Politisasi Isu Hukum Akan Ramai Jelang Pilkada dan Pilpres
A
A
A
JAKARTA - Isu politik dan hukum diprediksi ramai pada tahun ini, khususnya menjelang beberapa perhelatan politik, yakni pemilihan kepala daerah, pemilihan anggota legislatif, pemilihan presiden dan wakil presiden.
Termasuk isu terkait penanganan hukum yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap calon kepala daerah. Anggota komisi III DPR Arteria Dahlan menilai proses hukum KPK terhadap calon kepala daerah kurang tepat.
Di luar operasi tangkap tangan (OTT) dan pidana pemilu, Arteria menilai seharusnya pidana pemilu ditunda. "Untuk yang namanya pidana pemilu silakan, kapan saja boleh. Tapi di luar pidana pemilu dan OTT kita mohon penegakan hukumnya dapat dilangsungkan setelah tanggal 27 juni 2018. Kenapa? Biar semuanya hening. Sudah tahu siapa yang menang dan kalah," tutur Arteria di kantor Kaukus Muda Indonesia (KMI), Senin 4 Januari 2018.
Arteria menambahkan, pemerintah termasuk seluruh institusi dan aparat penegak hukum agar berkomitmen menjaga tahun politik dalam suasana hening, aman, tertib, lancar tanpa mendistorsi, mengintervensi fungsi-fungsi penegakan hukum.
"Jangan sampai nanti orang sudah kalah, dijadikan alasan kalahnya karena penegak hukum atau dilakukan upaya-upaya atas penegak hukum," tuturnya.Dia pun berharap penegakan hukum dapat dilakukan secara proporsional. "Caranya bagaimana, jangan sampai ada terkesan politisasi penegakan hukum. Jangan ada kesan kriminalisasi atau pembusukan karakter. Jangan ada kesan penegakan hukum ini sebagai alat pemenangan atau lembaga penegakan hukum sebagai mesin pemenangan salah satu pasangan calon," tutur politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ini.
Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz berbeda pendapat dengan Arteria. Donal berpendapat proses politik tidak perlu menegasi proses hukum yang sedang berjalan.Dia menegaskan Indonesia merupakan negara hukum, bukan negara politik. "Indonesia adalah negara hukum, oleh sebab itu proses yang sedang berjalan seperti kontestasi pilkada itu seharusnya tidak memengaruhi proses hukum, oleh penegak hukum seperti KPK. Sekali lagi dasarnya secara konstitusi kita negara hukum bukan negara politik," tuturnya.Dia menjelaskan selama ini kegiatan-kegiatan politik terus berjalan sekalipun proses hukum KPK terus berjalan. Jadi tidak tepat apabila proses hukum oleh KPK dianggap akan menghambat proses politik.
"Jadi enggak perlu ditunda-tunda, langsung tangkap saja. Kalau memang ada alat bukti harus dilakukan (penindakan-red). Justru keliru kalau misalkan menuding KPK melakukan politisasi, justru politisasi paling banyak dilakukan oleh partai politik, kandidat, jaringan tim sukses. Mereka melakukan aksi saling lapor agar kemudian menjadi headline pemberitaan," tutur Donal.
Donal mengganggap aksi saling lapor sengaja dibuat dengan harapan ingin membuat lawan politik menjadi perhatian media karena terjerat kasus korupsi.
"Jadi logika Arteria bahwa KPK menjadi sebab kericuhan politik karena proses hukum adalah keliru. Faktanya, bahwa kelompok-kelompok politik yang saling jegal, saling melakukan aksi pelaporan agar men-downgrade elektabilitas lawan secara politik. Jadi kalah atau menangnya partai, belum tentu salahnya KPK. Justru kenapa partai mengusung orang yang bersalah, itulah yang membuat partai kalah," tutur Donal.
Termasuk isu terkait penanganan hukum yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap calon kepala daerah. Anggota komisi III DPR Arteria Dahlan menilai proses hukum KPK terhadap calon kepala daerah kurang tepat.
Di luar operasi tangkap tangan (OTT) dan pidana pemilu, Arteria menilai seharusnya pidana pemilu ditunda. "Untuk yang namanya pidana pemilu silakan, kapan saja boleh. Tapi di luar pidana pemilu dan OTT kita mohon penegakan hukumnya dapat dilangsungkan setelah tanggal 27 juni 2018. Kenapa? Biar semuanya hening. Sudah tahu siapa yang menang dan kalah," tutur Arteria di kantor Kaukus Muda Indonesia (KMI), Senin 4 Januari 2018.
Arteria menambahkan, pemerintah termasuk seluruh institusi dan aparat penegak hukum agar berkomitmen menjaga tahun politik dalam suasana hening, aman, tertib, lancar tanpa mendistorsi, mengintervensi fungsi-fungsi penegakan hukum.
"Jangan sampai nanti orang sudah kalah, dijadikan alasan kalahnya karena penegak hukum atau dilakukan upaya-upaya atas penegak hukum," tuturnya.Dia pun berharap penegakan hukum dapat dilakukan secara proporsional. "Caranya bagaimana, jangan sampai ada terkesan politisasi penegakan hukum. Jangan ada kesan kriminalisasi atau pembusukan karakter. Jangan ada kesan penegakan hukum ini sebagai alat pemenangan atau lembaga penegakan hukum sebagai mesin pemenangan salah satu pasangan calon," tutur politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ini.
Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz berbeda pendapat dengan Arteria. Donal berpendapat proses politik tidak perlu menegasi proses hukum yang sedang berjalan.Dia menegaskan Indonesia merupakan negara hukum, bukan negara politik. "Indonesia adalah negara hukum, oleh sebab itu proses yang sedang berjalan seperti kontestasi pilkada itu seharusnya tidak memengaruhi proses hukum, oleh penegak hukum seperti KPK. Sekali lagi dasarnya secara konstitusi kita negara hukum bukan negara politik," tuturnya.Dia menjelaskan selama ini kegiatan-kegiatan politik terus berjalan sekalipun proses hukum KPK terus berjalan. Jadi tidak tepat apabila proses hukum oleh KPK dianggap akan menghambat proses politik.
"Jadi enggak perlu ditunda-tunda, langsung tangkap saja. Kalau memang ada alat bukti harus dilakukan (penindakan-red). Justru keliru kalau misalkan menuding KPK melakukan politisasi, justru politisasi paling banyak dilakukan oleh partai politik, kandidat, jaringan tim sukses. Mereka melakukan aksi saling lapor agar kemudian menjadi headline pemberitaan," tutur Donal.
Donal mengganggap aksi saling lapor sengaja dibuat dengan harapan ingin membuat lawan politik menjadi perhatian media karena terjerat kasus korupsi.
"Jadi logika Arteria bahwa KPK menjadi sebab kericuhan politik karena proses hukum adalah keliru. Faktanya, bahwa kelompok-kelompok politik yang saling jegal, saling melakukan aksi pelaporan agar men-downgrade elektabilitas lawan secara politik. Jadi kalah atau menangnya partai, belum tentu salahnya KPK. Justru kenapa partai mengusung orang yang bersalah, itulah yang membuat partai kalah," tutur Donal.
(dam)