Menjaga Persatuan dengan Selalu Menghayati Pancasila

Minggu, 21 Oktober 2018 - 17:36 WIB
Menjaga Persatuan dengan Selalu Menghayati Pancasila
Menjaga Persatuan dengan Selalu Menghayati Pancasila
A A A
JAKARTA - Akhir-akhir ini suasana harmonis, rukun dan damai yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia mulai terusik hanya karena perbedaan pandangan terkait Pemilu 2019.

Padahal harmonis, rukun dan damai adalah karakter kehidupan bangsa Indonesia yang tercermin dalam filosofi Bhinneka Tunggal Ika.

“Kita harus kembali pada Pancasila. Karena, Pancasila adalah rumusan yang paling maksimal yang sudah dibikin oleh para founding fathers kita yang memahami negara ini didirikan oleh kelompok-kelompok yang berbeda atas suku, agama, ras, keturunan dan kepentingan macam-macam, majemuk sekali,” tutur Guru Besar Psikologi Politik dari Universitas Indonesia, Prof Dr Hamdi Muluk, di Jakarta, Jumat 19 Oktober 2018.

Dia mencontohkan ketika para founding fathers membuat rumusan Pancasila terutama sila ke-1, Ketuhanan Yang Maha Esa. Soekarno dalam pidatonya saat itu menyatakan masyarakat dipersilakan memeluk agama sesuai dengan pemahaman masing-masing, semua saling menghormati.

“Agama ditaruh sebagai sesuatu penghormatan kepada pemeluknya masing-masing untuk menjalankan, sehingga diberi kebebasan beribadah, saling menghormati dan tidak untuk diperdebatkan. Di mata para pemeluknya, agama itu sesuatu yang agung. Jadi kita bisa guyub,” tuturnya.

Ketika Pancasila diterapkan, lanjut Hamdi, gagasan tentang negara agama, negara khilafah dan seterusnya dengan sendirinya sudah tertolak. Jika misalnya Indonesia menjadi negara Islam, nanti di sebelahnya juga akan ada negara Kristen, negara Hindu dan negara sebagainya.

“Jadi ini sudah kesepakatan. Kalau kita betul-betul menghayati kembali Pancasila maka perdebatan mengenai perbedaan itu tidak akan ada lagi. Jadi itu sudah jangan diutak-atik lagi, pancasila itu sudah final, bahwa kita NKRI itu sudah final, kita sudah ada prinsip Bhinneka Tunggal Ika, kita menghormati kemanusiaan yang universal,” tuturnya.

Dalam pengamatanya selama ini, salah satu timbulnya perpecahan akibat adanya ujaran kebencian. Oleh karena itu dia sependapat ujaran kebencian dilarang.

Pada hakikatnya, lanjut dia, ujaran kebencian adalah kekerasan melalui ucapan yang bisa memancing emosi orang lain.

“Konflik sosial itu merupakan pertentangan antara kelompok-kelompok sosial dengan identitas seperti agama, suku, ras yang bermacam-macam di negara majemuk seperti Indonesia ini. Misalnya curiga mencurigai tentunya itu juga sudah merupakan bibit konflik, lalu terbentuk prasangka prasangka, kemudian meningkat menjadi intoleransi atau sikap tidak senang terhadap kelompok lain, lalu timbulah intoleransi melalui ujaran kebencian,” tutur Hamdi.Tanpa toleransi, kata dia, akan timbul tindakan-tindakan lain seperti persekusi, diskriminasi ataupun tindakan-tindakan lain seperti mulai menjarah atau melakukan kekerasan kekerasan fisik.
“Kalau ini tidak terkendali tentunya akan menjadi konflik sosial. Hal ini tidak boleh dianggap enteng soal kekerasan verbal itu terhadap kelompok-kelompok identitas itu,” tuturnya.

Dia juga tidak setuju jika identitas baik agama, suku, agama ataupun antar golongan ke dalam ranah politik. Menurut dia, hal tersebut sama halnya dengan memancing konflik.

Dalam sejarah konflik di dunia, kata dia, politik yang membawa identitas agama dan suku itu tentunya akan sangat mematikan dan paling berbahaya.

Kendati demikian, dia menegaskan partai yang bernafaskan agama atau cita-cita luhur agama diperbolehkan. “Semua agama mengajarkan kebaikan, kedamaian agar hidup selamat di dunia dan akhirat itu semua agama sama mengajarkan hal seperti itu,” tuturnya.
(dam)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5697 seconds (0.1#10.140)