Media Sosial Mulai Stagnan
A
A
A
JAKARTA - Stagnasi mulai melanda media sosial (medsos). Setidaknya itulah yang terjadi di negara-negara maju seperti Amerika Serikat (AS) dan Eropa.
Penyebabnya, para pengguna kini mulai sadar bahwa medsos dituding sebagai salah satu platform sarana penyebar berita palsu. Indikator stagnannya pertumbuhan medsos bisa dilihat dari data pengguna aktif harian (PAH) Facebook di Amerika Utara yang sepanjang tahun ini tetap 185 juta.
Di Eropa, PAH Facebook bahkan turun dari sebelumnya 282 juta menjadi 279 juta. Kendati di AS dan Eropa mengalami perlambatan, namun di Asia pengguna bulanan Facebook masih tinggi. Akhir tahun lalu tercatat sebanyak 499 juta, naik dibanding tahun sebelumnya 396 juta peng guna. Pada 2018 menjadi periode pahit bagi Pendiri dan CEO Facebook Inc Mark Zuckerberg.
Selain pertumbuhan pengguna aktif yang cenderung stagnan, harga saham perusahaan juga anjlok ke titik terendah sehingga mengurangi nilai pasarnya hingga USD119 miliar. Seperti Facebook, Twitter juga terpaksa cuci gudang dan menghapus lebih dari 70 juta akun palsu.
Pengguna aktif bulanan Twitter saat ini mencapai 335 juta di seluruh dunia. Sekitar 1 juta pengguna aktif bulanan telah meninggalkan Twitter di AS. Padahal, setahun sebelumnya jumlah pengguna aktif bulanan Twitter melonjak sebanyak 6 juta. Peningkatan itu diyakini berkat ada teknologi dan fitur baru.
Stagnasi jumlah pengguna media sosial Facebook dan Twitter itu tidak lepas dari skandal kebocoran data, perubahan privasi, dan berita palsu yang kerap muncul di situs pertemanan itu.
Khusus di Amerika Utara, penurunan pengguna ditengarai sebagai imbas gencarnya kampanye “hapus Facebook”. Saat ini Facebook memang sedang berperang melawan berita palsu, khususnya menjelang pemilu di sejumlah negara.
Mereka berjanji menghapus postingan yang menjurus pada kekerasan atau kebencian. Meski penurunan itu diperkirakan para ahli bersifat sementara, posisi Facebook sebagai kekuatan utama sektor teknologi tampak rentan.
Medsos dianggap mulai mengalami kemunduran dalam pertumbuhan pengguna. Sejak pertama kali diperkenalkan kepada publik pada 2006, Facebook bagaikan gula yang dikerumuni semut. Sampai Januari lalu jumlah pengguna aktif Facebook di seluruh dunia mencapai 2,2 miliar atau hampir seperempat dari total 7,4 miliar penduduk bumi.
Hal itu menjadikan Facebook sebagai raja media sosial dan bisnis. Pertumbuhan pengguna Facebook kian tak terkendali setelah menyebarnya smartphone dan tablet dengan harga terjangkau. Sayangnya, pemerataan teknologi dalam genggaman itu menimbulkan banyak isu negatif dan kontroversi.
Selain menjadi wadah hoax dan ujaran kebencian, Facebook juga menjadi alat politik. Padahal, Zuckerberg sebenarnya punya niat mulia, yakni memberikan kesempatan kepada penggunanya untuk bersuara dan bebas berpendapat.
Namun, nyatanya hal itu justru membuat kebebasan penggunanya kebablasan yang berujung pada munculnya ujaran kebencian. “Ada dua prinsip utama yang kami pegang. Facebook memberikan masyarakat akses bersuara. Jadi masyarakat dapat bebas berpendapat.
Lalu, penting juga untuk bisa menjaga keselamatan masyarakat. Kami tidak akan membiarkan tindak kekerasan atau ujaran buruk,” kata Zuckerberg, dilansir dailyjournalonline.com. Niat besar Zuckerberg tidak sepenuhnya mulus.
Para pengguna Facebook bahkan sekarang kehilangan kepercayaan atas maraknya berita dan akun palsu penyebar informasi sesat. Puncaknya terjadi pada sekitar Maret silam ketika sebanyak 50 juta pengguna Facebook dijual pada konsultan politik Cambridge Analytica.
Facebook menuai banyak kritikan dan disusul dengan nilai saham yang terus anjlok. Mereka terancam dikenai denda USD40.000 per pengguna yang jika dijumlahkan mencapai triliunan dolar. Pertumbuhan pendapatan juga mengecewakan hingga membuat nilai saham Facebook turun 19%.
Hal itu berimbas pada anjloknya kekayaan bersih Zuckerberg hingga USD15 miliar. Namun, CFO Facebook David Wehner membela diri. Di hadapan investor dia menegaskan bahwa perusahaan akan menggelontorkan miliaran dolar untuk kembali meraih nilai pasar.
“Pertumbuhan pengguna saja tidak cukup untuk mengukur kesuksesan media sosial karena itu merupakan aliran darah mereka,” ujar Dante Disparte, CEO Risk Cooperative, broker asuransi, dikutip forbes.com. “Penurunan ini diperparah dengan regulasi yang lebih ketat dan denda berat yang dikeluarkan otoritas terkait,“ katanya.
Sementara itu, pihak Twitter menyatakan telah melakukan sejumlah upaya untuk mencegah berkembangannya akun-akun palsu. “Para ahli kami tak berhenti mengawasi, mengidentifikasi, dan menghapus akun jadi-jadian yang muncul,” sebut Twitter.
Situs mikroblogging itu juga mengaku telah menghapus jutaan akun karena melanggar aturan dan dianggap bertanggung jawab terhadap ratusan juta tweet berkualitas rendah.
Twitter kini mengembangkan teknik baru dan program untuk mengidentifikasi automasi malicious seperti balasan instan terhadap tweet dan ajakan-ajakan terkoordinasi. “Kami meningkatkan proses verifikasi untuk memastikan pengendali akun tersebut adalah manusia,” ungkap Twitter.
Kesadaran Pengguna
Ketua Umum Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) Kristiono mengatakan, satu di antara penyebab pengguna media sosial, khususnya Facebook dan Twitter, tidak bertambah adalah peningkatan kesadaran pengguna akan perlindungan data pribadi.
Kebocoran data pengguna Facebook kepada para pihak untuk kepentingan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan tanpa pemberitahuan dan seizin pengguna yang terjadi beberapa waktu lalu berdampak kepada kehati-hatian pengguna.
Sejalan dengan itu, banyak negara juga telah menerapkan undang-undang perlindungan data pribadi. “Terakhir 25 Mei, Uni Eropa sudah memberlakukan aturan yang berlaku di seluruh negara yang tergabung dan ekstrateritorial,” ujarnya.
Peraturan tersebut menuntut para penyedia layanan untuk sepenuhnya memenuhi regulasi dengan risiko terkena sanksi yang cukup berat. Hal senada juga diutarakan pengamat teknologi informasi (TI) Heru Sutadi.
Menurutnya, banyak pihak menyoroti rentannya privasi pengguna yang merupakan pelanggaran sehingga banyak negara juga mulai mempersoalkannya secara hukum. “Membaca media sosial di hari-hari belakangan dianggap memusingkan dan tidak sehat karena dipenuhi ujaran kebencian dan hoax yang tidak ditangani oleh mereka,” ujarnya.
Seharusnya, kata dia, media sosial adalah sarana untuk hiburan, berbagi pandangan positif dan membahagiakan. Banyaknya ujaran kebencian, kata dia, membuat banyak pengguna perlahan tidak aktif lagi. “Yang lebih parah adalah adanya kampanye untuk menutup akun.
Padahal, sebuah akun di media sosial jika dipergunakan secara positif akan sangat baik dan berguna bagi entitas usaha,” katanya. Heru melihat, tren media sosial, khususnya Twitter dan Facebook, lebih banyak membahas soal politik dan menghadirkan serangan-serangan.
Dibanding yang bisa dilakukan di Instagram yang lebih endorse produk atau kehidupan selebritas. Pendapat lain dikemukakan pengamat media sosial Enda Nasution. Terkait pengguna Facebook dan Twitter yang cenderung stagnan, dia melihat saat ini sudah banyak media sosial lain yang hadir.
“Beda dengan tahun 2010-2011 yang mana medos masih sedikit. Saat ini ada banyak platform media sosial dan instant messaging sehingga tidak ada satu yang dominan,” ungkapnya.
Enda memperkirakan, khusus untuk pasar Indonesia, pertumbuhan pengguna medos diperkirakan masih akan cukup besar mengingat akses masyarakat Indonesia terhadap internet masih 50%.
“Ini artinya potensi besar untuk penambahan pengguna,” katanya. Menurut Enda, penurunan saham Facebook di pasar AS akibat kepercayaan investor di sana mulai tergerus. “Faktor lain karena banyak kehilangan user karena dihapus user yang cloning dan bots,” ujarnya.
Penyebabnya, para pengguna kini mulai sadar bahwa medsos dituding sebagai salah satu platform sarana penyebar berita palsu. Indikator stagnannya pertumbuhan medsos bisa dilihat dari data pengguna aktif harian (PAH) Facebook di Amerika Utara yang sepanjang tahun ini tetap 185 juta.
Di Eropa, PAH Facebook bahkan turun dari sebelumnya 282 juta menjadi 279 juta. Kendati di AS dan Eropa mengalami perlambatan, namun di Asia pengguna bulanan Facebook masih tinggi. Akhir tahun lalu tercatat sebanyak 499 juta, naik dibanding tahun sebelumnya 396 juta peng guna. Pada 2018 menjadi periode pahit bagi Pendiri dan CEO Facebook Inc Mark Zuckerberg.
Selain pertumbuhan pengguna aktif yang cenderung stagnan, harga saham perusahaan juga anjlok ke titik terendah sehingga mengurangi nilai pasarnya hingga USD119 miliar. Seperti Facebook, Twitter juga terpaksa cuci gudang dan menghapus lebih dari 70 juta akun palsu.
Pengguna aktif bulanan Twitter saat ini mencapai 335 juta di seluruh dunia. Sekitar 1 juta pengguna aktif bulanan telah meninggalkan Twitter di AS. Padahal, setahun sebelumnya jumlah pengguna aktif bulanan Twitter melonjak sebanyak 6 juta. Peningkatan itu diyakini berkat ada teknologi dan fitur baru.
Stagnasi jumlah pengguna media sosial Facebook dan Twitter itu tidak lepas dari skandal kebocoran data, perubahan privasi, dan berita palsu yang kerap muncul di situs pertemanan itu.
Khusus di Amerika Utara, penurunan pengguna ditengarai sebagai imbas gencarnya kampanye “hapus Facebook”. Saat ini Facebook memang sedang berperang melawan berita palsu, khususnya menjelang pemilu di sejumlah negara.
Mereka berjanji menghapus postingan yang menjurus pada kekerasan atau kebencian. Meski penurunan itu diperkirakan para ahli bersifat sementara, posisi Facebook sebagai kekuatan utama sektor teknologi tampak rentan.
Medsos dianggap mulai mengalami kemunduran dalam pertumbuhan pengguna. Sejak pertama kali diperkenalkan kepada publik pada 2006, Facebook bagaikan gula yang dikerumuni semut. Sampai Januari lalu jumlah pengguna aktif Facebook di seluruh dunia mencapai 2,2 miliar atau hampir seperempat dari total 7,4 miliar penduduk bumi.
Hal itu menjadikan Facebook sebagai raja media sosial dan bisnis. Pertumbuhan pengguna Facebook kian tak terkendali setelah menyebarnya smartphone dan tablet dengan harga terjangkau. Sayangnya, pemerataan teknologi dalam genggaman itu menimbulkan banyak isu negatif dan kontroversi.
Selain menjadi wadah hoax dan ujaran kebencian, Facebook juga menjadi alat politik. Padahal, Zuckerberg sebenarnya punya niat mulia, yakni memberikan kesempatan kepada penggunanya untuk bersuara dan bebas berpendapat.
Namun, nyatanya hal itu justru membuat kebebasan penggunanya kebablasan yang berujung pada munculnya ujaran kebencian. “Ada dua prinsip utama yang kami pegang. Facebook memberikan masyarakat akses bersuara. Jadi masyarakat dapat bebas berpendapat.
Lalu, penting juga untuk bisa menjaga keselamatan masyarakat. Kami tidak akan membiarkan tindak kekerasan atau ujaran buruk,” kata Zuckerberg, dilansir dailyjournalonline.com. Niat besar Zuckerberg tidak sepenuhnya mulus.
Para pengguna Facebook bahkan sekarang kehilangan kepercayaan atas maraknya berita dan akun palsu penyebar informasi sesat. Puncaknya terjadi pada sekitar Maret silam ketika sebanyak 50 juta pengguna Facebook dijual pada konsultan politik Cambridge Analytica.
Facebook menuai banyak kritikan dan disusul dengan nilai saham yang terus anjlok. Mereka terancam dikenai denda USD40.000 per pengguna yang jika dijumlahkan mencapai triliunan dolar. Pertumbuhan pendapatan juga mengecewakan hingga membuat nilai saham Facebook turun 19%.
Hal itu berimbas pada anjloknya kekayaan bersih Zuckerberg hingga USD15 miliar. Namun, CFO Facebook David Wehner membela diri. Di hadapan investor dia menegaskan bahwa perusahaan akan menggelontorkan miliaran dolar untuk kembali meraih nilai pasar.
“Pertumbuhan pengguna saja tidak cukup untuk mengukur kesuksesan media sosial karena itu merupakan aliran darah mereka,” ujar Dante Disparte, CEO Risk Cooperative, broker asuransi, dikutip forbes.com. “Penurunan ini diperparah dengan regulasi yang lebih ketat dan denda berat yang dikeluarkan otoritas terkait,“ katanya.
Sementara itu, pihak Twitter menyatakan telah melakukan sejumlah upaya untuk mencegah berkembangannya akun-akun palsu. “Para ahli kami tak berhenti mengawasi, mengidentifikasi, dan menghapus akun jadi-jadian yang muncul,” sebut Twitter.
Situs mikroblogging itu juga mengaku telah menghapus jutaan akun karena melanggar aturan dan dianggap bertanggung jawab terhadap ratusan juta tweet berkualitas rendah.
Twitter kini mengembangkan teknik baru dan program untuk mengidentifikasi automasi malicious seperti balasan instan terhadap tweet dan ajakan-ajakan terkoordinasi. “Kami meningkatkan proses verifikasi untuk memastikan pengendali akun tersebut adalah manusia,” ungkap Twitter.
Kesadaran Pengguna
Ketua Umum Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) Kristiono mengatakan, satu di antara penyebab pengguna media sosial, khususnya Facebook dan Twitter, tidak bertambah adalah peningkatan kesadaran pengguna akan perlindungan data pribadi.
Kebocoran data pengguna Facebook kepada para pihak untuk kepentingan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan tanpa pemberitahuan dan seizin pengguna yang terjadi beberapa waktu lalu berdampak kepada kehati-hatian pengguna.
Sejalan dengan itu, banyak negara juga telah menerapkan undang-undang perlindungan data pribadi. “Terakhir 25 Mei, Uni Eropa sudah memberlakukan aturan yang berlaku di seluruh negara yang tergabung dan ekstrateritorial,” ujarnya.
Peraturan tersebut menuntut para penyedia layanan untuk sepenuhnya memenuhi regulasi dengan risiko terkena sanksi yang cukup berat. Hal senada juga diutarakan pengamat teknologi informasi (TI) Heru Sutadi.
Menurutnya, banyak pihak menyoroti rentannya privasi pengguna yang merupakan pelanggaran sehingga banyak negara juga mulai mempersoalkannya secara hukum. “Membaca media sosial di hari-hari belakangan dianggap memusingkan dan tidak sehat karena dipenuhi ujaran kebencian dan hoax yang tidak ditangani oleh mereka,” ujarnya.
Seharusnya, kata dia, media sosial adalah sarana untuk hiburan, berbagi pandangan positif dan membahagiakan. Banyaknya ujaran kebencian, kata dia, membuat banyak pengguna perlahan tidak aktif lagi. “Yang lebih parah adalah adanya kampanye untuk menutup akun.
Padahal, sebuah akun di media sosial jika dipergunakan secara positif akan sangat baik dan berguna bagi entitas usaha,” katanya. Heru melihat, tren media sosial, khususnya Twitter dan Facebook, lebih banyak membahas soal politik dan menghadirkan serangan-serangan.
Dibanding yang bisa dilakukan di Instagram yang lebih endorse produk atau kehidupan selebritas. Pendapat lain dikemukakan pengamat media sosial Enda Nasution. Terkait pengguna Facebook dan Twitter yang cenderung stagnan, dia melihat saat ini sudah banyak media sosial lain yang hadir.
“Beda dengan tahun 2010-2011 yang mana medos masih sedikit. Saat ini ada banyak platform media sosial dan instant messaging sehingga tidak ada satu yang dominan,” ungkapnya.
Enda memperkirakan, khusus untuk pasar Indonesia, pertumbuhan pengguna medos diperkirakan masih akan cukup besar mengingat akses masyarakat Indonesia terhadap internet masih 50%.
“Ini artinya potensi besar untuk penambahan pengguna,” katanya. Menurut Enda, penurunan saham Facebook di pasar AS akibat kepercayaan investor di sana mulai tergerus. “Faktor lain karena banyak kehilangan user karena dihapus user yang cloning dan bots,” ujarnya.
(don)