Pakar Hukum Tata Negara Sarankan Polri Evaluasi Rotasi Perwira Tinggi
A
A
A
JAKARTA - Rotasi jabatan ditubuh Polri masih perlu dievaluasi menyusul adanya sejumlah Perwira Tinggi (Pati) yang diduga lompat pagar. Sebab kondisi ini dikhawatirkan dapat mengundang rasa isi dari para jenderal Polri.
Hal ini dikatakan pakar hukum tata negara Universitas Pancasila Muhammad Rullyandi terkait dengan pengisian jabatan Asisten Kapolri Bidang Sumber Daya Manusia (ASDM) yang saat ini masih menjadi perdebatan konstitusional.
Rullyandi mengatakan, Polri sebagai institusi staats organen memiliki derajat konstitusional sebagaimana diatur dalam Pasal 30 ayat 4 dan 5 UUD 1945. Maka Konstitusi mengamanatkan susunan kedudukan Polri dalam kaedah undang-undang dan peraturan di bawahnya.
"Secara khusus pengaturan pengisian jabatan pada sistem pembinaan karier pejabat Polri dapat dicermati secara hirarkis dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5/2017 tentang Perubahan Atas Perpres Nomor 52/2010 tentang Susunan dan Tata Kerja di Lingkungan Polri," ujarnya kepada wartawan, Minggu (19/8/2018).
Ahli hukum termuda yang masuk rekor MURI ini lebih lanjut mengatakan, dalam Perpres A quo menunjukkan rambu-rambu penempatan eselonisasi. Hal demikian sesuai juga dengan pelaksanan Perpres A quo melalui Peraturan Kapolri Nomor 9/2016 tentang Sistem Pembinaan Karier Anggota Polri.
Dengan demikian, kata dia, pengangkatan jabatan ASDM masih dapat diperdebatkan, karena tidak memiliki landasan hukum yang kuat (Aanvechtbaar). Sebab Polri dalam menjalankan susunan organisasi mendapatkan pengawasan dan pertanggungjawaban sebagai staats organen (uit oefening controle bestaan).
"Apalagi tindakan pengangkatan dalam jabatan eselonisasi tersebut contra legem, bertentangan dengan norma hukum yang diatur secara hirarkis yang berkarakteristik ejusdem generis. Maka seyogianya penempatan jabatan eaolonisasi wajib tunduk pada landasan hukum Perpers A quo dan Peraturan Kapolri Nomor 9/2016 sebagai acuan wet matigheid van bestur," tandasnya.
Ia menambahkan, literatur penempatan jabatan khusus ASDM tidak lepas dengan pemahaman genus atau kelompok normatif yang mengatur secara spesifik tentang suatu sistem pembinaan karier yang dapat dipahami dalam diktum konsiderans dan diktum mengingat peraturan kapolri nomor 9 tahun 2016 yang menyebutkan.
"Di dalam satuan kerja diperlukan sistem pembinaan karier anggota Polri yang tersusun secara sistematik, terencana, dan selaras sesuai dengan kebutuhan dan kompetensi organisasi," ucap dia.
Selanjutnya, disebutkan dalam diktum konsiderans bahwa setiap anggota Polri mempunyai hak yang sama dalam pembinaan karier sejak penempatan pertama, penempatan lanjutan, sampai dengan pengakhiran dinas pada setiap jenjang jabatan.
"Dengan demikian dalam perspektik hukum tata negara terkait hal tersebut, maka perlu dikaji ulang atas penempatan pejabat ASDM Polri yang saat ini baru ditunjuk kepada Brigjen Pol Eko Indra Heri, apakah sesuai dengan prosedur atau terdapat maal administratif," tutupnya.
Hal ini dikatakan pakar hukum tata negara Universitas Pancasila Muhammad Rullyandi terkait dengan pengisian jabatan Asisten Kapolri Bidang Sumber Daya Manusia (ASDM) yang saat ini masih menjadi perdebatan konstitusional.
Rullyandi mengatakan, Polri sebagai institusi staats organen memiliki derajat konstitusional sebagaimana diatur dalam Pasal 30 ayat 4 dan 5 UUD 1945. Maka Konstitusi mengamanatkan susunan kedudukan Polri dalam kaedah undang-undang dan peraturan di bawahnya.
"Secara khusus pengaturan pengisian jabatan pada sistem pembinaan karier pejabat Polri dapat dicermati secara hirarkis dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5/2017 tentang Perubahan Atas Perpres Nomor 52/2010 tentang Susunan dan Tata Kerja di Lingkungan Polri," ujarnya kepada wartawan, Minggu (19/8/2018).
Ahli hukum termuda yang masuk rekor MURI ini lebih lanjut mengatakan, dalam Perpres A quo menunjukkan rambu-rambu penempatan eselonisasi. Hal demikian sesuai juga dengan pelaksanan Perpres A quo melalui Peraturan Kapolri Nomor 9/2016 tentang Sistem Pembinaan Karier Anggota Polri.
Dengan demikian, kata dia, pengangkatan jabatan ASDM masih dapat diperdebatkan, karena tidak memiliki landasan hukum yang kuat (Aanvechtbaar). Sebab Polri dalam menjalankan susunan organisasi mendapatkan pengawasan dan pertanggungjawaban sebagai staats organen (uit oefening controle bestaan).
"Apalagi tindakan pengangkatan dalam jabatan eselonisasi tersebut contra legem, bertentangan dengan norma hukum yang diatur secara hirarkis yang berkarakteristik ejusdem generis. Maka seyogianya penempatan jabatan eaolonisasi wajib tunduk pada landasan hukum Perpers A quo dan Peraturan Kapolri Nomor 9/2016 sebagai acuan wet matigheid van bestur," tandasnya.
Ia menambahkan, literatur penempatan jabatan khusus ASDM tidak lepas dengan pemahaman genus atau kelompok normatif yang mengatur secara spesifik tentang suatu sistem pembinaan karier yang dapat dipahami dalam diktum konsiderans dan diktum mengingat peraturan kapolri nomor 9 tahun 2016 yang menyebutkan.
"Di dalam satuan kerja diperlukan sistem pembinaan karier anggota Polri yang tersusun secara sistematik, terencana, dan selaras sesuai dengan kebutuhan dan kompetensi organisasi," ucap dia.
Selanjutnya, disebutkan dalam diktum konsiderans bahwa setiap anggota Polri mempunyai hak yang sama dalam pembinaan karier sejak penempatan pertama, penempatan lanjutan, sampai dengan pengakhiran dinas pada setiap jenjang jabatan.
"Dengan demikian dalam perspektik hukum tata negara terkait hal tersebut, maka perlu dikaji ulang atas penempatan pejabat ASDM Polri yang saat ini baru ditunjuk kepada Brigjen Pol Eko Indra Heri, apakah sesuai dengan prosedur atau terdapat maal administratif," tutupnya.
(thm)