Niat Menristek Kumpulkan Rektor Bahas Radikalisme Dinilai Terlambat
A
A
A
JAKARTA - Niat Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristek Dikti) Mohamad Nasir mengumpulkan seluruh rektor perguruan tinggi negeri di Indonesia pada 25 Juni 2018 nanti dinilai agak terlambat.
Sebab, niat Nasir tersebut setelah Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) membeberkan tujuh kampus yang terpapar paham radikalisme.
"Mungkin agak terlambat ya. Setelah rilis itu disampaikan, muncul kegaduhan, kemudian ada ide untuk mengundang para rektor," kata Rektor Universitas Paramadina, Firmanzah dalam diskusi bertajuk Gerakan Radikal di Kampus? di Gado-gado Boplo, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (9/6/2018).
Menurut Firmanzah, seharusnya Menristek Dikti Mohamad Nasir mengumpulkan seluruh rektor perguruan tinggi negeri itu sebelum BNPT mengumumkan tujuh kampus yang terpapar paham radikalisme.
"Menurut saya seharusnya sebelum itu disampaikan ke publik, rektor harus diajak diskusi terlebih dahulu," kata mantan Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi pada Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ini.
Menurut dia, upaya mencegah masuknya paham radikalisme ke kampus tidak bisa dilakukan secara terburu-buru. Menurut dia, jangan sampai pemerintah dituduh anti terhadap kebebasan akademik.
"Tapi di sisi lain juga gerakan terorisme dan jaringan yang terafiliasi ISIS juga tertangani secara baik," katanya.
Sebab, niat Nasir tersebut setelah Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) membeberkan tujuh kampus yang terpapar paham radikalisme.
"Mungkin agak terlambat ya. Setelah rilis itu disampaikan, muncul kegaduhan, kemudian ada ide untuk mengundang para rektor," kata Rektor Universitas Paramadina, Firmanzah dalam diskusi bertajuk Gerakan Radikal di Kampus? di Gado-gado Boplo, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (9/6/2018).
Menurut Firmanzah, seharusnya Menristek Dikti Mohamad Nasir mengumpulkan seluruh rektor perguruan tinggi negeri itu sebelum BNPT mengumumkan tujuh kampus yang terpapar paham radikalisme.
"Menurut saya seharusnya sebelum itu disampaikan ke publik, rektor harus diajak diskusi terlebih dahulu," kata mantan Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi pada Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ini.
Menurut dia, upaya mencegah masuknya paham radikalisme ke kampus tidak bisa dilakukan secara terburu-buru. Menurut dia, jangan sampai pemerintah dituduh anti terhadap kebebasan akademik.
"Tapi di sisi lain juga gerakan terorisme dan jaringan yang terafiliasi ISIS juga tertangani secara baik," katanya.
(dam)