AHY Sindir Revolusi Mental Pertegas Demokrat Kekuatan Penyeimbang
A
A
A
JAKARTA - Dosen FISIP Universitas Al Azhar Indonesia, Zaenal A Budiyono menilai dalam demokrasi, partai di luar pemerintahan (penyeimbang /oposisi) memiliki pijakan kuat, baik dari sisi konstitusional maupun tradisi demokrasi untuk memberikan kritik kepada penguasa. Dengan kata lain, masukan atau kritik dari Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) tentang program-program pemerintah yang kurang sukses, merupakan fenomena lumrah, normal dan bagian dari dialektika berbangsa.
"Terbaru, Ketua Kogasma Partai Demokrat yang digadang-gadang sebagai capres-cawapres dari Demokrat, AHY mengkritik program 'Revolusi Mental' Jokowi yang menurutnya semakin tidak terdengar. Program pembangunan manusia itu gaungnya justru dikalahkan oleh deru pembangunan jalan tol dan jembatan," ujarnya melalui rilis yang diterima SINDOnews, Sabtu (16/7/2018).
Menurutnya, pandangan politik AHY dan keluarga besar Partai Demokrat tidak bisa dilepaskan dari pengaruh pemikiran Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sang ikon Partai Demokrat. Menilik perjalanan SBY, kata dia, ia merupakan politisi yang mengedepankan pembangunan manusia, sebelum pembangunan fisik termasuk infrastruktur.
"Hal itu dapat dilihat dari 'rekor' APBN era SBY yang untuk pertama kalinya mengalokasikan 20% APBN untuk pendidikan. Bahkan untuk menjamin sustainability anggaran yang fokus pada pembangunan SDM itu, diamankan melalui UU," jelasnya.
Direktur Eksekutif Developing Countries Studies Center (DCSC) menilai, dari sini kita bisa melihat bahwa secara substansi, AHY dan Partai Demokrat cukup terganggu dengan terseok-seoknya program Revolusi Mental Jokowi yang sebelumnya diharapkan dapat mengubah kultur lama yang negatif di bangsa ini, menjadi energi positif.
"Indikatornya bisa dilihat di dunia maya, dimana sejak 2014 sampai saat ini, netizen seolah terbelah antara kubu Jokowi dan Prabowo. Cacian dan hujatan semakin hari bukannya menurun, justru menunjukkan grafik yang mengkhawatirkan."
"Padahal sebelumnya sosial media diharapkan membawa perdebatan cerdas dan sportif yang sebelumnya hanya ada di kampus, menjadi bisa dinikmati banyak kalangan, khususnya generasi milenial. AHY merasa situasi seperti itu seharusnya tidak terjadi bila revolusi mental sukses dijalankan," sambungnya.
Lantas apa yang bisa kita tangkap dari kritik AHY ke Jokowi saat Pilpres 2019 kian dekat? Zaenal berpandangan Partai Demokrat sepertinya ingin mengirim pesan kepada Jokowi dan koalisinya untuk tidak terlalu berharap agar Partai Demokrat masuk koalisi.
Masih kata dia, sebelumnya SBY juga menunjukkan behavioral politik yang bisa dimaknai mulai bergersernya Partai Demokrat dari pusaran Jokowi. Pidato-pidato Jokowi yang kerap menyalahkan masa lalu sepertinya turut mempengaruhi perubahan sikap Partai Demokrat ini.
Namun kemana Partai Demokrat akan melangkah belum bisa kita pastikan. Prabowo Subianto yang sabar menunggu 'bola muntah' Partai Demokrat juga belum bisa berharap banyak.
"Hal ini karena baru-baru ini SBY justru mengatakan bahwa agenda terdekat Partai Demokrat adalah membantu rakyat terlebih dahulu, daripada memilikirkan koalisiābaik koalisi pemerintah maupun yang baru muncul, koalisi keumatan. Sebuah pernyataan simbolik yang makin mempertegas karakter Partai Demokrat sebagai kekuatan penyeimbang.
"Terbaru, Ketua Kogasma Partai Demokrat yang digadang-gadang sebagai capres-cawapres dari Demokrat, AHY mengkritik program 'Revolusi Mental' Jokowi yang menurutnya semakin tidak terdengar. Program pembangunan manusia itu gaungnya justru dikalahkan oleh deru pembangunan jalan tol dan jembatan," ujarnya melalui rilis yang diterima SINDOnews, Sabtu (16/7/2018).
Menurutnya, pandangan politik AHY dan keluarga besar Partai Demokrat tidak bisa dilepaskan dari pengaruh pemikiran Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sang ikon Partai Demokrat. Menilik perjalanan SBY, kata dia, ia merupakan politisi yang mengedepankan pembangunan manusia, sebelum pembangunan fisik termasuk infrastruktur.
"Hal itu dapat dilihat dari 'rekor' APBN era SBY yang untuk pertama kalinya mengalokasikan 20% APBN untuk pendidikan. Bahkan untuk menjamin sustainability anggaran yang fokus pada pembangunan SDM itu, diamankan melalui UU," jelasnya.
Direktur Eksekutif Developing Countries Studies Center (DCSC) menilai, dari sini kita bisa melihat bahwa secara substansi, AHY dan Partai Demokrat cukup terganggu dengan terseok-seoknya program Revolusi Mental Jokowi yang sebelumnya diharapkan dapat mengubah kultur lama yang negatif di bangsa ini, menjadi energi positif.
"Indikatornya bisa dilihat di dunia maya, dimana sejak 2014 sampai saat ini, netizen seolah terbelah antara kubu Jokowi dan Prabowo. Cacian dan hujatan semakin hari bukannya menurun, justru menunjukkan grafik yang mengkhawatirkan."
"Padahal sebelumnya sosial media diharapkan membawa perdebatan cerdas dan sportif yang sebelumnya hanya ada di kampus, menjadi bisa dinikmati banyak kalangan, khususnya generasi milenial. AHY merasa situasi seperti itu seharusnya tidak terjadi bila revolusi mental sukses dijalankan," sambungnya.
Lantas apa yang bisa kita tangkap dari kritik AHY ke Jokowi saat Pilpres 2019 kian dekat? Zaenal berpandangan Partai Demokrat sepertinya ingin mengirim pesan kepada Jokowi dan koalisinya untuk tidak terlalu berharap agar Partai Demokrat masuk koalisi.
Masih kata dia, sebelumnya SBY juga menunjukkan behavioral politik yang bisa dimaknai mulai bergersernya Partai Demokrat dari pusaran Jokowi. Pidato-pidato Jokowi yang kerap menyalahkan masa lalu sepertinya turut mempengaruhi perubahan sikap Partai Demokrat ini.
Namun kemana Partai Demokrat akan melangkah belum bisa kita pastikan. Prabowo Subianto yang sabar menunggu 'bola muntah' Partai Demokrat juga belum bisa berharap banyak.
"Hal ini karena baru-baru ini SBY justru mengatakan bahwa agenda terdekat Partai Demokrat adalah membantu rakyat terlebih dahulu, daripada memilikirkan koalisiābaik koalisi pemerintah maupun yang baru muncul, koalisi keumatan. Sebuah pernyataan simbolik yang makin mempertegas karakter Partai Demokrat sebagai kekuatan penyeimbang.
(kri)