Penyebar Hoaks Mayoritas Ibu Rumah Tangga
A
A
A
JAKARTA - Mereka ditangkap di beberapa tempat dalam kurun waktu sepekan mulai dari 31 Oktober- 6 November 2018. Ironisnya, penyebar hoaks itu justru di dominasi ibu rumah tangga. Berdasarkan hasil pemeriksaan Mabes Polri, mayoritas pelaku hanya iseng dalam menyebarkan hoaks.
“Jangan seperti itulah. Penyebaran hoaks tersebut bisa menimbulkan ketakutan. Bahkan bisa terjadi hal lain jauh lebih buruk. Orang yang baca kan merasakan itu, lalu meresponsnya,” kata Kadivhumas Polri Irjen Pol Setyo Wasisto di Jakarta, kemarin.
Delapan tersangka merupakan kaum ibu-ibu, antara lain, berinisial DNL (20), A (30), O (30), TK (34), S (33), NY (22), AZ (21), dan NV (29).
Tersangka berinisial A dan S ditangkap karena mengunggah hoaks kecelakaan Lion Air. Sementara enam lainnya terkait hoaks penculikan anak. Polisi juga menangkap delapan tersangka lainnya berjenis kelamin lakilaki masing-masing berinisial D (41), EW (31), RA (33), JHS (31), N (23), UST (28), VGC (44), dan MRZ (18).
Dari delapan itu, hanya tersangka MRZ yang ditangkap karena mengunggah hoaks kecelakaan Lion Air. Sementara sisanya berurusan dengan polisi karena hoaks penculikan anak. Menurut Setyo, banyaknya pelaku dari kalangan ibu rumah tangga memberikan kesadaran bahwa para ibu perlu mendapat literasi digital.
“Media sosial me rupakan ruang publik yang perlu batasan dan filter dalam menggunakannya, tapi tidak hanya penyebar saja yang ditangkap,” ujarnya. Dia menjelaskan, masih banyak netizen tidak terampil atau cakap dalam memanfaatkan media sosial.
Padahal pemerintah dan stakeholder sudah sering mengampanyekan agar ma syarakat bijak dalam berjejaring sosial. Dia berharap peristiwa itu menjadi pelajaran bagi masyarakat umum agar tidak menyebarkan hoaks.
Apa pun motif dan alasannya, penyebaran kabar bohong di media sosial tidak dibenar kan dan bisa dipidana karena berdampak luas. “Jadi, jangan mereka hanya menganggap, ‘wah saya iseng pak’, ‘saya hanya prihatin saya sampaikan keteman saya’, tapi semua bisa baca. Dengan dia men-share itu, semua orang bisa baca dan menimbulkan ketakutan,” kata Setyo.
Karopenmas Mabes Polri Brig jen Pol Dedi Prasetyo mengungkapkan, hoaks yang disebarkan ibu-ibu ini pada umumnya berbentuk empati namun isinya ditambah dengan narasi-narasi dan 100% tidak benar.
“Pelaku hoaks ini kebanyakan di usia 20- 42 tahun. Saya herannya banyak pelakunya wanita, seorang ibu. Seolah mereka empati, berempati telah terjadi penculikan. Namun, justru mem berikan narasi yang meresahkan masyarakat,” ungkapnya.
Untuk motif pelaku, kata Dedi, ada berbagai macam salah satunya ikut-ikutan. “Kemudian mereka menambah foto dan menambah narasi. Ada yang iseng agar lebih terkenal, menambah narasi seolah-olah nyata terjadi, namun jauh dari berita faktual. Mereka selain itu rasa empati, membuat narasi namun seolah-olah kejadian nyata dan jauh dari fakta yang terjadi,” ungkapnya. Dedi menyebut, tren hoaks di media sosial kurun waktu tiga bulan terakhir mengalami peningkatan.
Polri mencatat, pada September 2018 meledak hoaks tentang kerusuhan di Mahkamah Konstitusi (MK) yang sebenarnya hanya merupakan bagian dari simulasi penanganan demonstrasi.
Kemudian pada Oktober 2018, publik dikejutkan dengan hoaks tentang bencana alam terjadi di Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi Tengah. Hoaks ini rata-rata didominasi isu kebencanaan yang potensinya lebih besar dari peristiwa aslinya.
“November, kita dikejutkan oleh hoaks penculikan anak dan kecelakaan Lion Air. Hoaks-hoaks ini berdampak buruk dan sangat memengaruhi kondisi psikologis masyarakat,” katanya.
Pengamat media sosial (medsos), Nukman Luthfie mengatakan, ibu-ibu perlu memahami bahwa informasi itu bisa membuat dampak sosial di masyarakat.
“Tidak perlu jauh-jauh, beberapa waktu lalu ada hoaks soal pencurian sound system. Lalu terjadi main hakim sendiri terhadap orang yang diduga mencuri hingga meninggal. Ini artinya hoaks itu bisa membunuh,” ujarnya.
Lalu, langkah apa yang harus di lakukan? Nukman menjelaskan, paling tepat adalah penegak hukum harus merespons dengan cepat. Hal yang diutamakan untuk ditangkap itu adalah pembuat. Sebab pembuat hoaks itulah sebenarnya pelaku utama.
“Meski untuk menangkap pembuat tersebut, dibutuhkan kerja keras. Memang sulit,” ujarnya. Menurut Nukman, penyebar hoaks sesuai dengan aturan da lam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) memang bisa ditangkap.
“Namun, jangan dijadikan yang uta ma lantaran penyebar itu bia sa nya membutuhkan edukasi. Di berikan edukasi itu perlu untuk masyarakat awam,” ujarnya. Hoaks, kata Nukman, memang tidak memandang pendidikan. Entah profesor, doktor, atau yang tak bergelar itu bisa termakan hoaks.
“Karena bila sejak awal sudah ada asumsi, lalu ada informasi hoaks, tetap saja disebar. Tapi, tetap perlu edukasi dalam menghindari hoaks. Selama ini memang cukup jarang penangkapan terhadap pembuat atau produsen hoaks. Bisa dihitung dengan jari pembuat hoaks yang akhirnya tertangkap,” katanya.
Pendiri Sapa (Sahabat Perempuan dan Anak) Indonesia Evie Permata Sari mengatakan, pembuat berita hoaks sebenar nya ingin menimbulkan keresahan dan psikologis yang besar pada masyarakat. Misalnya untuk orang tua yang memiliki anak pada satuan pendidikan dibuat panik hingga rela menunggui anak sekolah setiap hari. (Binti Mufarida)
“Jangan seperti itulah. Penyebaran hoaks tersebut bisa menimbulkan ketakutan. Bahkan bisa terjadi hal lain jauh lebih buruk. Orang yang baca kan merasakan itu, lalu meresponsnya,” kata Kadivhumas Polri Irjen Pol Setyo Wasisto di Jakarta, kemarin.
Delapan tersangka merupakan kaum ibu-ibu, antara lain, berinisial DNL (20), A (30), O (30), TK (34), S (33), NY (22), AZ (21), dan NV (29).
Tersangka berinisial A dan S ditangkap karena mengunggah hoaks kecelakaan Lion Air. Sementara enam lainnya terkait hoaks penculikan anak. Polisi juga menangkap delapan tersangka lainnya berjenis kelamin lakilaki masing-masing berinisial D (41), EW (31), RA (33), JHS (31), N (23), UST (28), VGC (44), dan MRZ (18).
Dari delapan itu, hanya tersangka MRZ yang ditangkap karena mengunggah hoaks kecelakaan Lion Air. Sementara sisanya berurusan dengan polisi karena hoaks penculikan anak. Menurut Setyo, banyaknya pelaku dari kalangan ibu rumah tangga memberikan kesadaran bahwa para ibu perlu mendapat literasi digital.
“Media sosial me rupakan ruang publik yang perlu batasan dan filter dalam menggunakannya, tapi tidak hanya penyebar saja yang ditangkap,” ujarnya. Dia menjelaskan, masih banyak netizen tidak terampil atau cakap dalam memanfaatkan media sosial.
Padahal pemerintah dan stakeholder sudah sering mengampanyekan agar ma syarakat bijak dalam berjejaring sosial. Dia berharap peristiwa itu menjadi pelajaran bagi masyarakat umum agar tidak menyebarkan hoaks.
Apa pun motif dan alasannya, penyebaran kabar bohong di media sosial tidak dibenar kan dan bisa dipidana karena berdampak luas. “Jadi, jangan mereka hanya menganggap, ‘wah saya iseng pak’, ‘saya hanya prihatin saya sampaikan keteman saya’, tapi semua bisa baca. Dengan dia men-share itu, semua orang bisa baca dan menimbulkan ketakutan,” kata Setyo.
Karopenmas Mabes Polri Brig jen Pol Dedi Prasetyo mengungkapkan, hoaks yang disebarkan ibu-ibu ini pada umumnya berbentuk empati namun isinya ditambah dengan narasi-narasi dan 100% tidak benar.
“Pelaku hoaks ini kebanyakan di usia 20- 42 tahun. Saya herannya banyak pelakunya wanita, seorang ibu. Seolah mereka empati, berempati telah terjadi penculikan. Namun, justru mem berikan narasi yang meresahkan masyarakat,” ungkapnya.
Untuk motif pelaku, kata Dedi, ada berbagai macam salah satunya ikut-ikutan. “Kemudian mereka menambah foto dan menambah narasi. Ada yang iseng agar lebih terkenal, menambah narasi seolah-olah nyata terjadi, namun jauh dari berita faktual. Mereka selain itu rasa empati, membuat narasi namun seolah-olah kejadian nyata dan jauh dari fakta yang terjadi,” ungkapnya. Dedi menyebut, tren hoaks di media sosial kurun waktu tiga bulan terakhir mengalami peningkatan.
Polri mencatat, pada September 2018 meledak hoaks tentang kerusuhan di Mahkamah Konstitusi (MK) yang sebenarnya hanya merupakan bagian dari simulasi penanganan demonstrasi.
Kemudian pada Oktober 2018, publik dikejutkan dengan hoaks tentang bencana alam terjadi di Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi Tengah. Hoaks ini rata-rata didominasi isu kebencanaan yang potensinya lebih besar dari peristiwa aslinya.
“November, kita dikejutkan oleh hoaks penculikan anak dan kecelakaan Lion Air. Hoaks-hoaks ini berdampak buruk dan sangat memengaruhi kondisi psikologis masyarakat,” katanya.
Pengamat media sosial (medsos), Nukman Luthfie mengatakan, ibu-ibu perlu memahami bahwa informasi itu bisa membuat dampak sosial di masyarakat.
“Tidak perlu jauh-jauh, beberapa waktu lalu ada hoaks soal pencurian sound system. Lalu terjadi main hakim sendiri terhadap orang yang diduga mencuri hingga meninggal. Ini artinya hoaks itu bisa membunuh,” ujarnya.
Lalu, langkah apa yang harus di lakukan? Nukman menjelaskan, paling tepat adalah penegak hukum harus merespons dengan cepat. Hal yang diutamakan untuk ditangkap itu adalah pembuat. Sebab pembuat hoaks itulah sebenarnya pelaku utama.
“Meski untuk menangkap pembuat tersebut, dibutuhkan kerja keras. Memang sulit,” ujarnya. Menurut Nukman, penyebar hoaks sesuai dengan aturan da lam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) memang bisa ditangkap.
“Namun, jangan dijadikan yang uta ma lantaran penyebar itu bia sa nya membutuhkan edukasi. Di berikan edukasi itu perlu untuk masyarakat awam,” ujarnya. Hoaks, kata Nukman, memang tidak memandang pendidikan. Entah profesor, doktor, atau yang tak bergelar itu bisa termakan hoaks.
“Karena bila sejak awal sudah ada asumsi, lalu ada informasi hoaks, tetap saja disebar. Tapi, tetap perlu edukasi dalam menghindari hoaks. Selama ini memang cukup jarang penangkapan terhadap pembuat atau produsen hoaks. Bisa dihitung dengan jari pembuat hoaks yang akhirnya tertangkap,” katanya.
Pendiri Sapa (Sahabat Perempuan dan Anak) Indonesia Evie Permata Sari mengatakan, pembuat berita hoaks sebenar nya ingin menimbulkan keresahan dan psikologis yang besar pada masyarakat. Misalnya untuk orang tua yang memiliki anak pada satuan pendidikan dibuat panik hingga rela menunggui anak sekolah setiap hari. (Binti Mufarida)
(nfl)