Dana Desa Rawan Korupsi, ICW: 141 Kepala Desa Jadi Tersangka
A
A
A
JAKARTA - Tata kelola dana desa belum sepenuhnya bebas dari korupsi. Justru sebaliknya, tren kasus korupsi kian meningkat dari tahun ke tahun. Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat sebanyak 141 kepala desa menjadi tersangka korupsi sampai saat ini. Kerugian negara akibat perilaku koruptif itu mencapai Rp 40,6 miliar.
Peneliti ICW Egi Primayogha mengatakan sejak bergulir 2015 lalu, sudah Rp 186 triliun dana desa mengalir ke 74.954 desa. Penyaluran dana yang bersumber dari pemerintah pusat itu diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Tujuannya mengurangi jumlah penduduk miskin, mengurangi kesenjangan antara kota dengan desa dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat pedesaan.
"Namun dalam perkembangannya dana desa yang berlimpah tersebut ternyata rawan dari praktik korupsi dan ini sangat memprihatinkan," jelasnya melalui pesan elektronik yang diterima SINDOnews, Selasa (21/11/2018).
Berdasar pemantauan ICW sejak tahun 2015 hingga semester I 2018, kasus korupsi dana desa meningkat dari tahun ke tahun. Tercatat ada 181 kasus korupsi dana desa. Dengan keseluruhan tersangka sebanyak 184 orang.
Egi merinci pada 2015 hanya ada 17 kasus korupsi dana desa. Kemudian pada 2016 jumlahnya meningkat menjadi 41 kasus. Di 2017 jumlahnya melonjak lebih dari dua kali lipat menjadi 96 kasus. Sementara pada semester I tahun ini, terdapat 27 kasus yang semuanya menjadikan anggaran desa sebagai objek korupsi.
"Dari segi pelaku, kepala desa menjadi aktor korupsi terbanyak di desa," ungkapnya. Dia merinci pada 2015, 15 kepala desa menjadi tersangka. Berikutnya di 2016 jumlahnya meningkat menjadi 32 kepala desa. Pada 2017, jumlahnya meningkat lebih dari dua kali lipat menjadi 65 orang. Kemudian di semester I tahun ini sebanyak 29 orang. Sehingga totalnya 141 orang.
Egi menyebut ada beberapa area rawan korupsi dana desa. Di antaranya dapat terjadi saat proses perencanaan dan pencairan. Proses yang rawan tersebut dapat terjadi di tingkat kecamatan. Pasalnya, camat memiliki kewenangan untuk melakukan evaluasi terhadap Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (RAPBDesa).
"Sehingga potensi penyunatan anggaran atau pemerasan dapat terjadi pada tahap tersebut. Pemerasan anggaran dapat juga dilakukan oleh instansi-instansi lain, baik oleh bupati maupun dinas yang berwenang," paparnya.
ICW menyebut penyebab korupsi dana desa antara lain karena minimnya kompetensi aparat pemerintah desa. Selain itu, tidak adanya transparansi dan kurangnya pengawasan pemerintah serta masyarakat. "Ada intervensi atasan, pelaksanaan kegiatan fisik yang tidak sesuai dengan perencanaan dan adanya kultur memberi barang atau uang sebagai bentuk penghargaan atau terima kasih," ungkapnya.
ICW merekomendasi perlunya pelayanan satu pintu dalam pengurusan dan pengelolaan dana desa. Selain itu, ICW juga menyarankan proses pencairan dana desa tidak perlu ada rekomendasi camat. "Kapasitas seluruh perangkat desa dan seluruh pelaksana pembangunan di desa juga perlu ditingkatkan," tambahnya.
Peneliti ICW Egi Primayogha mengatakan sejak bergulir 2015 lalu, sudah Rp 186 triliun dana desa mengalir ke 74.954 desa. Penyaluran dana yang bersumber dari pemerintah pusat itu diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Tujuannya mengurangi jumlah penduduk miskin, mengurangi kesenjangan antara kota dengan desa dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat pedesaan.
"Namun dalam perkembangannya dana desa yang berlimpah tersebut ternyata rawan dari praktik korupsi dan ini sangat memprihatinkan," jelasnya melalui pesan elektronik yang diterima SINDOnews, Selasa (21/11/2018).
Berdasar pemantauan ICW sejak tahun 2015 hingga semester I 2018, kasus korupsi dana desa meningkat dari tahun ke tahun. Tercatat ada 181 kasus korupsi dana desa. Dengan keseluruhan tersangka sebanyak 184 orang.
Egi merinci pada 2015 hanya ada 17 kasus korupsi dana desa. Kemudian pada 2016 jumlahnya meningkat menjadi 41 kasus. Di 2017 jumlahnya melonjak lebih dari dua kali lipat menjadi 96 kasus. Sementara pada semester I tahun ini, terdapat 27 kasus yang semuanya menjadikan anggaran desa sebagai objek korupsi.
"Dari segi pelaku, kepala desa menjadi aktor korupsi terbanyak di desa," ungkapnya. Dia merinci pada 2015, 15 kepala desa menjadi tersangka. Berikutnya di 2016 jumlahnya meningkat menjadi 32 kepala desa. Pada 2017, jumlahnya meningkat lebih dari dua kali lipat menjadi 65 orang. Kemudian di semester I tahun ini sebanyak 29 orang. Sehingga totalnya 141 orang.
Egi menyebut ada beberapa area rawan korupsi dana desa. Di antaranya dapat terjadi saat proses perencanaan dan pencairan. Proses yang rawan tersebut dapat terjadi di tingkat kecamatan. Pasalnya, camat memiliki kewenangan untuk melakukan evaluasi terhadap Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (RAPBDesa).
"Sehingga potensi penyunatan anggaran atau pemerasan dapat terjadi pada tahap tersebut. Pemerasan anggaran dapat juga dilakukan oleh instansi-instansi lain, baik oleh bupati maupun dinas yang berwenang," paparnya.
ICW menyebut penyebab korupsi dana desa antara lain karena minimnya kompetensi aparat pemerintah desa. Selain itu, tidak adanya transparansi dan kurangnya pengawasan pemerintah serta masyarakat. "Ada intervensi atasan, pelaksanaan kegiatan fisik yang tidak sesuai dengan perencanaan dan adanya kultur memberi barang atau uang sebagai bentuk penghargaan atau terima kasih," ungkapnya.
ICW merekomendasi perlunya pelayanan satu pintu dalam pengurusan dan pengelolaan dana desa. Selain itu, ICW juga menyarankan proses pencairan dana desa tidak perlu ada rekomendasi camat. "Kapasitas seluruh perangkat desa dan seluruh pelaksana pembangunan di desa juga perlu ditingkatkan," tambahnya.
(pur)