Kasus Baiq Nuril, DPR Kebut RUU Penghapusan Kekerasan Seksual
A
A
A
JAKARTA - Ketua DPR Bambang Soesatyo mengatakan, lembaganya bersama pemerintah akan mengebut penyelesaian Rancangan Undang-undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual. Pasalnya, berbagai tindak kekerasan seksual terhadap perempuan akhir-akhir ini marak terjadi.
Terbaru, Baiq Nuril, eks tenaga honorer di SMAN 7 Mataram, Nusa Tenggara Barat, menjadi korbannya. "Melaporkan tindakan kekerasan seksual yang diterimanya, beliau justru malah dikriminalisasi dengan vonis penjara enam bulan dan denda Rp500 juta," ujar Bambang Soesatyo dalam keterangan tertulisnya kepada SINDOnews, Senin (19/11/2018).
Padahal kata dia, saksi Undang-undang (UU) ITE dari Kementerian Komunikasi dan Informatika dalam persidangan sudah menyatakan bahwa apa yang dilakukan Baiq Nuril tidak melanggar UU ITE.
Dia melanjutkan, dalam menjatuhkan vonis, hakim seperti kekurangan dasar hukum dan terkesan tak cermat lantaran tidak adanya UU Penghapusan Kekerasan Seksual yang menjadi dasar utama pembelaan terhadap kaum perempuan.
"Apa yang terjadi terhadap Ibu Baiq Nuril harus dituntaskan secepatnya, karena ini bukan hanya menyangkut pribadi beliau, melainkan juga menjadi pembelaan terhadap harkat, derajat, dan martabat kaum perempuan pada umumnya," kata pria yang akrab disapa Bamsoet ini.
Politikus Partai Golkar ini menambahkan, usai masa reses berakhir dan dewan kembali bersidang pada 21 November 2017. "DPR RI bersama pemerintah akan mengebut penyelesaian RUU Penghapusan Kekerasan Seksual," katanya.
Dia mengatakan, setelah mendapat banyak masukan dari berbagai Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU), Panita Kerja RUU Penghapusan Kekerasan Seksual DPR RI akan memformulasikannya ke dalam berbagai pasal-pasal.
"RUU Penghapusan Kekerasan Seksual bukan hanya akan mengatur hukum terhadap pelakunya, namun juga akan memberikan perlindungan kepada korban. Terutama juga memfokuskan kepada tindakan pencegahan (preventif)," ujarnya.
Lebih lanjut dia mengatakan, berbagai pihak sudah dilibatkan dalam pembahasan RUU tersebut, antra lain Majelis Ulama Indonesia (MUI), Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI), Perwakilan Umat Budha Indonesia (WALUBI), Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI), Komnas Perempuan, Aliansi Cinta Keluarga Indonesia, dan para pakar hukum pidana.
Pelibatan organisasi keagamaan itu, kata dia, dimaksudkan agar RUU tersebut bisa kuat secara aspek moral dan agama. Dengan demikian, lanjut dia, akan memperkuat ruh dalam implementasinya di lapangan.
"Jika ada anggapan DPR RI tidak serius menyelesaikan RUU ini karena sebagian besar anggota dewan adalah pria, ini salah besar," tuturnya.
Dia menuturkan, kekerasan seksual tak hanya terjadi pada perempuan saja, kaum pria dengan maskulinitasnya juga rentan terhadap kekerasan seksual. "Disahkannya RUU tersebut akan menjadi salah satu jalan keluar agar tindak kekerasan seksual bisa diproses tuntas secara hukum. Sekaligus menjadi pegangan bagi para penegak hukum agar bisa memberikan keadilan," pungkasnya.
Terbaru, Baiq Nuril, eks tenaga honorer di SMAN 7 Mataram, Nusa Tenggara Barat, menjadi korbannya. "Melaporkan tindakan kekerasan seksual yang diterimanya, beliau justru malah dikriminalisasi dengan vonis penjara enam bulan dan denda Rp500 juta," ujar Bambang Soesatyo dalam keterangan tertulisnya kepada SINDOnews, Senin (19/11/2018).
Padahal kata dia, saksi Undang-undang (UU) ITE dari Kementerian Komunikasi dan Informatika dalam persidangan sudah menyatakan bahwa apa yang dilakukan Baiq Nuril tidak melanggar UU ITE.
Dia melanjutkan, dalam menjatuhkan vonis, hakim seperti kekurangan dasar hukum dan terkesan tak cermat lantaran tidak adanya UU Penghapusan Kekerasan Seksual yang menjadi dasar utama pembelaan terhadap kaum perempuan.
"Apa yang terjadi terhadap Ibu Baiq Nuril harus dituntaskan secepatnya, karena ini bukan hanya menyangkut pribadi beliau, melainkan juga menjadi pembelaan terhadap harkat, derajat, dan martabat kaum perempuan pada umumnya," kata pria yang akrab disapa Bamsoet ini.
Politikus Partai Golkar ini menambahkan, usai masa reses berakhir dan dewan kembali bersidang pada 21 November 2017. "DPR RI bersama pemerintah akan mengebut penyelesaian RUU Penghapusan Kekerasan Seksual," katanya.
Dia mengatakan, setelah mendapat banyak masukan dari berbagai Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU), Panita Kerja RUU Penghapusan Kekerasan Seksual DPR RI akan memformulasikannya ke dalam berbagai pasal-pasal.
"RUU Penghapusan Kekerasan Seksual bukan hanya akan mengatur hukum terhadap pelakunya, namun juga akan memberikan perlindungan kepada korban. Terutama juga memfokuskan kepada tindakan pencegahan (preventif)," ujarnya.
Lebih lanjut dia mengatakan, berbagai pihak sudah dilibatkan dalam pembahasan RUU tersebut, antra lain Majelis Ulama Indonesia (MUI), Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI), Perwakilan Umat Budha Indonesia (WALUBI), Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI), Komnas Perempuan, Aliansi Cinta Keluarga Indonesia, dan para pakar hukum pidana.
Pelibatan organisasi keagamaan itu, kata dia, dimaksudkan agar RUU tersebut bisa kuat secara aspek moral dan agama. Dengan demikian, lanjut dia, akan memperkuat ruh dalam implementasinya di lapangan.
"Jika ada anggapan DPR RI tidak serius menyelesaikan RUU ini karena sebagian besar anggota dewan adalah pria, ini salah besar," tuturnya.
Dia menuturkan, kekerasan seksual tak hanya terjadi pada perempuan saja, kaum pria dengan maskulinitasnya juga rentan terhadap kekerasan seksual. "Disahkannya RUU tersebut akan menjadi salah satu jalan keluar agar tindak kekerasan seksual bisa diproses tuntas secara hukum. Sekaligus menjadi pegangan bagi para penegak hukum agar bisa memberikan keadilan," pungkasnya.
(maf)