Bupati Hulu Sungai Tengah Nonaktif Divonis 6 Tahun Penjara
A
A
A
JAKARTA - Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menjatuhkan vonis terhadap Bupati Hulu Sungai Tengah (HST), Kalimantan Selatan (Kalsel), nonaktif Abdul Latif dengan pidana penjara selama enam tahun.
Majelis hakim yang diketuai Ni Made Sudani menilai Abdul Latif selaku Bupati HST terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah menurut hukum melakukan tindak pidana korupsi (tipikor) dalam delik penerimaan suap.
Majelis memastikan Latif terbukti melakukan perbuatan pidana bersama-sama dengan terdakwa Ketua Kamar Dagang Industri (Kadin) Indonesia Kabupaten HST, Fauzan Rifani (divonis 4 tahun 6 bulan) dan terdakwa Direktur PT Sugriwa Agung Abdul Basit (divonis 4 tahun).
Majelis hakim meyakini dan memastikan uang suap tersebut karena Latif telah memenangkan PT Menara Agung Pusaka dalam lelang proyek pekerjaan pembangunan ruang perawatan rawat inap Kelas I, II, VIP, dan Super VIP RSUD Damanhuri Barabai, Kabupaten HST tahun anggaran 2017 untuk empat lantai.
Majelis sepakat dengan Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada KPK bahwa berdasarkan fakta-fakta persidangan, nilai total Rp3,6 miliar adalah hasil permintaan dari Latif berdasarkan per hitungan Basit setelah diminta Fauzan atas fee 7,5% dikalikan lebih dari Rp48,016 miliar (nilai kontrak setelah dipotong pajak).
"Menjatuhkan pidana penjara oleh karena itu terhadap terdakwa Abdul Latif dengan pidana penjara selama enam tahun dan pidana denda sebesar Rp300 juta subsider kurungan selama 3 bulan," tegas hakim Ni Made Sudani saat membacakan amar putusan atas nama Latif, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (20/9/2018).
Majelis juga sepakat dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) terhadap Latif berupa pencabutan hak politik Latif. Hal itu karena perbuatan pidana korupsi Latif dilakukan dengan memanfaatkan jabatannya sebagai bupati. Sebagai seorang kepala daerah yang dipilih langsung oleh masyarakat maka harusnya Latif memberikan contoh yang baik bagi masyarakat.
"Menjatuhkan hukuman tambahan terhadap terdakwa (Latif) berupa pencabutan hak dipilih dalam jabatan publik selama 3 tahun dihitung sejak terdakwa selesai menjalani pidana pokok," kata Hakim Sudani.
Majelis menyatakan perbuatan Latif telah melanggar Pasal12 huruf b Undang-Undang Nomor 31/1999 sebagaimana telah diubah UU Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo Pasal 65 ayat 1 KUHP.
Atas putusan majelis hakim, Abdul Latif mengaku memahami putusan yang dijatuhkan tersebut. Dia sudah berkonsultasi dengan tim penasihat hukum. Latif pun memastikan langsung menyatakan dan mengajukan banding.
"Saya sudah bicara dengan penasihat hukum. Sekali lagi saya terima kasih atas putusan yang diberikan. Izin saya menyatakan saya ambil banding," ujar Latif di hadapan majelis hakim.
Majelis hakim yang diketuai Ni Made Sudani menilai Abdul Latif selaku Bupati HST terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah menurut hukum melakukan tindak pidana korupsi (tipikor) dalam delik penerimaan suap.
Majelis memastikan Latif terbukti melakukan perbuatan pidana bersama-sama dengan terdakwa Ketua Kamar Dagang Industri (Kadin) Indonesia Kabupaten HST, Fauzan Rifani (divonis 4 tahun 6 bulan) dan terdakwa Direktur PT Sugriwa Agung Abdul Basit (divonis 4 tahun).
Majelis hakim meyakini dan memastikan uang suap tersebut karena Latif telah memenangkan PT Menara Agung Pusaka dalam lelang proyek pekerjaan pembangunan ruang perawatan rawat inap Kelas I, II, VIP, dan Super VIP RSUD Damanhuri Barabai, Kabupaten HST tahun anggaran 2017 untuk empat lantai.
Majelis sepakat dengan Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada KPK bahwa berdasarkan fakta-fakta persidangan, nilai total Rp3,6 miliar adalah hasil permintaan dari Latif berdasarkan per hitungan Basit setelah diminta Fauzan atas fee 7,5% dikalikan lebih dari Rp48,016 miliar (nilai kontrak setelah dipotong pajak).
"Menjatuhkan pidana penjara oleh karena itu terhadap terdakwa Abdul Latif dengan pidana penjara selama enam tahun dan pidana denda sebesar Rp300 juta subsider kurungan selama 3 bulan," tegas hakim Ni Made Sudani saat membacakan amar putusan atas nama Latif, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (20/9/2018).
Majelis juga sepakat dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) terhadap Latif berupa pencabutan hak politik Latif. Hal itu karena perbuatan pidana korupsi Latif dilakukan dengan memanfaatkan jabatannya sebagai bupati. Sebagai seorang kepala daerah yang dipilih langsung oleh masyarakat maka harusnya Latif memberikan contoh yang baik bagi masyarakat.
"Menjatuhkan hukuman tambahan terhadap terdakwa (Latif) berupa pencabutan hak dipilih dalam jabatan publik selama 3 tahun dihitung sejak terdakwa selesai menjalani pidana pokok," kata Hakim Sudani.
Majelis menyatakan perbuatan Latif telah melanggar Pasal12 huruf b Undang-Undang Nomor 31/1999 sebagaimana telah diubah UU Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo Pasal 65 ayat 1 KUHP.
Atas putusan majelis hakim, Abdul Latif mengaku memahami putusan yang dijatuhkan tersebut. Dia sudah berkonsultasi dengan tim penasihat hukum. Latif pun memastikan langsung menyatakan dan mengajukan banding.
"Saya sudah bicara dengan penasihat hukum. Sekali lagi saya terima kasih atas putusan yang diberikan. Izin saya menyatakan saya ambil banding," ujar Latif di hadapan majelis hakim.
(dam)