DJSN Nilai Pernyataan Jokowi Soal BPJS Kurang Tepat
A
A
A
MATARAM - Komisioner Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) meluruskan pernyataan Presiden Joko WIdodo (Jokowi) yang terkesan meyalahkan Menteri Kesehatan dan Direktur Utama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan terkait penyelesaian masalah keuangan BPJS.
Komsioner DJSN Ahmad Anshori menilai pernyataan Presiden Jokowi atas kekurangan pembiayaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) kurang tepat. Hal tersebut karena kondisi kekurangan pendanaan ini disebabkan antara lain tidak sesuainya besaran iuran yang ditetapkan oleh pemerintah dalam hal ini presiden dengan tarif ideal.
“Sehingga sudah bisa dipastikan hasilnya dengan menetapkan tarif iuran yang lebih rendah tersebut akan menyebabkan terjadinya kekurangan pembiayaan. Masalah pembiayaan JKN ini bukan menjadi kewenangan Menkes dan Dirut BPJS Kesehatan. Tapi memang jadi kewenangan Presiden,” kata Ahmad Anshori di sela kegiatan Monitoring dan Evaluasi Sistem Jaminan Kesehatan Nasional Pulau di Lombok, Rabu 17 Oktober 2018.
Anshori mengingatkan hal yang pernah terjadi pada tahun 2016 lalu. Ketika ditetapkan besaran iuran BPJS nilainya agak sedikit mendekati nilai ideal, namun sayarangnya keesokan harinya justru dicabut lagi oleh pemerintah. Saat itu DPR keberatan dan Presiden mengikuti pendapat DPR.
Soal peran DJSN, Anshori mengingatkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 disebutkan satu satunya lembaga yang dibentuk untuk penyelenggaraan SJSN sesuai Pasal 6 dan 7 UU tersebut adalah DJSN dan tugas DJSN itu membantu Presiden. Namun hanya karena Presiden tidak menggunakan keberadaan DJSN, akibatnya informasi soal SJSN menjadi bias dan blur kemana mana.
“Harapan kami, Presiden cukup menugaskan DJSN yang sudah mewakili empat unsur pemerintah di dalam keanggotaannya. Jadi presiden tidak perlu repot menyerap informasi SJSN bukan dari DJSN, sehingga bisa terjadi kesalahan menangkap informasi dari phak yang mungkin dapat informasinya sepotong-potong,” kata Anshori.
Sementara itu, Komisioner DJSN dari unsur pekerja, Subiyanto menilai positif pernyataan Presiden Jokowi. Itu menunjukkan adanya respons dari Presiden soal pelaksanaan Jaminan Sosial Nasional (JSN), khususnya program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Sesuai UU SJSN pada Pasal 6 disebutkan bahwa dalam pelaksanaan sistem jaminan sosial nasional dibentuk Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) yang bertugas membantu presiden dan bertanggung jawab langsung kepada presiden.
Menurut dia, seharusnya Presiden menggunakan amanat Pasal 7 UU No 40 Tahun 2004. Di pasal ini disebutkan dengan jelas, kewenangan. tugas, dan fungsi dari DJSN.
Kalau terjadi polemik seperti ini maka sudah sepantasnya Presiden mengambil alih persoalan BPJS sesuai Pasal 48 UU No 40 Tahun 2004 yang menyebutkan bahwa negara bertanggung jawab untuk menyehatkan keadaan keuangan BPS Kesehatan. Sebab kalau tidak disehatkan maka akan berdampak sistemik dan berdampak struktural.
Komisioner DJSN dari unsur ahli, Zaenal Abidin mengatakan, defisit keuangan BPJS Kesehatan akan terus terjadi apabila tidak dilakukan keseimbangan antara iuran dan pembiayaan manfaat ditambah biaya operasional BPJS.
Selain itu, Zaenal mengatakan, penyelesaian masalah BPJS harus dilakukan Presiden. Untuk menyelesaikan masalah pembayaran tunggakan BPJS membutuhkan penanganan presiden. Dibutuhkan Kepres atau Perpres untuk masalah tersebut.
Sebelumnya, saat membuka Kongres Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) di Jakarta, Rabu 17 Oktober 2018, Jokowi merasa heran karena dia harus turun tangan langsung untuk menyelesaikan defisit yang melanda BPJS Kesehatan. Padahal, menurut dia, masalah defisit ini harusnya bisa selesai di tingkat kementerian.
"Mestinya sudah rampunglah di (tingkat) Menkes, di dirut BPJS. Urusan pembayaran utang RS sampai Presiden. Ini kebangetan sebetulnya," kata Jokowi. (nuriwan trihendrawan)
Komsioner DJSN Ahmad Anshori menilai pernyataan Presiden Jokowi atas kekurangan pembiayaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) kurang tepat. Hal tersebut karena kondisi kekurangan pendanaan ini disebabkan antara lain tidak sesuainya besaran iuran yang ditetapkan oleh pemerintah dalam hal ini presiden dengan tarif ideal.
“Sehingga sudah bisa dipastikan hasilnya dengan menetapkan tarif iuran yang lebih rendah tersebut akan menyebabkan terjadinya kekurangan pembiayaan. Masalah pembiayaan JKN ini bukan menjadi kewenangan Menkes dan Dirut BPJS Kesehatan. Tapi memang jadi kewenangan Presiden,” kata Ahmad Anshori di sela kegiatan Monitoring dan Evaluasi Sistem Jaminan Kesehatan Nasional Pulau di Lombok, Rabu 17 Oktober 2018.
Anshori mengingatkan hal yang pernah terjadi pada tahun 2016 lalu. Ketika ditetapkan besaran iuran BPJS nilainya agak sedikit mendekati nilai ideal, namun sayarangnya keesokan harinya justru dicabut lagi oleh pemerintah. Saat itu DPR keberatan dan Presiden mengikuti pendapat DPR.
Soal peran DJSN, Anshori mengingatkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 disebutkan satu satunya lembaga yang dibentuk untuk penyelenggaraan SJSN sesuai Pasal 6 dan 7 UU tersebut adalah DJSN dan tugas DJSN itu membantu Presiden. Namun hanya karena Presiden tidak menggunakan keberadaan DJSN, akibatnya informasi soal SJSN menjadi bias dan blur kemana mana.
“Harapan kami, Presiden cukup menugaskan DJSN yang sudah mewakili empat unsur pemerintah di dalam keanggotaannya. Jadi presiden tidak perlu repot menyerap informasi SJSN bukan dari DJSN, sehingga bisa terjadi kesalahan menangkap informasi dari phak yang mungkin dapat informasinya sepotong-potong,” kata Anshori.
Sementara itu, Komisioner DJSN dari unsur pekerja, Subiyanto menilai positif pernyataan Presiden Jokowi. Itu menunjukkan adanya respons dari Presiden soal pelaksanaan Jaminan Sosial Nasional (JSN), khususnya program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Sesuai UU SJSN pada Pasal 6 disebutkan bahwa dalam pelaksanaan sistem jaminan sosial nasional dibentuk Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) yang bertugas membantu presiden dan bertanggung jawab langsung kepada presiden.
Menurut dia, seharusnya Presiden menggunakan amanat Pasal 7 UU No 40 Tahun 2004. Di pasal ini disebutkan dengan jelas, kewenangan. tugas, dan fungsi dari DJSN.
Kalau terjadi polemik seperti ini maka sudah sepantasnya Presiden mengambil alih persoalan BPJS sesuai Pasal 48 UU No 40 Tahun 2004 yang menyebutkan bahwa negara bertanggung jawab untuk menyehatkan keadaan keuangan BPS Kesehatan. Sebab kalau tidak disehatkan maka akan berdampak sistemik dan berdampak struktural.
Komisioner DJSN dari unsur ahli, Zaenal Abidin mengatakan, defisit keuangan BPJS Kesehatan akan terus terjadi apabila tidak dilakukan keseimbangan antara iuran dan pembiayaan manfaat ditambah biaya operasional BPJS.
Selain itu, Zaenal mengatakan, penyelesaian masalah BPJS harus dilakukan Presiden. Untuk menyelesaikan masalah pembayaran tunggakan BPJS membutuhkan penanganan presiden. Dibutuhkan Kepres atau Perpres untuk masalah tersebut.
Sebelumnya, saat membuka Kongres Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) di Jakarta, Rabu 17 Oktober 2018, Jokowi merasa heran karena dia harus turun tangan langsung untuk menyelesaikan defisit yang melanda BPJS Kesehatan. Padahal, menurut dia, masalah defisit ini harusnya bisa selesai di tingkat kementerian.
"Mestinya sudah rampunglah di (tingkat) Menkes, di dirut BPJS. Urusan pembayaran utang RS sampai Presiden. Ini kebangetan sebetulnya," kata Jokowi. (nuriwan trihendrawan)
(dam)