Pemerintah Diminta Secepatnya Setop Gaji PNS Koruptor
A
A
A
JAKARTA - Pegawai Negeri Sipil (PNS) terpidana kasus korupsi masih bisa menikmati gaji. Walaupun mengusik rasa keadilan, tapi inilah fakta yang ada. Berbagai masalah seperti payung hukum, birokrasi, dan lemahnya pembaruan data, adalah di antara pemicu kekisruhan ini.
Kondisi tersebut tentu harus segera dihentikan agar tidak terus berlanjut. Sejauh ini pemerintah sudah merespons dengan membuat surat keputusan bersama (SKB) yang melibatkan tiga pihak terkait. Hanya prosesnya masih lama, hingga gaji untuk PNS terpidana korupsi baru bisa dihentikan Desember nanti.
Karena itulah dibutuhkan tero bosan agar masalah tersebut bisa terselesaikan secepatnya dan kerugian negara tidak membesar. Solusi cepat diperlukan karena kerugian akibat PNS terpidana korupsi lumayan besar. Data terakhir terdapat 2.357 PNS yang telah divonis sebagai terpidana korupsi dengan kekuatan hukum tetap (inkracht).
Mereka terdiri atas 1.917 PNS yang bekerja di pemerintah kabupaten/kota, 342 PNS pemerintah provinsi, dan 98 PNS bekerja di kementerian/lembaga di wilayah pusat. BKN menaksir, kerugian tiap bulan yang harus ditanggung pemerintah sekitar Rp11.785.000.000.
Direktur Eksekutif Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng menilai persoalan tersebut sebenarnya bukan hal yang rumit untuk dituntaskan. Masalahnya tergantung kemauan dan keseriusan masing-masing pimpinan instansi.
“Jika ada korupsi di daerah, pasti semua tahu. Tidak saja jajaran pemerintahan, tapi juga masyarakat. Harusnya tanpa dikirimi putusan pengadilan pun pemda proaktif. Ini tidak rumit, hanya mau atau tidak? Serius atau tidak?,” ungkapnya.
Endi menandaskan, pejabat pembina kepegawaian (PPK) dan sekda sudah seharusnya segera memproses secara administrasi pemberhentian PNS terpidana korupsi tersebut. Dalam hal ini harus segera di berhentikan sebagai PNS dan dicabut hakhak keuangannya.
“Persoalannya adalah PPK dan sekda ini lambat. Ini bukan karena administrasi, karena ada unsur kesengajaan,” tuturnya.
Dia mengingatkan, jika proses administrasi pemberhentian PNS terpidana korupsi berjalan lamban, hal tersebut menjadi persoalan hukum, bukan hanya pada PNS terpidana korupsi, tapi juga kepada kepala daerah dan sekda. Sebab, mereka berperan menyebabkan kerugian negara karena mempekerjakan PNS yang seharusnya sudah berhenti.
“Ini sudah pelanggaran. PNS itu tidak bisa bekerja tanpa persetujuan PPK dan sekda. Jadi, mereka harus diproses hukum agar ada efek jera bagi kepala daerah dan sekda,” ungkapnya.
Endi pun meminta Kemendagri memaksimalkan evaluasi dan pantauannya kepada daerah. Dengan begitu hal-hal serupa tidak kembali terulang dan dapat diantisipasi. Kemarin Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan ReformasiBirokrasi(Menpan-RB) Syafruddin, dan Kepala BKN Bima Haria Wibisana menandatangani SKB. Kendati demikian, pemberhentian terhadap PNS terpidana korupsi baru bisa dilaksanakan paling lambat bulan Desember.
Mendagri Tjahjo Kumolo menjelaskan, keputusan bersama ini dibuat untuk sinergi dan koordinasi kementerian/ lembaga dalam rangka penegakan hukum. Dia menegaskan bahwa siapa pun PNS yang korupsi dan telah memiliki kekuatan hukum tetap harus diberhentikan dengan tidak hormat.
“Ini karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan,” ungkapnya.
Di dalam SKB juga disebutkan, PPK atau kepala daerah dan pejabat yang berwenang atau sekda yang tidak melaksanakan pemberhentian kepada PNS tersebut akan dijatuhi saksi. Kendatidemi kian, Tjahjo yakin kepala daerah sebagai PPK di instansi daerah akan berkomitmen menjalankan pemberhentian tersebut.
“Saya kira dengan SKB ini kita sepakat ya. Saya yakin semua kepala daerah juga akan mematuhi,” katanya.
Untuk mencegah terulangnya kasus yang sama, akan dilakukan peningkatan pemanfaatan sistem informasi kepegawaian untuk mencatat kondisi atau status pegawai di daerah dan di pusat. Salah satunya dengan cara selalu memperbaharui data dan informasi pegawai ke dalam sistem informasi kepega waian tersebut.
”Lalu perlu dioptimalkan peran aparatur pengawas internal pemerintah (APIP) dalam rangka menegakkan disiplin bagi PNS yang tersangkut tindak pidana korupsi,” ujarnya.
Lebih lanjut politikus PDI Perjuangan itu mengakui bahwa Kemendagri memiliki sumbangsih atas banyaknya PNS yang tersandung tindak pidana korupsi, tapi tidak diberhentikan. Hal ini dikarenakan masih adanya surat edaran lama bernomor 800/4329/SJ tanggal 29 Oktober 2012. Surat edaran itu dinilai menjadi pengganjal pelaksanaan pemecatan PNS itu.
“Surat edaran itu tidak mengharuskan pemecatan dengan tidak hormat PNS yang sudah dikenai putusan pengadilan akibat tindak,” paparnya.
Kepala BKN Bima Haria Wibisana meyakinkan bahwa SKB ini dapat mempercepat proses pemberhentian. Menurut dia, ketiga lembaga itu nantinya akan melihat masalah-masalah apa saja yang menghambat proses pemberhentian.
“Kalau tidak ada masalah lagi mungkin bisa langsung diberhentikan. Tapi kalau masih ada, mungkin nanti kita cari lagi solusi-solusinya apa yang harus dilakukan,” tuturnya. Bima mengakui bahwa bukan hal yang mudah memberhentikan para PNS terpidana korupsi tersebut.
Apalagi banyak kasus menunjukkan, setelah keluar tahanan PNS tersebut menjabat kembali dan membuat berbagai kebijakan. Maka, perlu dilihat kembali apakah kebijakan dan anggaran yang sebelumnya dikeluarkan sah atau tidak.
“Lalu, kalau tidak sah siapa yang bertanggung jawab? Ini kan jadi rumit. Kita akan periksa satu per satu. Kemudian kita cari solusinya. Apakah kebijakan dan anggarannya didiputihkan dan tetap berlaku, atau bagaimana. Jadi tidak sederhana sebetulnya. Itu yang akan kita lakukan bersama,” ungkapnya.
Kondisi tersebut tentu harus segera dihentikan agar tidak terus berlanjut. Sejauh ini pemerintah sudah merespons dengan membuat surat keputusan bersama (SKB) yang melibatkan tiga pihak terkait. Hanya prosesnya masih lama, hingga gaji untuk PNS terpidana korupsi baru bisa dihentikan Desember nanti.
Karena itulah dibutuhkan tero bosan agar masalah tersebut bisa terselesaikan secepatnya dan kerugian negara tidak membesar. Solusi cepat diperlukan karena kerugian akibat PNS terpidana korupsi lumayan besar. Data terakhir terdapat 2.357 PNS yang telah divonis sebagai terpidana korupsi dengan kekuatan hukum tetap (inkracht).
Mereka terdiri atas 1.917 PNS yang bekerja di pemerintah kabupaten/kota, 342 PNS pemerintah provinsi, dan 98 PNS bekerja di kementerian/lembaga di wilayah pusat. BKN menaksir, kerugian tiap bulan yang harus ditanggung pemerintah sekitar Rp11.785.000.000.
Direktur Eksekutif Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng menilai persoalan tersebut sebenarnya bukan hal yang rumit untuk dituntaskan. Masalahnya tergantung kemauan dan keseriusan masing-masing pimpinan instansi.
“Jika ada korupsi di daerah, pasti semua tahu. Tidak saja jajaran pemerintahan, tapi juga masyarakat. Harusnya tanpa dikirimi putusan pengadilan pun pemda proaktif. Ini tidak rumit, hanya mau atau tidak? Serius atau tidak?,” ungkapnya.
Endi menandaskan, pejabat pembina kepegawaian (PPK) dan sekda sudah seharusnya segera memproses secara administrasi pemberhentian PNS terpidana korupsi tersebut. Dalam hal ini harus segera di berhentikan sebagai PNS dan dicabut hakhak keuangannya.
“Persoalannya adalah PPK dan sekda ini lambat. Ini bukan karena administrasi, karena ada unsur kesengajaan,” tuturnya.
Dia mengingatkan, jika proses administrasi pemberhentian PNS terpidana korupsi berjalan lamban, hal tersebut menjadi persoalan hukum, bukan hanya pada PNS terpidana korupsi, tapi juga kepada kepala daerah dan sekda. Sebab, mereka berperan menyebabkan kerugian negara karena mempekerjakan PNS yang seharusnya sudah berhenti.
“Ini sudah pelanggaran. PNS itu tidak bisa bekerja tanpa persetujuan PPK dan sekda. Jadi, mereka harus diproses hukum agar ada efek jera bagi kepala daerah dan sekda,” ungkapnya.
Endi pun meminta Kemendagri memaksimalkan evaluasi dan pantauannya kepada daerah. Dengan begitu hal-hal serupa tidak kembali terulang dan dapat diantisipasi. Kemarin Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan ReformasiBirokrasi(Menpan-RB) Syafruddin, dan Kepala BKN Bima Haria Wibisana menandatangani SKB. Kendati demikian, pemberhentian terhadap PNS terpidana korupsi baru bisa dilaksanakan paling lambat bulan Desember.
Mendagri Tjahjo Kumolo menjelaskan, keputusan bersama ini dibuat untuk sinergi dan koordinasi kementerian/ lembaga dalam rangka penegakan hukum. Dia menegaskan bahwa siapa pun PNS yang korupsi dan telah memiliki kekuatan hukum tetap harus diberhentikan dengan tidak hormat.
“Ini karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan,” ungkapnya.
Di dalam SKB juga disebutkan, PPK atau kepala daerah dan pejabat yang berwenang atau sekda yang tidak melaksanakan pemberhentian kepada PNS tersebut akan dijatuhi saksi. Kendatidemi kian, Tjahjo yakin kepala daerah sebagai PPK di instansi daerah akan berkomitmen menjalankan pemberhentian tersebut.
“Saya kira dengan SKB ini kita sepakat ya. Saya yakin semua kepala daerah juga akan mematuhi,” katanya.
Untuk mencegah terulangnya kasus yang sama, akan dilakukan peningkatan pemanfaatan sistem informasi kepegawaian untuk mencatat kondisi atau status pegawai di daerah dan di pusat. Salah satunya dengan cara selalu memperbaharui data dan informasi pegawai ke dalam sistem informasi kepega waian tersebut.
”Lalu perlu dioptimalkan peran aparatur pengawas internal pemerintah (APIP) dalam rangka menegakkan disiplin bagi PNS yang tersangkut tindak pidana korupsi,” ujarnya.
Lebih lanjut politikus PDI Perjuangan itu mengakui bahwa Kemendagri memiliki sumbangsih atas banyaknya PNS yang tersandung tindak pidana korupsi, tapi tidak diberhentikan. Hal ini dikarenakan masih adanya surat edaran lama bernomor 800/4329/SJ tanggal 29 Oktober 2012. Surat edaran itu dinilai menjadi pengganjal pelaksanaan pemecatan PNS itu.
“Surat edaran itu tidak mengharuskan pemecatan dengan tidak hormat PNS yang sudah dikenai putusan pengadilan akibat tindak,” paparnya.
Kepala BKN Bima Haria Wibisana meyakinkan bahwa SKB ini dapat mempercepat proses pemberhentian. Menurut dia, ketiga lembaga itu nantinya akan melihat masalah-masalah apa saja yang menghambat proses pemberhentian.
“Kalau tidak ada masalah lagi mungkin bisa langsung diberhentikan. Tapi kalau masih ada, mungkin nanti kita cari lagi solusi-solusinya apa yang harus dilakukan,” tuturnya. Bima mengakui bahwa bukan hal yang mudah memberhentikan para PNS terpidana korupsi tersebut.
Apalagi banyak kasus menunjukkan, setelah keluar tahanan PNS tersebut menjabat kembali dan membuat berbagai kebijakan. Maka, perlu dilihat kembali apakah kebijakan dan anggaran yang sebelumnya dikeluarkan sah atau tidak.
“Lalu, kalau tidak sah siapa yang bertanggung jawab? Ini kan jadi rumit. Kita akan periksa satu per satu. Kemudian kita cari solusinya. Apakah kebijakan dan anggarannya didiputihkan dan tetap berlaku, atau bagaimana. Jadi tidak sederhana sebetulnya. Itu yang akan kita lakukan bersama,” ungkapnya.
(don)