Hindari Insiden di Laut, Nakhoda Harus Paham Regulasi
A
A
A
JAKARTA - Pakar kelautan dan hukum kemaritiman Win Pudji Pamularso mengatakan, mengatakan kasus pecahnya pipa pertamina di Balikpapan yang diduga tersangkut jangkar kapal MV Ever Judger, berbendera panama, menjadi pembelajaran penting bagi Indonesia akan pentingnya, pemahaman terhadap UU dan regulasi mengenai kemaritiman.
Pandangan ini dikatakan Win Pudji dalam acara diskusi bertajuk Penyelesaian Terhadap Pelanggaran-Pelanggaran Hukum Kemaritiman di Indonesia, yang berlangsung di Hotel Bidakara, Jakarta, Kamis (2/8/2018).
"Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2008 jelas mengatakan jika ada accident di kapal, tubrukan atau lain-lain. Langkah pertama nakhoda melaporkan kepada otoritas setempat, dalam hal ini adalah syahbandar," kata Win Pudji.
"Syahbandar melakukan pemeriksaan pendahuluan, sampai diperoleh data apa penyebabnya, kalau ada unsur pidananya dilaporkan ke kepolisian," tambahnya.
Win menambahkan, selain UU Pelayaran ada juga UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang perlindungan pengelolaan lingkungan hidup, untuk masalah pencemaran. Ada juga pendekatan Premium Remedium yang mengutamakan penegakan hukum dengan menyoroti aspek pidananya.
"Dari kapalnya itu sendiri, yang menjadi penyebab terjadinya kecelakaan dengan KUHD Pasal 544a buku 6 yang bersifat internasional. Sebenarnya semua perangkatnya sudah lengkap, KLH turun, polisi turun, mungkin aparatur (sipil) dalam hal ini syahbandar kalah cepat kerjanya dengan polisi," jelasnya.
Terpenting dalam proses menyelidiki penyebab terjadinya kejadian tersebut, adalah jangan sampai saling menyalahkan, satu sama lain. Menurut Win, Indonesia sebagai negara maritim harus memiliki posisi yang kuat terhadap pelanggaran hukum kemaritiman.
Adanya dugaan bahwa kapal MV Ever Judger yang menjadi penyebab terjadinya kecelakaan harus dihadapi bersama. Karena yang dirugikan dalam peristiwa ini adalah Pertamina, Lingkungan yang tercemar, penduduk yang menjadi korban hingga nelayan yang kehilangan mata pencahariannya, karena ikan-ikan pada mati.
"Jangan menyalahkan Pertamina, karena Pertamina itu korban/victim dalam kasus ini," terang Win.
Karena itu Win yang juga mantan nakhoda kapal the Large Tanker berasumsi, bahwa nakhoda kapal harus paham regulasi kemaritiman, bukan tidak sepenuhnya mengikuti petunjuk Pandu soal lego jangkar menjelang kapal berlabuh. Secara hukum nakhoda adalah pegawai perusahaan. Ketiga adalah doktrin pertanggungjawab korporasi berdasarkan UU.
"Undang-Undang (UU) kita sudah jelas. Nakhoda pasti tahu karena ketika lego jangkar pasti ada pandu. Lego jangkarnya di mana, nah ini kan melakukan kesalahan, dengan menurunkan jangkar sampai 1 segel," jelas Dr Win.
Secara internasional jelas Win, ketentuan dalam bernavigasi harus mengikuti IMO Convention yaitu The International Regulations for Preventing Collision at Sea 1972 dan Nakhoda harus memiliki kecakapan sesuai ISM-Code atau The International Safety Management Code.
"Yang merupakan standar Internasional keselamatan operasional kapal dan pencegahan pencemaran laut. Ketidakcakapan nakhoda sebagai pemimpin kapal sekaligus mewakili korporasinya dapat mengakibatkan terjadinya kecelakaan yang semestinya dapat dihindari," ungkapnya.
Pandangan ini dikatakan Win Pudji dalam acara diskusi bertajuk Penyelesaian Terhadap Pelanggaran-Pelanggaran Hukum Kemaritiman di Indonesia, yang berlangsung di Hotel Bidakara, Jakarta, Kamis (2/8/2018).
"Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2008 jelas mengatakan jika ada accident di kapal, tubrukan atau lain-lain. Langkah pertama nakhoda melaporkan kepada otoritas setempat, dalam hal ini adalah syahbandar," kata Win Pudji.
"Syahbandar melakukan pemeriksaan pendahuluan, sampai diperoleh data apa penyebabnya, kalau ada unsur pidananya dilaporkan ke kepolisian," tambahnya.
Win menambahkan, selain UU Pelayaran ada juga UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang perlindungan pengelolaan lingkungan hidup, untuk masalah pencemaran. Ada juga pendekatan Premium Remedium yang mengutamakan penegakan hukum dengan menyoroti aspek pidananya.
"Dari kapalnya itu sendiri, yang menjadi penyebab terjadinya kecelakaan dengan KUHD Pasal 544a buku 6 yang bersifat internasional. Sebenarnya semua perangkatnya sudah lengkap, KLH turun, polisi turun, mungkin aparatur (sipil) dalam hal ini syahbandar kalah cepat kerjanya dengan polisi," jelasnya.
Terpenting dalam proses menyelidiki penyebab terjadinya kejadian tersebut, adalah jangan sampai saling menyalahkan, satu sama lain. Menurut Win, Indonesia sebagai negara maritim harus memiliki posisi yang kuat terhadap pelanggaran hukum kemaritiman.
Adanya dugaan bahwa kapal MV Ever Judger yang menjadi penyebab terjadinya kecelakaan harus dihadapi bersama. Karena yang dirugikan dalam peristiwa ini adalah Pertamina, Lingkungan yang tercemar, penduduk yang menjadi korban hingga nelayan yang kehilangan mata pencahariannya, karena ikan-ikan pada mati.
"Jangan menyalahkan Pertamina, karena Pertamina itu korban/victim dalam kasus ini," terang Win.
Karena itu Win yang juga mantan nakhoda kapal the Large Tanker berasumsi, bahwa nakhoda kapal harus paham regulasi kemaritiman, bukan tidak sepenuhnya mengikuti petunjuk Pandu soal lego jangkar menjelang kapal berlabuh. Secara hukum nakhoda adalah pegawai perusahaan. Ketiga adalah doktrin pertanggungjawab korporasi berdasarkan UU.
"Undang-Undang (UU) kita sudah jelas. Nakhoda pasti tahu karena ketika lego jangkar pasti ada pandu. Lego jangkarnya di mana, nah ini kan melakukan kesalahan, dengan menurunkan jangkar sampai 1 segel," jelas Dr Win.
Secara internasional jelas Win, ketentuan dalam bernavigasi harus mengikuti IMO Convention yaitu The International Regulations for Preventing Collision at Sea 1972 dan Nakhoda harus memiliki kecakapan sesuai ISM-Code atau The International Safety Management Code.
"Yang merupakan standar Internasional keselamatan operasional kapal dan pencegahan pencemaran laut. Ketidakcakapan nakhoda sebagai pemimpin kapal sekaligus mewakili korporasinya dapat mengakibatkan terjadinya kecelakaan yang semestinya dapat dihindari," ungkapnya.
(maf)