Pemerintah Mesti Waspadai Tantangan Global

Kamis, 30 Agustus 2018 - 08:07 WIB
Pemerintah Mesti Waspadai...
Pemerintah Mesti Waspadai Tantangan Global
A A A
JAKARTA - DPR meminta pemerintah mewaspadai bahwa APBN 2019 masih akan mengalami tantangan berat. Terutama yang dipengaruhi oleh faktor eksternal, sehingga pemerintah diharapkan mampu menghadapi tantangan ini agar perekonomian domestik tetap survive.

Juru bicara Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP) Abu Bakar Wasahua mwnyatakan jika mencermati pengelolaan fiskal makro ekonomi tahun mendatang masih menghadapi tantangan berat.

"Perekonomian domestik rentang dipengaruhi faktor eksternal yang disebabkan kebijakan bank central AS," ucapnya kemarin, saat menyampaikan pandangan umum F-PPP atas RAPBN 2019 beserta Nota Keuangannya pada Rapat Paripurna di Gedung DPR.

Sejumlah tantangan itu telah terjadi saat ini. Misalnya di awal tahun 2018, faktor eksternal telah menimbulkan potensi pasar yang mendorong capital flow dan defisit transaksi berjalan pada kuartal II tahun 2018.

Ditambah lemahnya ekspor Indonesia yang menyebabkan lemahnya rupiah. "Pemerintah perlu bekerja keras dan cermat ambil langkah optimal guna kepentingan perekonomian naisonal," ungkapnya.

Sehingga dalam APBN 2019, sambungnya, F-PPP memberi catatan agar pemerintah perlu mewaspadai ketidakpastian ekonomi global terkait suku bunga komoditas, arus modal dan nilai tukar fundamental perekonomian yang rentan dipengaruhi perekonomian global.

"Pemerintah perlu antisipasi depresiasi rupiah. F-PPP meyakini jika tantangan itu bisa dihadapi secara baik dan hati-hati, maka akan memicu penguatan daya beli masyarakat kelas bawah," tegasnya.

Begituoun dengaj Anggota Komisi XI DPR Ecky Awal Mucharam mengingatkan pemerintah akan beban bunga utang yang makin bertambah.

Menurutnya, APBN banyak habis dipakai untuk membayar bunga utang. Di outlook APBN 2018, pos pembayaran bunga utang sebesar Rp249 triliun dan akan bertambah menjadi Rp275 T dalam RAPBN 2019.

"APBN sudah tidak sehat. Angka ini nilainya fantastis, karena sudah menjadi pos belanja terbesar setelah belanja rutin. Lebih besar dari belanja modal, belanja sosial, dan belanja subsidi. Sementara proporsi pembayaran bunga terhadap total belanja negara pun makin meningkat. Di akhir pemerintahan SBY, proporsi bunga utang terhadap belanja pemerintah pusat hanya 11,1 persen, sekarang sudah 17,2 persen," ucapnya.

Dia mengatakan beban bunga ini mengalami lonjakan karena pemerintahan Jokowi sangat banyak berutang. Ecky menegaskan, pemerintah harus menjelaskan kondisi utang secara utuh ke publik.

"Misalkan memang ada Rp396 triliun utang yang dilunasi di tahun ini, tapi perlu diingat net pembiayaan di outlook APBN 2018 dalam bentuk penerbitan SBN adalah sebesar Rp388 triliun. Artinya jumlah utang baru yang ditarik sekitar Rp784 triliun," jelasnya.

Menurut catatan, pada tahun 2017 pemerintah melunasi utang SBN sebesar Rp284 triliun, tetapi menarik utang SBN baru sebesar Rp726 triliun. Sementara pada 2016, pemerintah melunasi Rp254 triliun, tetapi menambah sebesar Rp660 triliun. Oleh karena itu, selama pemerintahan Jokowi dari tahun 2015-2018, stok utang pemerintah dalam bentuk SBN bertambah sebesar Rp1.600 triliun.

Berdasar data, Ecky menuturkan Indonesia sudah nyaris masuk dalam jebakan utang (debt trap) karena Indonesia berutang sekedar untuk membayar cicilan pokok dan bunga utang sebelumnya.

"Ujung-ujungnya yang menikmati adalah para investor, khususnya asing yang menerima pembayaran bunga utang tiap tahunnya. Sebagai catatan, surat utang negara kita yang hampir separuhnya dikuasai asing. Ini juga berbahaya untuk stabilitas ekonomi dan nilai tukar rupiah," katanya.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0800 seconds (0.1#10.140)