Sinergi Antarnegara Dinilai Mutlak dalam Penanganan Terorisme

Selasa, 10 Juli 2018 - 16:01 WIB
Sinergi Antarnegara Dinilai Mutlak dalam Penanganan Terorisme
Sinergi Antarnegara Dinilai Mutlak dalam Penanganan Terorisme
A A A
JAKARTA - Paham radikal atau radikalisme yang ada di Indonesia adalan paham-paham kekerasan yang berasal dari luar negeri. Ideologi transnasional itu kini menjadi momok bagi keutuhan dan perdamaian di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Fakta itu mengharuskan Indonesia, melalui Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) terus memperkuat sinergi dengan negara lain. Sinergi perlu diperlukan untuk mencegah penyebaran dan aksi radikalisme.

Pencegahan dan penanggulangan juga semakin kuat dengan adanya Undang-Undang (UU) Antiterorisme yang baru.

“Radikalisme dan terorisme bukan sekadar fenomena, sehingga kerja-kerja deradikalisasi dan kontra radikalisasi harus ditingkatkan, termasuk sinergi dengan negara-negara lain. Radikalisme di negara kita sekarang ini adalah produk impor dari negara tertentu sehingga institusi di Indonesia, dalam hal ini BNPT harus mengetahui asal dan cara penanganannya, bekerja sama dengan badan sejenis di negara lain,” tutur Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PPP Arsul Sani, di Jakarta, Senin 9 Juli 2018 malam.

Arsul menilai, sejauh ini kinerja BNPT dalam bersinergi dengan badan internasional sudah sangat baik. Terbukti BNPT aktif dalam setiap konferensi antiterorisme. Terakhir, Kepala BNPT Komisaris jenderal Polisi Suhardi Alius memaparkan strategi penanggulangan terorisme di Indonesia dalam KTT Badan Antiteror seluruh dunia di markas besar PBB beberapa pekan lalu.

Bahkan, upaya lunak (soft approach) BNPT dalam menjalankan program deradikalisasi dengan merangkul mantan napi terorisme dan keluarganya, menjadi acuan negara lain. Pasalnya, selama ini penanganan terorisme, terutama di luar negeri hanya difokuskan pada tindakan hukum (hard approach).

Salah satunya, Belanda yang langsung mengutus Menteri Luar Negeri Stephanus Abraham Blok melihat langsung cara deradikalisasi Indonesia di Yayasan Lingkar Perdamaian pimpinan mantan teroris Ali Fauzi, adik terpidana kasus bom Bali Amrozi, di Lamongan.

Di tempat ini, ada sekitar 37 mantan narapidana terorisme (napiter) telah sepakat untuk menjadi agen perdamaian dengan membangun lembaga pendidikan bagi anak dan keluarga mantan napiter.

Arsul Sani menilai, kinerja BNPT sudah bagus. Apalagi adanya UU Antiterorisme yang baru sehingga membuat penanganan terorisme bisa lebih maksimal.
Menurut dia, dalam UU Antiterorisme yang baru disahkan menjadi payung hukum upaya deradikalisasi dan kontra radikalisasi. “Saya yakin dengan UU Antiterorisme yang telah disahkan, kita bisa bisa mengantisipasi bentuk-bentuk tindak pidana terorisme yang ada sekarang maupun akan datang. Bahkan juga memberikan kewenangan tidak hanya dalam wilayah terorial indonesia, juga di luar negeri,” kata mantan anggota Pansus Revisi UU Antterorisme ini.
(dam)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9239 seconds (0.1#10.140)