Tanpa Grand Design, Anggaran Pendidikan Hanya Formalitas
A
A
A
JAKARTA - Komisi X DPR menilai anggaran pendidikan sebesar 20% pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) hanya formalitas.
Jika ditelusuri, bahkan menurut Neraca Pendidikan Daerah yang diterbitkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), banyak kota dan kabupaten yang mengalokasikan kurang dari 10 persen dana APBD untuk pendidikan.
Wakil Ketua Komisi X DPR RI Abdul Fikri Faqih mengatakan, sebetulnya pendidikan di Indonesia memiliki payung kuat dalam mendukung anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN dan APBD, demikian pula dengan regulasi berupa Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Namun, dia menyayangkan anggaran 20% tersebut tidak sepenuhnya berada pada kementerian yang mengurus pendidikan.
"Dari Rp440 triliun di APBN sekarang, hanya Rp40 triliun ke Kemendikbud, Rp40 triliun ke Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti), dan Rp63 triliun di Kementerian Agama (Kemenag). Artinya, 2/3 anggaran pendidikan banyak untuk K/L lain. Bahkan Rp200 triliun berupa transfer daerah," ucap Fikri, Senin 20 Agustus 2018 melalui keterangan tertulis.
Menurut dia, wajar bila dari delapan Standar Nasional Pendidikan (SNP), terdapat empat standar yang kategorinya sangat buruk menurut Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).
Dua SNP yang paling menonjol adalah mengenai sarana prasarana dan pendidikan dan tenaga kependidikan. "Tidak ada satu pun daerah yang tidak mengeluhkan dua standar ini," tegasnya.
Dari 1,8 juta ruang kelas yang ada, 1,3 juta dinyatakan rusak dan hingga kini pemerintah hanya memperbaiki sedikit saja, hanya yang rusak berat sebesar 250 ribu. Itu pun tahun 2018 ini hanya dialokasikan 25 ribu saja, sisanya diserahkan ke daerah sesuai UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Fikri juga menguraikan mengenai persoalan guru yang mengalami kekurangan 900 ribu, saat ini belum ada skema pemenuhan dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB) dengan alasan klasik, yakni anggaran belum tersedia.
Sehingga, lanjut dia, permasalahan ini diserahkan kepada sekolah. Namun di sisi lain, guru-guru itu tidak boleh diangkat menjadi honorer, sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 48 Tahun 2005.
"Persoalan pendidikan ini karena bergantinya kebijakan secara berulang-ulang tiap terpilih pemerintahan yang baru. Begitu juga dengan kurikulum yang ganti setiap menteri baru ditunjuk. Hal ini karena kita belum memiliki grand design atau Rencana Induk Pendidikan yang jelas. Dengan rencana induk yang jelas, amanat konstitusi mengenai alokasi 20 persen anggaran bagi pendidikan tidak hanya formalitas belaka," urainya.
Begitupun dengan Ketua Komisi X DPR Djoko Udjianto mengapresiasi meningkatnya anggaran untuk pendidikan. Dia juga mengatakan dalam dunia pendidikan masih banyak yang perlu diperbaiki. Mulai dari fasilitas pendidikan dasar hingga menengah yang masih minim, serta tenaga pendidikan yang jumlahnya masih kurang, mencapai 990 ribu.
"Anggaran dinaikkan ini kita bisa berbuat banyak untuk meningkatkan mutu pendidikan. Saya berharap di tahun politik ini, mudah-mudahanan yang disampaikan Presiden ini bukan janji, tetapi realistis," ucapnya.
Sebelumnya, dalam Rapat Paripurna RAPBN 2019, Presiden Joko Widodo mengatakan, untuk 2019 anggaran pendidikan direncanakan sebesar Rp487,9 triliun. Jumlah itu naik 9,86% dibandingkan tahun 2018 mencapai Rp444,1 triliun, atau meningkat 38,1% dibandingkan realisasi anggaran pendidikan tahun 2014.
Untuk meningkatkan kualitas SDM yang dipupuk dengan pendidikan yang baik, pemerintah akan memberikan beasiswa kepada 20,1 juta siswa melalui Program Indonesia Pintar. Bantuan juga diberikan kepada 471,800 mahasiswa melalui beasiswa Bidik Misi.
Jika ditelusuri, bahkan menurut Neraca Pendidikan Daerah yang diterbitkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), banyak kota dan kabupaten yang mengalokasikan kurang dari 10 persen dana APBD untuk pendidikan.
Wakil Ketua Komisi X DPR RI Abdul Fikri Faqih mengatakan, sebetulnya pendidikan di Indonesia memiliki payung kuat dalam mendukung anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN dan APBD, demikian pula dengan regulasi berupa Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Namun, dia menyayangkan anggaran 20% tersebut tidak sepenuhnya berada pada kementerian yang mengurus pendidikan.
"Dari Rp440 triliun di APBN sekarang, hanya Rp40 triliun ke Kemendikbud, Rp40 triliun ke Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti), dan Rp63 triliun di Kementerian Agama (Kemenag). Artinya, 2/3 anggaran pendidikan banyak untuk K/L lain. Bahkan Rp200 triliun berupa transfer daerah," ucap Fikri, Senin 20 Agustus 2018 melalui keterangan tertulis.
Menurut dia, wajar bila dari delapan Standar Nasional Pendidikan (SNP), terdapat empat standar yang kategorinya sangat buruk menurut Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).
Dua SNP yang paling menonjol adalah mengenai sarana prasarana dan pendidikan dan tenaga kependidikan. "Tidak ada satu pun daerah yang tidak mengeluhkan dua standar ini," tegasnya.
Dari 1,8 juta ruang kelas yang ada, 1,3 juta dinyatakan rusak dan hingga kini pemerintah hanya memperbaiki sedikit saja, hanya yang rusak berat sebesar 250 ribu. Itu pun tahun 2018 ini hanya dialokasikan 25 ribu saja, sisanya diserahkan ke daerah sesuai UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Fikri juga menguraikan mengenai persoalan guru yang mengalami kekurangan 900 ribu, saat ini belum ada skema pemenuhan dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB) dengan alasan klasik, yakni anggaran belum tersedia.
Sehingga, lanjut dia, permasalahan ini diserahkan kepada sekolah. Namun di sisi lain, guru-guru itu tidak boleh diangkat menjadi honorer, sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 48 Tahun 2005.
"Persoalan pendidikan ini karena bergantinya kebijakan secara berulang-ulang tiap terpilih pemerintahan yang baru. Begitu juga dengan kurikulum yang ganti setiap menteri baru ditunjuk. Hal ini karena kita belum memiliki grand design atau Rencana Induk Pendidikan yang jelas. Dengan rencana induk yang jelas, amanat konstitusi mengenai alokasi 20 persen anggaran bagi pendidikan tidak hanya formalitas belaka," urainya.
Begitupun dengan Ketua Komisi X DPR Djoko Udjianto mengapresiasi meningkatnya anggaran untuk pendidikan. Dia juga mengatakan dalam dunia pendidikan masih banyak yang perlu diperbaiki. Mulai dari fasilitas pendidikan dasar hingga menengah yang masih minim, serta tenaga pendidikan yang jumlahnya masih kurang, mencapai 990 ribu.
"Anggaran dinaikkan ini kita bisa berbuat banyak untuk meningkatkan mutu pendidikan. Saya berharap di tahun politik ini, mudah-mudahanan yang disampaikan Presiden ini bukan janji, tetapi realistis," ucapnya.
Sebelumnya, dalam Rapat Paripurna RAPBN 2019, Presiden Joko Widodo mengatakan, untuk 2019 anggaran pendidikan direncanakan sebesar Rp487,9 triliun. Jumlah itu naik 9,86% dibandingkan tahun 2018 mencapai Rp444,1 triliun, atau meningkat 38,1% dibandingkan realisasi anggaran pendidikan tahun 2014.
Untuk meningkatkan kualitas SDM yang dipupuk dengan pendidikan yang baik, pemerintah akan memberikan beasiswa kepada 20,1 juta siswa melalui Program Indonesia Pintar. Bantuan juga diberikan kepada 471,800 mahasiswa melalui beasiswa Bidik Misi.
(dam)