ASEAN Harus Kerja Sama Kendalikan Perubahan Iklim
A
A
A
JAKARTA - Negara anggota ASEAN terus memperkuat kerja sama dalam adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Hal ini penting mengingat ASEAN bisa memberi dampak besar dalam upaya menjaga suhu bumi tidak naik lebih dari 2 derajat dari masa pra revolusi industri seperti tertuang dalam traktat global, Persetujuan Paris.
Di sisi lain, wilayah ASEAN juga sejatinya rentan menerima dampak negatif perubahan iklim. Hal ini terungkap saat sesi diskusi panel yang digelar di Paviliun Indonesia pada Konferensi Perubahan Iklim (COP UNFCCC) di Katowice, Polandia, Selasa (4/12/2018) waktu setempat.
Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Ruandha Agung Sugardiman menyatakan, kerja sama antara negara ASEAN sangat diperlukan karena berada di wilayah bertetangga serta memiliki banyak persamaan.
“Jika kita bekerja sama, ASEAN bisa berkontribusi hingga 5,49% dari penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) dunia,” ujar Ruandha dalam siaran persnya yang diterima SINDOnews, Rabu (5/12/2018).
Untuk memperkuat kerja sama antar negara anggota, telah dibentuk kelompok kerja ASEAN untuk perubahan iklim (AWGCC). Di sana, negara ASEAN saling berbagi pengetahuan dan pengalaman untuk meningkatkan kapasitas pengendalain perubahan iklim.
Ruandha menekankan, kerja sama antar negara ASEAN sangat penting mengingat setiap negara memiliki perkembangan berbeda dalam mencapai target pengurangan emisi GRK. “Kerja sama diharapkan bisa mempercepat pencapaian target pengurangan emisi negara ASEAN,” kata dia.
Sementara itu, Direktur Mitigasi Perubahan Iklim KLHK Emma Rachmawaty mengungkapkan, dalam dokumen kontribusi nasional yang diniatkan (National Determined Contribution/NDC) Indonesia menargetkan untuk mengurangi emisi GRK sebanyak 29% pada tahun 2030 atau mencapai 41% dengan dukungan internasional.
Pencapaian target tersebut didukung oleh sejumlah sektor dengan sektor energi dan kehutanan menjadi kontributor terbesar, masing-masing 11% dan 17,2%.
Emma menyatakan, sejumlah perangkat telah dikembangkan untuk mendukung pencapaian NDC. Termasuk perangkat MRV (pemantauan, pelaporan, dan verifikasi), sistem registri nasional, dan pembiayaan.
Kepala Program Kehutanan dan Perubahan Iklim Institut Penelitian Kehutanan Malaysia Elizabeth Philip menuturkan, Malaysia mengandalkan skema REDD plus (pengurangan emisi gas rumah kaca dari deforestasi dan degradasi) untuk mencapai NDC yang ditargetkan sebanyak 45% jika mendapat dukungan internasional.
“Implementasi REDD plus akan mendukung pencapaian NDC Malaysia, dimana pengelolaan hutan berkelanjutan memberi kontribusi terbesar,” kata Elizabeth.
Adapun Kepala Kantor Perubahan Iklim Departemen Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam Filipina Albert Altarejos Magalang menyatakan, pemerintah Filipina menekankan tentang pentingnya keadilan dalam pengendalian perubahan iklim global. Filipina menyerukan agar negara maju sebagai emiter terbesar GRK bertanggung jawab.
Sementara negara berkembang seperti Filipina, seharusnya tetap diberi kesempatan untuk membangun tanpa terikat pada pembatas emisi GRK.
Perwakilan AWGCC yang juga Deputi Direktur Program Perubahan Iklim, Badan Lingkungan Hidup Singapura, Rohaya Saharom mengingatkan pentingnya negara ASEAN bekerja sama dalam pengendalian perubahan iklim.
Menurut dia, banyak wilayah di negara ASEAN yang berada di tepi pantai yang terancam kenaikan muka air laut dampak perubahan iklim. Selain itu, perubahan iklim juga mengancam produksi pangan bagi masyarakat ASEAN.
“Saat ini wilayah ASEAN juga sudah mengalami bencana iklim seperti badai dan banjir,” kata Rohaya.
Di sisi lain, wilayah ASEAN juga sejatinya rentan menerima dampak negatif perubahan iklim. Hal ini terungkap saat sesi diskusi panel yang digelar di Paviliun Indonesia pada Konferensi Perubahan Iklim (COP UNFCCC) di Katowice, Polandia, Selasa (4/12/2018) waktu setempat.
Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Ruandha Agung Sugardiman menyatakan, kerja sama antara negara ASEAN sangat diperlukan karena berada di wilayah bertetangga serta memiliki banyak persamaan.
“Jika kita bekerja sama, ASEAN bisa berkontribusi hingga 5,49% dari penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) dunia,” ujar Ruandha dalam siaran persnya yang diterima SINDOnews, Rabu (5/12/2018).
Untuk memperkuat kerja sama antar negara anggota, telah dibentuk kelompok kerja ASEAN untuk perubahan iklim (AWGCC). Di sana, negara ASEAN saling berbagi pengetahuan dan pengalaman untuk meningkatkan kapasitas pengendalain perubahan iklim.
Ruandha menekankan, kerja sama antar negara ASEAN sangat penting mengingat setiap negara memiliki perkembangan berbeda dalam mencapai target pengurangan emisi GRK. “Kerja sama diharapkan bisa mempercepat pencapaian target pengurangan emisi negara ASEAN,” kata dia.
Sementara itu, Direktur Mitigasi Perubahan Iklim KLHK Emma Rachmawaty mengungkapkan, dalam dokumen kontribusi nasional yang diniatkan (National Determined Contribution/NDC) Indonesia menargetkan untuk mengurangi emisi GRK sebanyak 29% pada tahun 2030 atau mencapai 41% dengan dukungan internasional.
Pencapaian target tersebut didukung oleh sejumlah sektor dengan sektor energi dan kehutanan menjadi kontributor terbesar, masing-masing 11% dan 17,2%.
Emma menyatakan, sejumlah perangkat telah dikembangkan untuk mendukung pencapaian NDC. Termasuk perangkat MRV (pemantauan, pelaporan, dan verifikasi), sistem registri nasional, dan pembiayaan.
Kepala Program Kehutanan dan Perubahan Iklim Institut Penelitian Kehutanan Malaysia Elizabeth Philip menuturkan, Malaysia mengandalkan skema REDD plus (pengurangan emisi gas rumah kaca dari deforestasi dan degradasi) untuk mencapai NDC yang ditargetkan sebanyak 45% jika mendapat dukungan internasional.
“Implementasi REDD plus akan mendukung pencapaian NDC Malaysia, dimana pengelolaan hutan berkelanjutan memberi kontribusi terbesar,” kata Elizabeth.
Adapun Kepala Kantor Perubahan Iklim Departemen Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam Filipina Albert Altarejos Magalang menyatakan, pemerintah Filipina menekankan tentang pentingnya keadilan dalam pengendalian perubahan iklim global. Filipina menyerukan agar negara maju sebagai emiter terbesar GRK bertanggung jawab.
Sementara negara berkembang seperti Filipina, seharusnya tetap diberi kesempatan untuk membangun tanpa terikat pada pembatas emisi GRK.
Perwakilan AWGCC yang juga Deputi Direktur Program Perubahan Iklim, Badan Lingkungan Hidup Singapura, Rohaya Saharom mengingatkan pentingnya negara ASEAN bekerja sama dalam pengendalian perubahan iklim.
Menurut dia, banyak wilayah di negara ASEAN yang berada di tepi pantai yang terancam kenaikan muka air laut dampak perubahan iklim. Selain itu, perubahan iklim juga mengancam produksi pangan bagi masyarakat ASEAN.
“Saat ini wilayah ASEAN juga sudah mengalami bencana iklim seperti badai dan banjir,” kata Rohaya.
(thm)