP atau memiliki surat keterangan (Suket). Mayoritas dari mereka adalah para pemilih pemula. “Jadi bukan kita tak ingin menggunakan DP4. DP4 kami gunakan secara profesional, namun dari DP4 itu sendiri tidak semua memiliki KTP elektronik,“ jelasnya.
Sementara itu, Direktur Jenderal (Dirjen) Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemenddagri) Zudan Arif Fakrulloh mengatakan bahwa dalam penyusunan DPT pihaknya hanya melakukan sesuai dengan apa yang diperintahkan undang-undang (UU). Dia mengatakan, sebagaimana yang diatur dalam UU Pemilu, tugas Kemendagri adalah melakukan penyusunan daftar penduduk pemilih potensial pemilu (DP4).
“Kriteria masuk DP4 adalah sudah 17 tahun atau belum 17 tahun, tapi sudah menikah. Lalu juga bukan TNI/Polri. Itulah di antaranya yang kita susun. Sampai dengan tanggal pencoblosan jumlah DPT-nya ada 196 juta. Data ini kami serahkan kepada KPU,” ungkapnya.
Pemutakhiran Data
Zudan mengatakan, di dalam UU disebutkan bahwa DP4 ini akan disandingkan dengan Daftar Pemilih Tetap (DPT) pemilu/pilkada sebelumnya. Tetapi, memang KPU telah mengeluarkan peraturan bahwa DP4 tidak disandingkan dengan DPT pemilu sebelumnya, tapi menjadi rujukan untuk pemilih pemula. “Nah, itulah yang dikerjakan KPU melalui coklit. Tapi, tetap setiap enam bulan kami berikan data kependudukan bersih. Ini untuk dijadikan dasar pemutakhiran berkelanjutan. Itulah kewenangan Kemendagri,” ujarnya.
Dia mengatakan bahwa komunikasi antara Kemendagri dan KPU berjalan baik. Dia menyebut saat rapat berkaitan data pemilih jajarannya juga dilibatkan, termasuk juga dalam proses teknik DPT perbaikan. “Kita melakukan analisis terhadap DPT. Biasanya kita tunjukan berapa juta yang sudah perekaman, tapi belum ada di DPT. Lalu, berapa data ganda ataupun NIK (nomor induk kependudukan) ganda. Kalau ditemukan NIK kosong, kita juga tunjukan,” ungkap Zudan.
Zudan menyebut bahwa hal tersebut merupakan dukungan agar KPU bisa menyem purnakan DPT. Menurutnya, itu pun tergantung KPU apakah mau menerima masukan Dukcapil atau tidak. Meski begitu, dia sebenarnya berharap mendapat respons KPU terkait masukan-masukan Ditjen Dukcapil terkait data pemilih.
“Saya belum dapat penjelasan resmi dari KPU. Baru dengar-dengar dari TV saja. Saya akan senang bila ada penjelasan resmi menjawab surat kami,” kata dia. Lebih lanjut dia menegaskan bahwa persoalan e-KTP yang terjadi akhir-akhir ini tidak ada sangkut pautnya dengan DPT.
Dia mengatakan bahwa sesungguhnya kasus ini bukanlah yang rumit. “Ya, karena semua ini kasusnya pidana semua. Pemalsuan e-KTP itu pidana. Termasuk juga membuang e-KTP, pembuangan blangko, penjualan blangko e-KTP online itu pidana. Dan, ini Dukcapil jadi korban. Kami sedang dijahati orang dengan objek Dukcapil. Dan, semua itu kejahatan fisik. Sementara secara sistem dan database aman, tidak jebol, ataupun bocor,” ucapnya.
Menanggapi ada keraguan terhadap DPT karena berbagai insiden yang sebelumnya terjadi, Zudan secara tegas siap memberikan penjelasan kepada kubu-kubu pasangan yang tengah mencalonkan diri. Dia menegaskan tidak ada campur tangan Kemendagri dalam penyusunan DPT. “Kita diundang oleh dua kubu pasangan calon kita akan paparan. Kita terbuka menerima masukan ataupun memberi masukan. Silakan jika diundang atau ada yang datang pasti akan kami jelaskan,” katanya. (Mula Akmal/Dita Angga/Abdul Rochim)
(nfl)