Kewenangan Pengelolaan Hutan Harus Dikembalikan ke Kabupaten/Kota
A
A
A
JAKARTA - Bupati Jayapura Matius Awoitauw meminta pemerintah pusat mengembalikan kewenangan pengelolaan hutan kepada kabupaten/kota. Kebijakan yang ada sekarang kewenangan pengelolan hutan diberikan kepada provinsi.
"Ini harus segera dipertimbangkan supaya kewenangan ini dikembalikan ke kabupaten. Pada kasus Papua dan Papua Barat itu, hutan dan tanah di kedua provinsi ini dikuasai masyarakat adat. Masyarakat adat ini lebih dekat dengan pemerintah kabupaten/kota," kata Bupati Matius kepada Sindonews, disela mengikuti konferensi hutan bertema "Transfer Fiskal untuk Kabupaten kaya Hutan" di Jakarta (18/9/2018).
Menurutnya, pemerintah provinsi rentang kendalinya terlalu jauh untuk merawat dan mengelola hutan yang dikuasai masyarakat adat. "Dikembalikannya pengelolaan hutan kepada kabupaten juga merupakan upaya penguatan kapasitas kabupaten/kota," kata Bupati Matius.
Konferensi yang digelar Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) dan Akademi Ilmu Muda Indonesia (AIMI) mengangkat berbagai persoalan yang dihadapi wilayah kaya hutan, sekaligus menawarkan solusi ekonomi berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh pusat riset perubahan iklim Universitas Indonesia (RCCC UI).
Langka
Menurut Bupati Matius, konferensi yang didukung oleh Deutsche Gesellschaft fur Internationale Zusammenarbeit (GIZ) Indonesia ini sangat langka, "Konferensi ini membahas bagaimana hutan untuk kepentingan dunia. Kami dari Jayapura menyambut baik. Bahwa perhitungan-perhitungan ini penting supaya ada kepastian terhadap biaya pengelolaan, pengolahan dan perawatan hutan sesuai peruntukan untuk tujuan pembangunan berkelanjutan dan kontribusinya kepada dunia," papar Bupati Matius.
Konferensi juga mendorong pemerintah pusat agar sejumlah wilayah kaya hutan di Indonesia seharusnya mendapatkan insentif karena menjaga dan merawat hutan. Kenyataannya daerah kaya hutan justru kerap kehilangan kesempatan memaksimalkan kegiatan ekonomi di wilayahnya.
Ketua AIPI Prof Satryo Soemantri Brodjonegoro mengatakan, hadirnya lebih dari 30 bupati wilayah kaya hutan dalam konferensi ini diharapkan dapat memberikan dorongan bagi terbentuknya kebijakan yang berpihak kepada kebutuhan masyarakat berdasarkan data yang akurat.
"Konferensi transfer fiskal untuk kabupaten kaya hutan ini akan memberikan poin poin rekomendasi kebijakan berbasis bukti (evidence-based policy) yang mempertimbangkan bukti dari hasil riset sekaligus memperhatikan aspirasi kabupaten-kabupaten kaya hutan terhadap mekanisme yang ideal dalam pandangan mereka."
Selama ini daerah kaya hutan harus menjaga hutan dan sumber dayanya sebagia sarana penyerapan karbon dan pengaturan iklim, yang juga dinikmati banyak pihak termasuk di luar daerah. Karena itu mereka tidak bisa menjadikan hutan sebagai sumber pendapatan daerah, misalnya dengan membuka perkebunan sawit atau aktivits pertambangan.
Namun Kabupaten bersangkutanlah yang menanggung biaya menjaga hutan. Manfaat dan biaya yang tidak sepadan ini menjadi salah satu alasan mengapa hutan sulit dijaga dan sumber daya hutan terus menerus mengalami degradasi.
"Saat ini kabupaten kabupaten kaya hutan yang menyatakan diri sebagai kabupaten konservasi, kabupaten hijau atau kabupaten lestari hanya menanggung beban biaya menjaga hutan tanpa kompensasi apa pun," kata Dr. Sonny Mumbunan, anggota ALMI dan peneliti ekonomi RCCC UI yang menggagas konferensi.
"Dengan kata lain tidak banyak manfaat bagi kabupaten kaya hutan untuk menjaga hutan di wilayah mereka karena tidak ada keuntungan ekonomi bagi daerahnya," ujarnya.
Akibatnya upaya perlindungan dan pemulihan hutan sulit berjalan optimal. Konferensi menawarkan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah sebagi usulan kebijakan dan jalan keluar. Dana Alokasi Umum (DAU) dijadikan cara untuk menyepadankan biaya dan manfaat perlindungan hutan bagi kabupaten-kabupaten kaya hutan.
Tutupan hutan baik hutan primer maupun sekunder, diusulkan menjadi salah satu aspek penentu besaran DAU yang diberikan pemerintah pusat ke pemda. Hal ini diharapan dapat mendorong perlindugan hutan yang lebih maksimal.
Dengan begitu berbagai manfaat ekologi hutan seperti menjaga cadangan air, stabilits tanah, dan ketahanan pangan dapat terus dinikmati generasi mendatang. Skema serupa saat ini telah digunakan di sejumlah negara di antaranya Brasil dan India.
Bupati Matius berharap Kementerian Keuangan dan Kementerian Dalam Negeri dapat menimbang poin-poin yang direkomendasikan konferensi ini secara bijak.
"Ini harus segera dipertimbangkan supaya kewenangan ini dikembalikan ke kabupaten. Pada kasus Papua dan Papua Barat itu, hutan dan tanah di kedua provinsi ini dikuasai masyarakat adat. Masyarakat adat ini lebih dekat dengan pemerintah kabupaten/kota," kata Bupati Matius kepada Sindonews, disela mengikuti konferensi hutan bertema "Transfer Fiskal untuk Kabupaten kaya Hutan" di Jakarta (18/9/2018).
Menurutnya, pemerintah provinsi rentang kendalinya terlalu jauh untuk merawat dan mengelola hutan yang dikuasai masyarakat adat. "Dikembalikannya pengelolaan hutan kepada kabupaten juga merupakan upaya penguatan kapasitas kabupaten/kota," kata Bupati Matius.
Konferensi yang digelar Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) dan Akademi Ilmu Muda Indonesia (AIMI) mengangkat berbagai persoalan yang dihadapi wilayah kaya hutan, sekaligus menawarkan solusi ekonomi berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh pusat riset perubahan iklim Universitas Indonesia (RCCC UI).
Langka
Menurut Bupati Matius, konferensi yang didukung oleh Deutsche Gesellschaft fur Internationale Zusammenarbeit (GIZ) Indonesia ini sangat langka, "Konferensi ini membahas bagaimana hutan untuk kepentingan dunia. Kami dari Jayapura menyambut baik. Bahwa perhitungan-perhitungan ini penting supaya ada kepastian terhadap biaya pengelolaan, pengolahan dan perawatan hutan sesuai peruntukan untuk tujuan pembangunan berkelanjutan dan kontribusinya kepada dunia," papar Bupati Matius.
Konferensi juga mendorong pemerintah pusat agar sejumlah wilayah kaya hutan di Indonesia seharusnya mendapatkan insentif karena menjaga dan merawat hutan. Kenyataannya daerah kaya hutan justru kerap kehilangan kesempatan memaksimalkan kegiatan ekonomi di wilayahnya.
Ketua AIPI Prof Satryo Soemantri Brodjonegoro mengatakan, hadirnya lebih dari 30 bupati wilayah kaya hutan dalam konferensi ini diharapkan dapat memberikan dorongan bagi terbentuknya kebijakan yang berpihak kepada kebutuhan masyarakat berdasarkan data yang akurat.
"Konferensi transfer fiskal untuk kabupaten kaya hutan ini akan memberikan poin poin rekomendasi kebijakan berbasis bukti (evidence-based policy) yang mempertimbangkan bukti dari hasil riset sekaligus memperhatikan aspirasi kabupaten-kabupaten kaya hutan terhadap mekanisme yang ideal dalam pandangan mereka."
Selama ini daerah kaya hutan harus menjaga hutan dan sumber dayanya sebagia sarana penyerapan karbon dan pengaturan iklim, yang juga dinikmati banyak pihak termasuk di luar daerah. Karena itu mereka tidak bisa menjadikan hutan sebagai sumber pendapatan daerah, misalnya dengan membuka perkebunan sawit atau aktivits pertambangan.
Namun Kabupaten bersangkutanlah yang menanggung biaya menjaga hutan. Manfaat dan biaya yang tidak sepadan ini menjadi salah satu alasan mengapa hutan sulit dijaga dan sumber daya hutan terus menerus mengalami degradasi.
"Saat ini kabupaten kabupaten kaya hutan yang menyatakan diri sebagai kabupaten konservasi, kabupaten hijau atau kabupaten lestari hanya menanggung beban biaya menjaga hutan tanpa kompensasi apa pun," kata Dr. Sonny Mumbunan, anggota ALMI dan peneliti ekonomi RCCC UI yang menggagas konferensi.
"Dengan kata lain tidak banyak manfaat bagi kabupaten kaya hutan untuk menjaga hutan di wilayah mereka karena tidak ada keuntungan ekonomi bagi daerahnya," ujarnya.
Akibatnya upaya perlindungan dan pemulihan hutan sulit berjalan optimal. Konferensi menawarkan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah sebagi usulan kebijakan dan jalan keluar. Dana Alokasi Umum (DAU) dijadikan cara untuk menyepadankan biaya dan manfaat perlindungan hutan bagi kabupaten-kabupaten kaya hutan.
Tutupan hutan baik hutan primer maupun sekunder, diusulkan menjadi salah satu aspek penentu besaran DAU yang diberikan pemerintah pusat ke pemda. Hal ini diharapan dapat mendorong perlindugan hutan yang lebih maksimal.
Dengan begitu berbagai manfaat ekologi hutan seperti menjaga cadangan air, stabilits tanah, dan ketahanan pangan dapat terus dinikmati generasi mendatang. Skema serupa saat ini telah digunakan di sejumlah negara di antaranya Brasil dan India.
Bupati Matius berharap Kementerian Keuangan dan Kementerian Dalam Negeri dapat menimbang poin-poin yang direkomendasikan konferensi ini secara bijak.
(akn)